Aluna, 23 tahun, adalah mahasiswi semester akhir desain komunikasi visual yang magang di perusahaan branding ternama di Jakarta. Di sana, ia bertemu Revan Aditya, CEO muda yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti drama. Aluna yang ceria dan penuh ide segar justru menarik perhatian Revan dengan caranya sendiri. Tapi hubungan mereka diuji oleh perbedaan status, masa lalu Revan yang belum selesai, dan fakta bahwa Aluna adalah bagian dari trauma masa lalu Revan membuatnya semakin rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2, bayar receh
Aluna dengan cepat mendorong tubuh pria itu, melepaskan diri dari cengkeraman pria asing yang tengah memeluknya itu.
"Maaf sudah menganggu waktu anda, dan terimakasih sudah membantu saya." ucap Aluna dengan nada formal sambil membungkukkan badannya.
Pria itu mengerutkan keningnya, "Hanya itu?" tanyanya dengan dingin tampak tidak berekspresi.
Aluna membalas dengan mengerutkan keningnya, ia kemudian menyadari sesuatu dan tersenyum ringan, wajahnya tampak begitu cantik dengan sorotan matahari di siang hari ini, "Ahhh iya. Tunggu sebentar." ucapnya kemudian.
Aluna pun merogoh tas kainnya, ia mengeluarkan dompet berwarna merah muda dari dalam tasnya. Mengintip isi dompetnya, hanya ada beberapa lembar uang seratus ribuan dan sisanya dua ribu, lima ribuan dan beberapa dua puluh ribuan yang akan ia gunakan untuk membeli bensin.
Aluna menarik tangan pria itu dan membuka telapak tangannya ke atas dan meletakkan beberapa lembar uang yang ia bawa di atas tangan pria itu, "Aku hanya punya ini, aku rasa ini cukup untuk beberapa menit ini. Semoga nanti kita bisa ketemu lagi, aku akan gantian membantumu."
Setelah mengatupkan kembali tangan pria itu, Aluna segera meraih tangan Tifani, "Ayo pergi." ucapnya, "Kita sudah tidak punya urusan di sini," Aluna mengajak pergi dan Tifani hanya bisa pasrah mengikuti langkah cepat Aluna.
Aluna dan Tifani sudah berlalu sedangkan pria itu masih terdiam di tempatnya sembari menatap uang receh yang berada di tangannya. Memang dia pikir saya orang sewaan..., batinya sembari terus menatap uang di tangannya, meskipun begitu ia tidak berniat menolak meskipun bisa dengan mudah ia lakukan bahkan di depan pria tadi.
Hingga suara seseorang yang tengah memanggilnya menyadarkannya dari lamunan.
"Pak Revan,"
Revan mempertahankan posisinya, ia hanya mencoba menormalkan kembali raut wajah datarnya, "Hmmm, kenapa lama sekali?!" protesnya saat pria berjas yang seusianya itu mendekat.
"Maaf, pak. Saya pikir pak Revan tengah berbicara dengan seseorang yang penting." ucap pria sembari menatap ke arah perginya Aluna dan sahabatnya. Pria itu merupakan sekretaris dari Revan Aditya, yang bernama Bastian.
Kemudian tatapan Bastian tidak luput dari sesuatu yang berada di tangan Revan, itu tampak aneh. Karena atasannya hampir tidak pernah memegang uang cash di tangannya, "Pak itu...?"
Menyadari apa yang di tatap oleh sekretarisnya, dengan cepat Revan menyembunyikan uang cash yang nilainya tidak seberapa itu ke dalam saku jasnya, "Lupakan saja. Ini tidak penting."
Tapi Bastian malah menatap aneh pada Revan membuat Revan salah tingkah, Revan pun dengan cepat mengalihkan tatapannya ke arah lain, "Kenapa menatapku seperti itu? Ada yang aneh?" tanyanya kemudian.
Bastian mencoba menahan senyum yang hendak keluar dari bibirnya, "Tidak, pak."
