Jika sebelumnya kisah tentang orang miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya raya hanyalah dongeng semata buat Anna, kali ini tidak. Anna hidup bersama nenek nya di sebuah desa di pinggir kota kecil. Hidupnya yang tenang berubah drastis saat sebuah mobil mewah tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. Rahasia masa lalu terbuka, membawa Anna pada dunia kekuasaan, warisan, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Alasan
"Punya lo lebih luas dikit dibanding unit gue, ya?!" ungkap Anna saat masuk ke unit apartemen Tony. Sepulang kantor tadi, ia mandi dan bersih-bersih terlebih dahulu baru ke tempat Tony seperti kesepakatan tadi.
"Iya. Kan udah gue bilang sebelumnya. Lo bilang ga papa, kan?" Tony meletakkan piring dan gelas di atas meja.
"Iya, sih!" Anna masih mengedarkan pandangan sekeliling apartemen Tony. Meja, kursi, hiasan dinding abstrak tersusun rapi. Khas Tony.
Di kampung, baik Tony maupun Anna memang sudah terbiasa keluar masuk ke kamar satu dan lainnya. Kadang hanya sekadar saling bercerita, kadang nonton bahkan karaoke berdua.
"Mau pake nasi atau enggak?" Tony mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Karena sebagai orang Indonesia tulen, ga makan namanya kalau tidak pakai nasi.
"Enggak" Anna menggeleng, duduk di seberang Tony di meja makan lesehan itu. Ia mengisi piring dengan kwetiau lalu menjangkau mangkuk tom yam, menyendok lalu memasukkan ke mulutnya.
"Gimana hari pertama kerja?" tanya Tony memecah kebisuan di meja makan itu.
Uhuk.
Anna tersedak, lalu mengambil gelas yang disodorkan Tony.
Ia tidak tahu harus bercerita mulai dari mana. "Hmmm. Ga enak!"
Tony mengerutkan kening. Anna bicara soal makanan apa suasana kantor? "Tom yam nya ga enak apa kwetiau nya?"
Anna kembali tersedak.
"Enggak... ! Makanan nya enak kok" jawab Anna dengan mulut yang masih separuh berisi. Terus terang dia sangat lapar saat ini karena sebelumnya melewatkan makan siang. Siang tadi ia hanya minum sereal dan memakan snack yang ada di pantry kantor.
"Lalu... ?"
"Gue dikerjain!" jawab Anna setelah meneguk air putih.
"Dikerjain?!" Tony tak percaya.
Anna mengangguk. "Gue disuruh merekap data segini!" Anna menunjukkan tinggi berkas yang dikerjakannya, ya... dilebihkan juga dua kali lipat. Hehe.
"Serius?!"
Anna kembali mengangguk. "Katanya data itu harus direkap dan di analisis buat meeting besok pagi. Gila, gak?"
Tony angguk-angguk. "Pantesan lo bilang mau lembur."
"Ya... Untung pas habis Lo nelpon tadi Pak Dirut nyamperin dan bilang kalo data itu sudah ada di dia dan gue hanya dikerjain!" Anna kembali menyuap makanan nya.
"Pak William nyamperin Lo?"
Anna mengangguk.
Ehem. Tony berdeham. "Trus lo tadi ga jadi lembur berkat pak Dirut?"
"Ya."
Tony melirik Anna, mencoba membaca ekspresi gadis itu. Yang Tony tau, rata-rata pegawai perempuan di kantor mereka mengidolakan kakak-adik William dan Daniel. Dari ekspresi Anna yang terlihat tidak acuh, sepertinya Anna belum terkena virus W'nD, William and Daniel.
"Gantengan mana aku ama Pak William?"
Untung tenggorokan Anna sedang tidak berisi. Kalau tidak, mungkin ia akan tersedak untuk yang ketiga kalinya. "Apa-apaan sih lo, Ton?! Pertanyaan lo ga mutu tau!"
Tony nyengir. "Ya... orang-orang bilang gue ganteng sih, Ann."Tony menyisir rambutnya dengan jari. Narsis. "Bisa dibandingkan dengan Pak Dirut, kan?
"Apaan lo ah!" Anna jijay. "Habisin dulu deh makanan nya, baru Lo ngehayal!"
Tony memang ganteng. Di atas rata-rata juga sebenarnya. Tapi kalau disandingkan dengan William, Tony masih kalah jauh. Eh, ga jauh-jauh kali sih. Mungkin saja karena Anna sudah terbiasa melihat Tony dari segala versi. Versi kacau sampai versi klimis, jadi dia tak silau lagi dengan ketampanan pemuda itu.
