Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Beberapa hari setelah percakapan itu, suasana rumah kecil mereka terasa berbeda. Ada sesuatu yang menggelayuti udara semacam ketegangan yang diam-diam menekan dada mereka.
Amira tetap seperti biasa, menyiapkan sarapan, menemani Maira belajar, dan menyambut Arif setiap pulang kerja dengan senyum hangat. Tapi di matanya, Arif bisa melihat ada luka yang Amira sembunyikan rapat-rapat. Luka karena tahu dirinya masih menjadi rahasia dalam hidup suaminya.
Malam itu, setelah Maira terlelap, Arif kembali duduk termenung di ruang tengah. Amira menghampirinya perlahan, membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping Arif, tidak berkata apa-apa, hanya menunggu.
Arif menatap cangkir di tangannya, sebelum akhirnya bersuara, pelan namun berat.
"Bagaimana klau kita pergi menemui orang tuaku bulan depan," katanya, "
Amira terkejut, menoleh cepat. "Bulan depan?"
Arif mengangguk, matanya menatap lurus ke depan.
Arif takut membahayakan kandungan Amira, klau dia pergi dengan cepat, karena Amira baru saja hamil, tentu kandungnya belum cukup kuat untuk pergi jauh.
**************************
Setelah satu minggu dirumah menantunya, Ayah dan Ibu Amira memutuskan untuk pulang ke desanya, karena rumah mereka yang tidak bisa di tinggal kan lama-lama. Mereka memutuskan pulang dengan menggunakan bus saja, padahal Arif sudah berencana untuk mengantar kedua mertuanya itu, akan tetapi menolak tawaran menantunya.
Siang itu, setelah kepergian kedua orang tua Amira, Maira juga sudah pulang dari sekolahnya, matahari bersinar sangat terik. Angin malas bergerak, membuat suasana rumah sederhana itu terasa sedikit gerah.
Di ruang tamu, Amira sedang membereskan mainan Maira yang berserakan, ketika suara bel pintu terdengar.
Ding-dong.
Amira berjalan cepat, membuka pintu.
Di ambang sana, berdiri sosok yang tidak asing — Livia.
Dengan senyum manis, Livia melambaikan tangan kecilnya.
"Hai, Amira! Aku... kebetulan lewat, sekalian mau main sama Maira. Boleh?"
Nada suaranya ceria, seolah tanpa beban. Tapi di balik sorot matanya, tersembunyi sesuatu yang tak bisa Amira baca.
Amira tersenyum kecil, sedikit canggung. Ia memang tidak terlalu dekat dengan Livia, tapi tidak punya alasan untuk menolaknya.
"Tentu, masuk saja, Liv."
Maira yang sedang menggambar di ruang tengah, langsung berseru riang melihat Livia.
"Tante Livia “serunya.
Gadis kecil itu berlari, memeluk Livia erat-erat.
Mereka segera larut dalam dunia kecil mereka, membicarakan boneka, gambar, dan cerita-cerita polos anak-anak.
Amira pun kembali ke dapur, membereskan piring-piring makan siang.
Namun tanpa Amira sadari, di ruang tengah, percakapan kecil yang tampak sepele mulai menguak rahasia yang belum semestinya diketahui.
Maira, sambil mewarnai gambar matahari dengan krayon kuning, tiba-tiba berbisik, seolah berbagi rahasia besar.
"Tante, tahu nggak? Mama, ada adik kecil di perutnya," bisiknya sambil menutup mulut, seperti sedang bercerita tentang harta karun.
Livia yang sedang membantu Maira merapikan krayon, tertegun.
Jantungnya berdebar keras.
"Adik kecil?" tanyanya, pura-pura heran.
Maira mengangguk cepat. "Iya! Papa bilang... aku bakal punya adik”.
Livia menahan senyumnya. Ia membelai rambut Maira dengan lembut, pura-pura manis.
"Wah Maira pasti bakalan punya saingan," katanya, meski hatinya bergemuruh liar. Tetapi Maira tidak mendengarkan kata Livia itu.
Beberapa jam kemudian, setelah berpamitan dengan Amira dan Maira, Livia melangkah keluar rumah dengan langkah ringan.
Tapi dalam hatinya, badai besar sudah mulai terbentuk.
Amira hamil.
Berarti hubungan mereka semakin kuat.
