Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan yang tidak menjanjikan pulang
Langit mulai berubah warna saat mereka bersiap.Jam dinding sudah menunjukkan pukul 5.40. Warna jingga menggurat langit seperti luka yang belum sembuh. Hari mulai condong ke malam, dan itu artinya, waktu bergerak ke arah yang salah. Senja sudah tidak lagi jadi bagian yang bisa dinikmati, hanya transisi menuju gelap yang tak menjanjikan apa-apa,seperti janji pemerintah.
Zean memeriksa senter, baterai, dan alat-alat seadanya yang mereka bawa. Sebagian bekal masuk ke tas ransel tua. Lira sedang membantu Ayu mengencangkan tali sepatu. Ayu, meskipun masih terlihat pucat, mencoba tegar. Sudah beberapa jam sejak mereka membawanya keluar dari rumah itu, dan belum sekali pun ia menangis lagi. Seolah tangisnya sudah ia kubur bersama ibunya.
Pak Rudi duduk di ruang depan, memperhatikan mereka dengan pandangan berat. “Ingat, jangan terlalu lama di luar. Kita tak tahu berapa yang masih tersisa di luar sana, yang hidup, maupun yang tidak.”
Dini menyesuaikan sarung senapan ayahnya ke punggungnya. “Kita cuma ambil bahan dari gudang logistik dulu. Kalau sempat, kita cari sinyal atau alat komunikasi. Kalau masih kuat, kita lanjut besok pagi ke sekolah.”
Pak Rudi mengangguk pelan. “Sekolah kalian... mungkin masih punya jawaban. Tapi jangan berharap terlalu banyak. Dunia lama sudah membusuk. Yang tersisa cuma reruntuhannya.”
Zean mencatat lokasi gudang dan jalur menuju villa paman Dini di peta kertas yang mulai usang. Mereka sudah membicarakan rute, berputar sedikit agar menghindari area padat rumah, dan melewati kebun kosong sebagai jalur cepat.
“Siap?” tanya Zean akhirnya.
Lira menggenggam obor kecil, "Siap takut, iya.”
Mereka tertawa kecil, tapi cepat reda. Karena ketakutan bukan lagi sesuatu yang lucu,hanya untuk meredakan ketegangan. Itu bagian dari hidup, seperti napas, seperti detak jantung yang terlalu cepat.
Pak Rudi memanggil Zean perlahan, sebelum mereka benar-benar berangkat. Di luar, angin mulai membawa bau lembab dan besi. Dunia sudah menanti mereka di luar pagar.
“Jaga mereka, Zean. Termasuk anak saya,” katanya pelan, tapi tajam. “Dulu saya terlalu percaya pada sistem. Sekarang saya hanya percaya pada manusia yang berani bertanggung jawab.”
Zean menatapnya. Ada beban di sana. Tapi juga rasa hormat.
“Saya akan bawa mereka pulang.”
Pak Rudi mengangguk. Itu cukup. Tak perlu pelukan. Tak perlu salam terakhir. Mereka semua tahu, ini bukan perjalanan biasa.
Pagar dibuka pelan. Angin sore menyambut dengan hawa asing. Mereka melangkah keluar, satu per satu, menyatu dengan bayangan panjang yang dilemparkan matahari terakhir hari itu.
Mereka tak bicara. Karena dunia yang mereka pijak sudah kehabisan kata-kata.
...
Langkah demi langkah.
menit demi menit.
Entah sudah berapa lama mereka berjalan, rasanya tidak cukup jika hanya di gambarkan dengan beberapa menit, tapi juga terlalu berlebihan jika hanya di gambarkan beberapa jam.
Langkah mereka teratur tapi tak santai. Jalan setapak yang dulu sering dilalui anak-anak sekolah kini terasa seperti wilayah asing. Daun-daun kering yang menguning berserakan, dan angin membawa bau yang ganjil, campuran debu, daging membusuk, dan kehampaan.
