Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Ternyata Dia Perhatian
Denzzel Lambert meletakkan piring makannya seusai dia menyantap makanan kiriman mandor Tobin.
Diliriknya sekilas Amrita Blanco yang duduk bersandar di kursi malas bungalow.
Amrita masih melahap makanannya meski dia kurang berselera menyantapnya, terlihat makanannya masih tersisa separuh.
"Sepertinya kau kurang suka makanannya, apa tidak enak ?" kata Denzzel.
Denzzel berjalan ke arah kursi malas dimana Amrita duduk disana.
"Tidak usah dihabiskan kalau tidak suka", ucapnya seraya meraih piring dari tangan Amrita.
"Jangan ! Aku suka !" sahut Amrita sembari menahan piring makannya.
"Tapi kau tidak berselera memakannya", kata Denzzel yang memperhatikan makanan milik Amrita.
"Tidak, aku memang seperti ini", sahut Amrita.
"Apa kau ingin makanan lainnya, mungkin ?" tanya Denzzel.
"Tidak...", sahut Amrita sembari menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu cepat habiskan makanannya sekarang", kata Denzzel.
"Aku tidak bisa makan secepat dirimu", sahut Amrita.
"Oh, begitu, ya..., baiklah terserah padamu saja...", kata Denzzel.
Amrita terdiam tapi dia tidak menyentuh makanannya.
Denzzel berjalan pergi ke arah lainnya lalu kembali ke ruangan dimana Amrita duduk disana.
"Kita akan menginap disini sampai kakimu membaik sebab aku juga masih mengurusi perkebunan ini", ucapnya.
"Kenapa tidak pulang ?" tanya Amrita.
"Aku ingin mengurusi hasil panen di perkebunan Luhan sampai semua pemesanan terkirim", sahut Denzzel.
"Bukannya kau tidak tertarik dengan tanah perkebunan Luhan", ucap Amrita.
"Ya, aku melakukannya untukmu", kata Denzzel.
"Apa kau akan menyediakan biaya pemetikan buah dan membayar gaji para pemetik buah ?" tanya Amrita.
"Ya, aku akan menggaji mereka", sahut Denzzel.
"Tapi biayanya membutuhkan ongkos besar untuk menggaji mereka", kata Amrita.
"Ya, aku tahu itu, jika aku mengurusi persoalan pemetikan buah dan membayar seluruh pekerja perkebunan untuk melakukannya maka aku akan mendapatkan hasil keuntungan dari panen buah", sahut Denzzel.
"Dan kau akan mendapatkan uangmu kembali setelah mengeluarkan biaya besar untuk itu", kata Amrita.
"Ya, benar sekali", sahut Denzzel yang masih mengenakan topeng kainnya yang menutup rapat-rapat wajahnya.
"Ternyata kau tidak mau rugi karena itu", kata Amrita.
"Tidak ada dalam bisnis kita menjadi rugi dan tidak ada yang mengharapkannya", ucap Denzzel.
"Benar...", sahut Amrita.
"Aku mengatakan pada mandor Tobin bahwa kita tidak ingin diganggu oleh siapapun selama kita menginap di bungalow ini", kata Denzzel.
"Ya, aku paham", sahut Amrita. "Ayahku tidak akan datang kesini sebab dia telah menyerahkan tanah perkebunan kepadamu", sambungnya.
"Apa dia sepercaya diri itu ?" kata Denzzel.
"Dia ayahku pastinya kami memiliki keyakinan kuat untuk mengambil keputusan apapun itu bentuknya, kami selalu bersikap tegas", ucap Amrita.
"Benarkah itu ?!" sahut Denzzel seraya tertawa pelan.
"Ya, tentu itu benar", kata Amrita.
"Baiklah, aku akan pergi ke perkebunan sekarang, beristirahatlah disini sampai aku kembali", ucap Denzzel.
"Kenapa kau tidak beristirahat, aku yakin kamu pasti sangat lelah sekarang", sahut Amrita.
Denzzel terdiam sejenak kemudian berjalan ke arah Amrita.
"Aku akan pergi tidur bersamamu sebab aku tidak suka tidur sendirian sekarang, mungkin kemarin-kemarin aku terbiasa sendirian di kamarku, tapi sekarang itu tidak lagi", ucapnya.
Denzzel mencondongkan tubuhnya ke depan Amrita lalu menatapnya tajam.
"Jika aku selesai dari perkebunan maka aku akan segera mengajakmu tidur bersamaku lagi, sayangnya, kondisimu sedang tidak baik-baik saja sekarang", ucapnya.
Denzzel membelai lembut pipi milik Amrita lalu mengecupnya pelan.
"Hatiku telah tertanam untukmu bahkan aku tahu kalau aku tidak mungkin bisa hidup tanpamu lagi mulai sekarang ini", ucapnya.
Amrita tidak bereaksi terhadap semua kata-kata Denzzel Lambert, dia hanya terdiam seraya menatap ke arah suaminya.
Melihat sikap Amrita terhadap dirinya, tentu saja telah membuat Denzzel semakin tertarik menggodanya.
"Aku akan menunggu waktu kakimu sembuh seperti semula, semoga saja keinginanku dapat terlaksana segera", ucap Denzzel.