Berarti Arif akan semakin sulit dilepaskan.
Kecemburuan dalam dada Livia mendidih seperti air mendekati titik didih.
"Kalau aku mau mendapatkan Arif... aku harus bertindak lebih cepat," gumamnya pelan.
Sore itu, selepas meninggalkan rumah Arif, Livia memacu mobilnya perlahan di sepanjang jalan.
Matanya menerawang ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh.
Pernyataan polos Maira tentang kehamilan Amira terus terngiang-ngiang di telinganya.
"Mama ada adik kecil di perutnya..."
Livia menggenggam erat setir mobil, begitu kuat sampai buku-buku jarinya memutih.
Hatinya dipenuhi rasa kesal yang nyaris berubah menjadi kemarahan buta.
"Dia benar-benar akan mengikat Arif dengan anak itu," gumamnya penuh geram.
Bayangan Arif yang dulu selalu menolaknya jika dia mendekati Arif masih terbayang di pikirannya. Mungkin sekarang dia pasti semakin sulit untuk mendekati Arif.
Seolah dengan kehamilan Amira, seluruh peluang Livia untuk mendapatkan tempat di hati Arif tertutup rapat.
Tidak.
Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi begitu saja.
Livia memarkir mobilnya di sebuah taman kecil di pinggir kota, tempat biasa ia menenangkan pikirannya.
Ia duduk di bangku kayu, menatap matahari yang mulai turun perlahan ke ufuk barat.
Di dalam kepalanya, sebuah rencana mulai tersusun.
Sebuah rencana yang tidak hanya melibatkan dirinya... tapi juga Maira.
Senyum tipis muncul di wajah Livia. Bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum seseorang yang siap memainkan permainan panjang.
******************************
Sore menjelang malam, suara deru mobil Arif terdengar di halaman rumah.
Maira yang sedang duduk termenung di ruang tamu, langsung berdiri dan berlari ke pintu.
"Papa pulang!" serunya riang.
Amira yang sedang merapikan dapur ikut tersenyum kecil. Ada perasaan hangat yang mengalir setiap kali melihat Maira begitu antusias menyambut Papa nya.
Arif membuka pintu, langsung menunduk meraih tubuh mungil Maira ke dalam pelukannya.
"Sayang Papa, apa kabar hari ini?" tanyanya, menciumi pipi anak kecil itu.
Maira tertawa kecil, tapi ada sesuatu dalam caranya memeluk Arif lebih erat, lebih lama seolah takut kehilangan.
Arif merasakan keanehan itu, tapi ia hanya menganggap Maira sedang manja.
Amira mendekat, menyodorkan segelas air putih.
"Capek, Mas?" tanyanya lembut.
Arif tersenyum, menatap Amira. Tatapan hangat yang selama ini perlahan tumbuh lebih dalam.
Ia mengambil gelas itu, lalu menyesap perlahan.
"Sedikit. Tapi lihat kalian berdua... capeknya hilang," jawab Arif, suaranya rendah namun tulus.
Maira masih bergelayut di leher Arif.
Amira mengelus kepala Maira, tapi gadis kecil itu secara halus menghindar dari sentuhan Mamanya.
Maira, mau sama papa saja, kata Maira tersenyum ke arah Amira. Amirapun mengiyakan, dia ingat dulu Maira dan Arif jarang sekali seperti ini, Arif yang hanya sibuk menghabiskan waktunya di kantor saja, tetapi ketika kami memilih untuk saling mencintai, dia berubah.
"Mas, tadi Livia sempat main ke sini," kata Amira akhirnya, berusaha mencairkan suasana.
Arif mengangkat alis, sedikit terkejut.
"Livia? Ada perlu apa lagi dia kemari?”tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.
Amira mengangkat bahu pelan. "Katanya cuma mau main sama Maira.
Arif mengangguk pelan.
Ia tidak berpikir macam-macam. Livia memang dari dulu cukup dekat dengan Maira, sejak masa ia masih bersahabat dengan Rani.
Tapi ia tidak tahu... sore itu, sesuatu kecil sudah berubah di hati putri kecilnya.
Sesuatu yang perlahan akan mempengaruhi segalanya.
*************
Bantu up cerita kU ya gaessss. Aku bakalan update tiap hari. Dan nanti aku juga bakalan bikin konflik di cerita iniiiii.