Mereka mengambil jalan memutar melewati kebun kosong yang membelah area perumahan tua. Dini memimpin di depan, tangannya tak pernah lepas dari senapan, jari mengambang di pelatuk. Zean di belakangnya, memeriksa sisi kiri dan kanan setiap belokan. Lira dan Ayu berjalan di tengah, membawa obor kecil dan senter, serta parang tangan kanan mereka. sedangkan Johan... dia telah di putuskan untuk tetap berada di base, menjaga dan menemani Pak Darman.
Tak ada yang bicara lama. Hanya sesekali bisikan pendek. Selebihnya, hanya langkah kaki, nafas tertahan, dan suara serangga malam yang tak peduli dunia sudah berubah.
“Zean,” bisik Ayu tiba-tiba, menunduk. “Lihat itu.”
Mereka semua menoleh.
Di pinggir jalan, dekat sebuah gardu tua yang sudah roboh, seekor anjing duduk memandangi mereka. Matanya merah, bukan karena marah, tapi karena kelaparan. Kulitnya menempel ke tulang, dan di sisi mulutnya ada noda hitam seperti jelaga atau darah kering.
Anjing itu tak menggonggong. Hanya menatap. Lalu perlahan, mundur ke dalam bayangan, menghilang.
“Kita terus aja,” kata Dini. “Abaikan apa pun yang terasa nggak mengganggu.”
Perjalanan makin berat. Gudang logistik yang dituju berada di area industri kecil. Di sekeliling Gudang-gudang tua dan toko kosong berjajar seperti kuburan terbuka. Mereka berjalan lebih pelan, bersembunyi setiap kali ada suara asing, ranting patah, benda jatuh, atau angin yang terlalu nyaring.
Salah satu gedung kecil tampak terbuka. Pintu depannya digoyang angin, berderit pelan.
Zean menahan napas. “Tunggu. Kudengar suara dari dalam.”
Mereka semua menunduk, bersiap. Tapi suara itu berhenti. Hanya suara plastik yang tertiup.
Dini memberi isyarat, dan mereka melewatinya cepat-cepat.
Jalanan yang dulu dipenuhi suara kendaraan kini hanya menyisakan desau angin dan daun-daun yang terseret di aspal.
Tak jauh dari sana, akhirnya mereka melihatnya, gudang logistik kecil berwarna biru pudar. Gerbangnya setengah tertutup. Ada bekas darah kering di bagian bawah pintu.
...
Mereka semua berhenti di depan pagar, menatapnya, aura mencekam Langsung terasa di sekujur badan.
“Masih mau masuk?” tanya Zean pelan.
Dini mengangguk. “Kita butuh makanan. Butuh masker dan sarung tangan. Dan mungkin... kalau beruntung, radio atau alat komunikasi.” berdiri sedikit kaku dengan perasaan degdegan.
Lira menghela napas. “Kalau sial?”
“Kalau sial, kita tahu kenapa tempat ini ditinggalkan.”
Zean menatap langit. Senja sudah lenyap sejak saat di tengah perjalanan. Hanya ada malam yang menyebar seperti racun, pelan dan tak bisa dihentikan.
“Maka cepat, sebelum kegelapan jadi lebih lapar dari kita.”
Mereka semua berhenti di depan pagar, menatapnya. Aura mencekam langsung menyelubungi tubuh mereka seperti kabut dingin.
“Masih mau masuk?” tanya Zean pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan.
Dini mengangguk. Wajahnya pucat tapi mantap. “Kita butuh makanan. Masker. Sarung tangan. Dan kalau beruntung... radio. Atau apa pun untuk komunikasi.” Ia berdiri tegak, tapi sorot matanya penuh degupan yang tak bisa disembunyikan.
Lira menghela napas. “Kalau sial?”
“Kalau sial, kita tahu kenapa tempat ini ditinggalkan.”
Zean menatap langit. Senja telah mati sejak tadi. Malam menyebar seperti racun, lambat dan tak bisa dihentikan.
“Maka cepat, sebelum kegelapan jadi lebih lapar dari kita.”