Denzzel tertawa lirih lalu menjauhkan dirinya dari Amrita.
Sekilas Denzzel mengalihkan perhatiannya ke arah Amrita, memandanginya sebentar kemudian melanjutkan ucapannya.
"Baiklah, aku pergi sekarang, tunggu aku kembali", ucapnya datar.
Denzzel melangkah dengan langkah panjang lalu meraih jaket kulitnya dari atas sofa sambil berpamitan pergi.
"Dagh..., Amrita, aku pergi dulu !" pamit Denzzel.
Amrita tidak menjawabnya, hanya terdiam sembari termenung menatap ke arah Denzzel yang berjalan menuju pintu bungalow.
BLAM... !
Pintu bungalow tertutup keras seiring perginya Denzzel Lambert dari bungalow milik keluarga Blanco.
Tinggal Amrita duduk sendirian di ruangan bungalow sembari tertegun diam.
"Kenapa aku jadi dekat dengannya ?" tanya Amrita pada dirinya sendiri.
Amrita menghela nafas panjang lalu tersentak sesaat.
"Hufh..., tidak seharusnya kami bersama meski dia telah berbuat baik kepadaku atas kecelakaan kecil ini", ucapnya.
Amrita menjadi salah tingkah dengan perlakuan Denzzel Lambert yang begitu perhatiannya terhadap dirinya.
"Sekarang aku harus bagaimana lagi...", ucapnya masih bingung.
Amrita memperhatikan seisi ruangan bungalow milik keluarganya yang sepi karena tak seorangpun ada disini setelah liburan musim panas, keluarganya tidak berkunjung lagi ke tanah perkebunan Luhan.
Ayahnya hanya datang ke tanah perkebunan untuk memeriksa keadaan disini, terkadang ayahnya memanfaatkan kunjungannya kesini untuk liburan saja sebab seluruh tanggung jawab disini telah diserahkan kepada mandor Tobin dan Amrita sebagai penanggung jawabnya.
Terkadang Amrita agak keberatan dengan semua pekerjaan di tanah perkebunan Luhan sebab menurutnya kalau tanggung jawab ini bukanlah hal mudah teruntuk dirinya.
Amrita menghela nafas kembali seraya memandang jauh ke arah ruangan bungalow yang sunyi.
"Aku lupa jika aku tidak bisa berjalan sendirian, sampai kapan aku akan di kursi malas ini", ucapnya.
Amrita menyandarkan kembali kepalanya ke bahu kursi malas lalu mencoba memejamkan kedua kelopak matanya yang terasa letih.
Namun bayangan Denzzel Lambert terus menerus melintasi pikirannya yang lelah dan dia sulit untuk membuat kedua matanya tertutup.
Amrita mencoba mengenyahkan segala pikiran serta ingatannya tentang Denzzel Lambert akan tetapi momen kebersamaanya dengan sang pengusaha telah menarik seluruh perhatiannya kepada Denzzel sehingga sulit baginya menghilangkan bayangan tentang laki-laki aneh itu.
Terlihat Amrita memiringkan kepalanya ke arah kanan tapi dia memindahkannya lagi ke arah kiri, tingkah lakunya tak menentu seperti dia benar-benar gelisah.
Amrita membuka kembali kedua matanya yang terpejam lalu mencoba duduk dengan benar.
"Kenapa bayangan tentang dia selalu bergerak dalam pikiranku ?" ucapnya resah.
Amrita seakan-akan ingin menolak seluruh bayangan tentang Denzzel Lambert dalam benaknya namun dia tidak mampu melakukannya dengan benar.
"Apa yang terjadi denganku ???" tanyanya tak mengerti.
Amrita tertegun diam dengan pandangan gelisah, diusap-usapnya kedua lengan tangannya.
"Tidak semestinya aku menuruti permintaan dari Denzzel untuk menerima syarat menikah dengannya", ucapnya letih.
Amrita kembali menyandarkan tubuhnya dan mencoba memejamkan kedua matanya namun usahanya sulit untuk dia lakukan sebab pikirannya selalu saja terfokus pada Denzzel Lambert bahkan setelah seluruh perhatian yang telah diberikan oleh suaminya itu padanya, justru semakin menjadi-jadi dalam benak Amrita Blanco akan hadirnya sosok Lambert dalam hidupnya.
"Demi Tuhanku..., tidak seharusnya aku mengingat dirinya...", ucapnya semakin resah.
Amrita masih bergelut dengan pikirannya terhadap Denzzel yang telah menjadi bagian dari dirinya lantaran mereka bersatu dalam hubungan suami-istri.
Ingatan itulah lantas membayangi setiap pikiran Amrita Blanco setiap kali dia melangkahkan kakinya, kemanapun Amrita pergi bahkan di saat sendirian seperti ini, dia terus memikirkan tentang sosok pengusaha estate yang telah menjadi suaminya itu meskipun Amrita tidak menginginkan hal itu terjadi padanya namun tidak dapat dia pungkiri bahwa bayangan Denzzel terus mengikuti dirinya seolah-olah nyata dan senantiasa ada dihadapannya.