Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PELUANG EMAS
"Ruby..."
"Aku memiliki kabar gembira untukmu, kau pasti akan senang setelah mendengarnya."
Wanita yang memiliki fitur wajah feminim itu sontak menoleh, merasa terpanggil. Sedangkan Marie yang datang lebih dulu mengangkat tangan, menyentuh bahu, mengajaknya berhadapan. Sehingga jarak sangat dekat, memungkinkan Ruby untuk melihat jelas wajah Marie saat tersenyum.
"Kabar apa? Kau terlihat senang sekali, aku jadi semakin penasaran."
Tidak hanya Ruby saja yang berada di dapur, terlihat tiga wanita yang sama-sama sibuk dengan kegiatan masaknya. Biarpun tangan mereka bergelut dengan berbagai bahan dan alat dapur, pendengaran mereka tetap aktif menyimak obrolan kedua wanita itu.
"Ada satu pelanggan wanita yang memesan hidangan yang kau buat. Kalau tidak salah...dia salah satu istri dari Billionaire di negara ini." Marie menyempatkan untuk menjeda, sebelum melanjutkan ucapannya. "Dia mengatakan ingin bertemu denganmu. Dan kau tahu, dia juga memintaku untuk mengizinkanmu menjadi koki di mansionnya!"
"Aku tentu saja menyetujui permintaannya, tapi dengan syarat kau tetap bekerja denganku," sambungnya.
Mulut Ruby menganga lebar, tak percaya. "Marie jangan bercanda, aku tidak akan suka jika kau membohongiku."
"Aku serius, Ruby. Apa menurutmu ucapanku adalah kebohongan semata? Aku tentu tahu situasi jika ingin bermain-main, aku tidak sejahat itu, okey..."
"Benarkah? Ya Tuhan aku tidak menyangka. Maaf, karena sebelumnya aku tidak mempercayaimu."
"Tidak masalah. Sebaiknya kau temui wanita itu. Dia pasti menunggu kedatanganmu di mejanya."
...----------------...
Bistro terasa lebih sepi dari biasanya sore ini. Jadi Ruby dengan mudah menemukan wanita yang dimaksud Marie, duduk di kursi dekat dengan berbagai tanaman hijau yang hampir merembet indah di dinding dalam. Dari kejauhan saja, ia sudah bisa merasakan aura alegan dan berkelas yang terpancar dari wanita itu. Ruby kemudian mengedarkan pandangannya pada pintu luar. Di mana dua pria bertubuh besar dengan setelan serba hitam, berdiri memunggungi pintu kaca. Sudah dapat dipastikan mereka ditugaskan menjaga siapa di bistro ini.
Berjalan tak tenang, jantung Ruby rasanya bergemuruh, seakan ingin meloncat keluar dari rongganya. Rasa gugup itu mengingatkannya pada saat-saat ditunjuk guru untuk mengerjakan soal di depan kelas. Ini adalah kali pertama ia merasakan gugup seperti saat bertemu orang baru.
"Selamat malam, Nyonya..." Ruby menggantungkan ucapannya. Wanita yang tadinya menikmati secangkir teh herbal, mengangkat kepala dan tersenyum samar.
"Beatrice," sahutnya cepat. "Kau cantik sekali, seperti dewi."
"Nyonya juga memiliki kecantikan yang luar biasa," balas Ruby bersama kikuknya yang tampak ketara.
Ruby tak berbohong. Dari dekat, wajah Beatrice terlihat lebih jelas. Meskipun tanda-tanda usia tak lagi muda, yang pasti, kecantikan wanita itu tak lekang oleh waktu.
"Aku terlalu tua untuk dipuji cantik." Kemudian, Tangannya terangkat, seakan mempersilahkan wanita muda berambut pirang itu untuk menempati kursi di seberangnya.
"Silakan duduk, dan tak perlu gugup seperti itu di depanku."
Penuh hati-hati kala duduk di kursi yang di tawarkan Beatrice. Ruby tersenyum tipis, menyamarkan rasa gugupnya. "Terima kasih, Nyonya Beatrice."
"Berapa usiamu saat ini, Ruby? Kau terlihat sangat muda sekali."
"Dua puluh empat tahun nyonya."
Wanita dengan gaya rambut bob bergelombang itu hanya mengangguk dan tersenyum sekilas, menatap Ruby dengan penuh kesan wibawa. "Atasanmu mengatakan hidangan utama ini kau yang membuat, dan harus aku akui, aku sangat menikmatinya. kau juga mahir dalam memasak hidangan dari berbagai negara, benarkah yang atasanmu katakan?"
"Sebelumya, aku sangat berterima kasih atas pujian dan kehadiran Nyonya Beatrice di bistro kami." Ruby menarik nafas dalam-dalam. "Dan untuk memasak...aku hanya memiliki pengalaman saja, yang dulu di ajarkan oleh ibuku."
"Ibumu seorang koki?"
"Ya, benar. Aku berkeinginan mengikuti jejak ibuku."
"Keinginan yang mulia," jawab Beatrice sambil tersenyum hangat. "Lalu, bagaimana dengan penawaranku sebelumnya, apa kau bersedia?"
"Tapi nyonya, bagaimana dengan pekerjaanku di bistro ini? Tidak mungkin aku mengundurkan diri begitu saja, tanpa alasan yang jelas."
"Tidak perlu mengundurkan diri," katanya. "Kau tetap ku izinkan bekerja di tempat ini. Nanti ada juga koki yang membantumu, hanya saja dia sedang berada di negaranya dan akan kembali beberapa hari nanti."
"Jika kau setuju, bawahan ku akan memberikan informasi padamu lebih jelas."
Ruby menimang. Kerutan tipis di dahinya, membuktikan bahwa ia tengah berfikir matang. Ia memang sangat membutuhkan kerja tambahan, jadi tidak salah untuk menerimanya, bukan? Lagipula menjadi koki tak begitu berat.
"Nyonya, terima kasih telah memberikan kesempatan padaku. Aku sangat setuju dengan tawaran ini, dan akan berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi harapan nyonya."