Gerbang gudang berdecit pelan saat Dini mendorongnya dengan tongkat senapan. Suaranya seperti jeritan logam tua yang dipaksa bangun dari kubur. Saat mereka masuk, atmosfer berubah drastis. Seolah mereka melangkah ke dunia yang tak lagi mengenal logika.
Zean menahan napas. Udara di dalam seperti campuran pengap, lembap, dan aroma basi yang menyengat seperti mayat tikus yang dilupakan dunia.
“Jangan nyalakan senter dulu. Biarkan mata kita menyesuaikan,” bisik Dini.
Mereka masuk dalam formasi. Zean dan Dini di depan. Lira dan Ayu di belakang. Setiap langkah seperti menginjak tulang rapuh. Setiap gema seperti memanggil sesuatu yang seharusnya tetap tertidur. Napas mereka terdengar... dan sesuatu yang lain. Lebih berat. Lebih dalam. Mungkin bukan milik siapa pun dari mereka.
Gelapnya bukan sekadar ketiadaan cahaya. Ini gelap yang hidup. Yang memakan cahaya senter perlahan, menelannya seperti lubang hitam.
Rak-rak menjulang seperti tiang-tiang katedral yang telah kehilangan Tuhan.Tumpukan dus-dus karton mengisi separuh ruangan, beberapa sudah terbuka atau terguling berserakan, beberapa sudah kosong, sebagian masih menyimpan label : bantuan bencana, masker medis, pangan darurat.
“Ambil seperlunya. Jangan buat suara,” bisik Dini, menunjuk ke kanan.
Lira membuka kardus, isinya beberapa bungkus makanan kering dan vitamin. “Bisa buat seminggu... kalau kita hemat irit.”
Sementara itu, Ayu menemukan kotak berisi sarung tangan lateks dan masker kain. "langsung masukkan saja, pokoknya apapun yang terlihat berguna atau mungkin, angkut," gumamnya.
Mereka bergerak seperti pencuri di rumah sendiri, sangat lihai.
“Ayo cepat,” kata Dini, tapi suaranya serak. Tidak ada yang benar-benar ingin cepat di tempat seperti ini. Gerakan mereka teratur, pelan, seperti menyusup ke mimpi buruk.
Rak demi rak, dus demi dus. Sebagian besar makanan sudah kedaluwarsa,hanya menyisakan sedikit yang masih bisa.
Zean meraba-raba sebuah kontainer kecil. Terkunci. Ia mengintip celahnya dan menemukan sesuatu yang membuat perutnya mengeras, bekas kuku dan darah di sisi dalam.
“Ini tempat orang terakhir ngumpet...” gumamnya, pelan, seperti takut membangunkan kenangan.
Tiba-tiba, suara jatuh. Logam menghantam beton. Semua membeku.
Ayu menahan napas. Lira mengangkat alat pemukulnya. Senter Zean mencari-cari, lalu menangkap sesuatu yang bergerak cepat bayangan kecil yang lenyap ke belakang tumpukan.
“Bukan penghuni,” kata Dini. “Terlalu cepat.”
Zean menahan komentar. Ia tidak yakin itu lebih baik.
Kemudian mereka mendengar suara lagi... bukan benturan. Bukan langkah. Tapi kali ini seperti suara orang berbisik. Zean menajamkan pendengaran. Kata-kata itu tak jelas, seperti bisikan dalam mimpi demam. Bukan bahasa yang ia kenal. Tapi jelas bukan hanya angin.
“Manusia?” bisik Ayu, mencengkeram lengan Zean.
Zean diam tidak menjawab. Tapi matanya menatap ke satu titik, sebuah lorong gelap, dan pintu kayu yang setengah terbuka. Bekas cakaran di bawahnya seperti goresan pada nisan.
Dini melihatnya juga. Entah kenapa... ia tersedot ke sana.
“Aku ingin mengeceknya,” katanya.
Zean menoleh cepat. “Apa?! Kau gila?”
Dini biasanya adalah orang pertama yang bilang jangan. Tapi sekarang...
“Aku bawa senapan. Zombie mana yang bisa mengagetkan?” katanya, terlalu tenang.