"Iya. iya!" Tony menunduk, mulai menyuap lagi makanan nya. Huft. Gagal lagi deh! ucap suara hati Tony.
Pemuda itu baru mulai berusaha lagi untuk mendapatkan hati Anna sebagai seorang lelaki. Namun, kesempatan selalu tertutup baginya yang sudah terlanjur menjadi teman terbaik bagi wanita yang disukainya itu.
Ting. Tong.
Suara bel menginterupsi suasana makan yang hampir selesai itu.
"Lo pesan sesuatu?" tanya Anna mengira itu kurir pesan antar.
Tony menggeleng dan bangkit menuju pintu, membukanya lalu terpaku. Bangsat! Baru juga diomongin udah nongol di sini!
"Siapa, Ton?" tanya Anna lalu membelalak saat melihat tamu yang datang itu adalah William.
"Apa saya mengganggu?" tanya William yang disambut oleh Tony yang masih terpaku di depan pintu.
"Eh. Ah. Tidak. Tentu saja tidak Pak Direktur! Silakan masuk!" sambut Tony tidak menyangka kedatangan tamu agung.
"Terimakasih!" ucap William melangkah menuju meja tempat Anna masih duduk bersila.
"Ah, maaf Pak. Di sebelah sini!" Tony menunjuk ke arah sofa tempat ia biasa duduk menonton televisi. 'Cepat berdiri!' perintah Tony kepada Anna tanpa suara.
Anna pun berdiri. Toh ia sudah selesai menghabiskan makanannya.
William terdiam sejenak.
"Ah. Tidak perlu. Saya hanya mau memberikan berkas ini, untuk perbaikan bahan meeting besok," ucap William yang membawa berkas dalam amplop besar.
***
Beberapa waktu sebelumnya...
William masih tersenyum saat sampai di depan lobi di mana Putra sudah menunggu dan membukakan pintu mobil untuknya.
Namun senyum yang terpampang di wajah pria muda itu langsung lenyap tatkala melihat sosok gadis yang tadi membuat sore harinya terasa cerah sedang tersenyum dan dirangkul oleh pria lain.
William merasa panas. "AC nya kurang dingin," ucap William kemudian. "Apa pria itu yang bernama Tony?"
Putra yang tadi nya menunggu aba-aba untuk berangkat melihat ke arah yang ditunjuk oleh dagu William lalu mengangguk. "Ya, boss. Pria itu yang bernama Tony." Ia pun menyetel AC mobil agar suhu lebih dingin.
"Dan dia tinggal di samping unit apartemen Anna?"
Putra kembali mengangguk. "Iya, Boss." Sebelumnya Putra bertugas menjadi penyortir dan evaluator informasi yang telah dikumpulkan oleh orang-orang mereka yang diutus untuk mencari tahu dan mengawasi Anna.
William menyilang kakinya, berpikir sejenak. "Pergilah ke atas, ambil bahan meeting besok di laci!"
"Eh, Boss. Bukan nya semua bahan sudah dikirim?"
"Saya mau hardcopy. Sekarang!"
Putra melirik William dari kaca spion. "Baik. Siap!"
Putra geleng-geleng kepala meninggalkan sang boss yang duduk di mobil masih menyilang kaki. Sejak berurusan dengan Anna, boss nya itu seperti hilang kepribadian. William tidak lagi seperti pria yang praktis dan dingin.
Putra menilai bahwa, boss nya sekarang suka tersenyum sendiri dan mengurusi hal-hal remeh seperti hardcopy bahan meeting.
"Ini Boss!" Beberapa saat kemudian Putra menyerahkan berkas kepada William yang seperti tidak sabaran menunggu dirinya sambil mengatur napas karena bergegas naik turun gedung kantor yang cukup tinggi itu.
"Lama banget, sih!" gerutu William yang sudah tidak sabar menunggu bahan yang dibawa Putra.
Putra kembali duduk di kursi depan setir. "Kan ruangan Boss di lantai paling atas. Saya juga harus nyari dulu dan mastiin membawa berkas yang benar," jawab Putra membela diri. "Dan tadi papasan sama satpam yang lagi patroli, ga enak juga kalo ga ngobrol sebentar."
William membuka amplop coklat berisi berkas untuk meeting yang dibawa Putra, memastikan Putra membawa bahan yang benar. "Ya udah! Kita ke apartemen itu!" tunjuk William ke arah apartemen yang berada tak jauh dari kantor mereka.
***