"Baguslah." ucap Revan dingin, "Apa Mr Han sudah datang?" tanyanya kemudian mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bastian kembali bersikap tegas, ia membetulkan letak dasinya yang sebenarnya tidak berubah, "Beliau sudah datang lima belas menit yang lalu, pak." ucapnya dengan nada formal.
"Baiklah, kita temui sekarang." ucap Revan dan Bastian menganggukkan, mengembangkan tangannya mempersilahkan atasannya berjalan di depan.
Mereka pun akhirnya berjalan masuk ke dalam kafe untuk meeting penting dengan salah satu klien yang berasal dari Korea.
***
Di Kamar Aluna
"Kalau di pikir-pikir, pria tadi cukup tampan, Lun." Tifani menyanggah dagunya dengan kedua tangannya, ia tengah tidur tengkurap di atas tempat tidur Aluna. Mereka sudah sampai di rumah Aluna beberapa menit yang lalu, dan kebiasaan Tifani yang lebih betah di rumah Aluna dari pada rumahnya sendiri.
Bugggg
Sebuah bantal mendaftar tepat di wajah Tifani, rupanya bantal itu sengaja Aluna lempar, "Nggak lihat tadi, wajahnya udah kayak vampir gitu. nggak ada ekspresi nya sama sekali." protes Aluna sembari duduk di kursi belajarnya.
"Ihhh, kalau itu namanya cool. Cowok-cowok cool kayak gitu biasanya setia tahu.dari pada Dirga yang ternyata nggak punya pendirian, mending yang dingin-dingin kayak gitu." Tifani tidak terima dengan argumen dari Aluna.
Aluna berdecak, ia kembali berdiri dan berjalan cepat, kemudian melompat ke atas tempat tidur hingga membuat Tifani terduduk karena terkejut, "Astaga Lun, jantung gue mau copot."
Aluna tertawa mendengar celoteh sahabatnya, "Ya elah, gitu aja copot. Gampang banget, di tempel pakek lem gulkol. Kali tuh jantung."
"Isshhhhhhh ....," Tifani berdesis kesal, ia pun mengambil bantal kemudian memeluknya, ia kembali menatap Aluna yang tengah tidur terlentang di depannya, "Rencana Li apa lagi nih? Gimana kalau Dirga masih pengen buktiin kalau Lo belum punya pasangan?"
Aluna menggelengkan kepalanya, "Nggak tahu, gue nggak bisa mikir sekarang." ia kembali mengingat saat sahabatnya dengan lantang mengatakan kalau dirinya akan menikah sudah berhasil membuatnya pusing, "Udah ahhh, gue lagi nggak mood mikirin cowok. Gue lagi mikirin magang kita besok."
"Nggak usah takut kali, magang ya magang. Lagi pula cuma tiga bulan. Bukan waktu yang lama." Tifani memang terbiasa dengan sikap santainya.
"Istttt, awas aja kalau besok datang ke divisi gue terus nangis-nangis minta pindah divisi sama gue."
"Ya enggak lah, tempat gue cowok ya cakep-cakep." ucap Tifani asal.
"Serius Lo?" tanya Aluna tampak bersemangat sampai ia bangun dari tidurnya dan duduk menghadap Tifani.
Tifani mengganggukkan kepalanya, "Ya...., gue pikir lebih baik ambil salah satu dari mereka buat di jadiin pacar kmu. Gimana? Ide bagus kan?"
Cletuk
Tiba-tiba sebuah sentilan mendarat di kening Tifani membuat gadis itu mengusap keningnya yang terasa kebas, "Ihhhh, kok di sentil sih," keluhnya.
"Emang cari cowok kayak cari kucing liar, tinggal di kantongin karung dapat. Emang ya kadang-kadang orak kamu nggak berada di tempat yang bener." keluh Aluna kesal pada ide-ide sahabatnya yang kerap tidak masuk akal itu.
"Yahhhh ..., siapa tahu ada yang jodoh." Tifani tetap tidak mau kalah.
Aluna pun kembali merebahkan tubuhnya kali ini ia juga merentangkan tangannya, menatap langit-langit kamarnya, "Yang pastinya harus keren, lebih segalanya dari Dirga."
Bersambung