Zean mengumpat dalam hati. Tapi... rasa penasaran itu juga menggigitnya. Seperti suara pintu itu memanggil namanya.
“Lira, Ayu. Tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, kabari cepat,” kata Dini.
Mereka tahu mereka akan menyesalinya. Tapi tetap melangkah. Karena manusia selalu membuka kotak yang seharusnya dikunci.
Zean dan Dini perlahan menuju pintu belakang. Berdiri dengan keraguan, menatap Pintu kayu tua yang menggantung di satu engsel, goyah, dan ada bekas cakaran di sisi bawah.
Mereka saling memandang sebentar.
Zean menahan napas, lalu mendorongnya perlahan. Ruangan di belakang lebih kecil, penuh lemari besi dan meja. Sebuah kursi terjatuh. Di lantai, ada helm relawan, pecah seperti terlempar keras. Tapi yang membuat mereka berhenti adalah darah. Beku, hitam, membentuk jejak dari tengah ruangan menuju ke balik lemari besi.
Dini mengangkat senapan. Zean bersiap dengan linggis kecil.
Mereka menghampiri lemari itu pelan, jantungnya serasa diperas, menatap tajam pintu lemari bergerak secara samar.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Zean meraih pintu,dan mencoba membu.....
“BRUAAAKRGGG!!”
Sesuatu meledak keluar dari balik lemari, bercampur suara suatu makhluk kurus melompat seperti iblis dari neraka menerjang Dini.
“UANJINNGG!!”
Dini terkejut bukan main, jatuh terlempar menyemprotkan kata kasar dengan mata yang langsung terpejam, suara tembakan terendam ikut terdengar secara bersamaan dan suara senapan yang terlempar. Zean pun spontan melindungi wajahnya dengan lengan menyilangkan, ikut terkejut menjatuhkan diri kebelakang.
Dini... terdiam, tertindih sosok makhluk itu.
Darah di mana-mana.
Zean menggapai tangannya, jangan mati, jangan mati, jangan mati...
Tapi yang mati... bukan Dini.
Makhluk itu.
Dini langsung mengangkat tubuhnya dengan terengah, wajahnya merah darah. Ia mengusapnya dengan lengannya dan tersenyum. Senyum gila. Senyum antara hidup dan trauma.
“Sialan... aku hampir mati,” katanya.
Zean hanya menunjuk. “Kau benar-benar...”
Suara langkah. Lira dan Ayu masuk.
“Ada apa?!”
“Cuma kejahilan kecil,” kata Dini. Senyum masih menggantung seperti benang di jurang kewarasan.
Zean cuma memasang muka datar "sialan"
berdiam sebentar. memutar mata. “aku bahkan hampir lupa kalau ada kalian di sini.”
Mereka menoleh. Lalu Ayu menunjuk.
“Siapa itu?”
Makhluk di lantai.Tubuhnya kurus, wajahnya tinggal tengkorak dengan sisa kulit. Mata kosong, bibir hancur, dan lengan penuh luka terbuka,dan juga terdapat lubang kecil di jidat,mengeluarkan darah.
"apa itu kejahilan kecilnya.?" Ucap Lira.
Zean menambahkan, pelan: “Tepat sekali.” menjatuhkan dirinya, duduk sebentar. “Aku harap... enggak semua tempat seperti ini.”
Dini menoleh padanya. “Kalau iya... berarti kita harus jadi beda.”
Lira berkata pelan, “Masih mau tetap disini dan mencari suatu yang lain lagi?"
"sudah cukup, langsung balik saja" jawab Zean tatapan kosong.
Sesuatu yang merasa untuk enggan di jelaskan. Mereka mengumpulkan barang-barang ke dalam tas besar. Tak satu pun dari mereka bicara saat berjalan keluar. Tapi ketika pintu gudang di tutup, suara di dalam, apa pun itu, ikut diam.
Hanya satu hal yang mengikuti mereka saat berjalan pulang, perasaan bahwa tempat itu belum selesai dengan mereka.
Dan malam baru saja dimulai.