Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - WAJAH DI BALIK RETAKAN
Cermin yang telah pecah menyisakan tepi-tepi tajam dan bayangan yang terus bergetar di permukaannya. Dari celah di tengah, seorang wanita muncul perlahan—rambut yang panjang terurai, wajah familiar yang dulu membawa tawa dan kasih sayang dalam hidup Elysia.
Resa.
Namun, bukan Resa yang Elysia ingat.
Wajahnya lebih pucat, matanya lebih dalam, seperti menyimpan kekosongan yang tak bisa dijelaskan. Ia tidak tersenyum. Ia tidak berbicara. Ia hanya menatap, lama, seolah menilai apakah Elysia masih layak untuk mengetahui sisa kebenaran.
Satrio langsung berdiri di depan Elysia. “Jangan dekati dia.”
Tapi Elysia menepis pelan lengannya. “Itu adikku Satrio…”
Edric menggeleng. “Sayangnya, Dia bukan adikmu lagi.”
Resa akhirnya berbicara, suaranya datar dan dingin, “Aku tidak pernah meninggalkanmu, kak. Aku selalu ada. Hanya saja kau memilih untuk melupakanku.”
Elysia menelan ludah. “Apa yang kau lakukan? Apa semua ini… ulahmu?”
Resa menunduk, seolah sedang mempertimbangkan jawabannya. Lalu ia menatap kembali dengan senyumnya yang samar. “Semua ini… adalah bagian dari perhitungan.”
“Dulu kau berjanji akan bersamaku selamanya,” lanjut Resa. “Tapi sejak Edric datang, kau menghilang dari hidupku. Kau lupakan aku, tinggalkan aku, dan membiarkan mereka… mengambilku.”
Elysia tertegun. “Apa maksudmu ‘mereka mengambilmu’? Aku tak pernah meninggalkanmu!”
Resa mengangkat tangannya. Dari telapak tangannya keluar serpihan bayangan—kepingan memori yang hidup kembali. Elysia melihat potongan masa lalu : Resa kecil dikurung dalam sebuah kamar, menangis sendirian, sementara orang tua mereka sibuk merawat Elysia yang jatuh sakit.
“Selalu kamu,” bisik Resa. “Selalu kamu yang jadi pusat segalanya. Lalu datang Edric, dan kamu benar-benar melupakanku.”
Satrio berbisik ke telinga Elysia, “Dia membentuk kenyataan sendiri. Luka masa kecil itu membuatnya menyatu dengan kegelapan cermin.”
Elysia memejamkan mata. “Resa… aku tak tahu. Kalau aku tahu…”
“Terlambat,” sahut Resa cepat. “Sekarang aku bukan bagian dari duniamu lagi. Aku adalah dunia ini.”
Cermin mulai membentuk kembali wujudnya. Seolah retakannya adalah pintu, dan Resa kini adalah penjaganya. Bayangan-bayangan mulai muncul dari dinding, berkumpul di sekelilingnya.
“Aku bisa memberimu semua jawaban yang kau cari, Elysia,” kata Resa. “Tapi kau harus meninggalkan dunia itu. Masuk ke sini… bersamaku.”
Elysia menunduk, hatinya tercabik. “Dan jika aku menolak?”
Wajah Resa menjadi lebih dingin. “Maka semua orang yang kau cintai akan membayar harga pengkhianatanmu.”
Satrio mencengkeram pisau perak yang ia sembunyikan di balik jaket. “Jangan dengarkan dia. Ini jebakan. Dia bukan Resa lagi—dia hanya tubuh yang dikuasai oleh kegelapan itu.”
Namun, Elysia tahu—dalam benaknya, bagian dari Resa masih ada di sana. Ia hanya… terjebak. Sama seperti Edric.
Edric melangkah ke depan. “Kau bisa menyelamatkan dia. Tapi tidak dengan mengikuti permainannya. Kita harus menghancurkan koneksi itu. Kita harus memutuskan energi cermin ini.”
Resa menatapnya dengan mata berapi. “Kau tidak punya kuasa atas bayangan ini, Edric! Aku lebih kuat dari apa pun yang kau bayangkan!”
API YANG MEMBAKAR CAHAYA
Satrio mengangguk ke arah Elysia. “Kita hanya punya satu kesempatan. Aku akan mengalihkan perhatian Resa. Kau—temukan pusat kekuatan cermin. Pecahkan, apapun risikonya.”
Sebelum Elysia sempat bertanya apa maksudnya, Satrio melompat ke arah Resa, menyilangkan pisau peraknya ke udara, menciptakan kilatan cahaya yang menusuk pandangan.
Resa menjerit, bukan karena kesakitan, tapi karena marah. Bayangan-bayangan menyerang Satrio, tetapi ia bertahan, melindungi Elysia.
Elysia kembali melihat ke tengah cermin. Ada pusaran kecil di sana—seperti inti dari semua energi gelap. Ia tahu, jika ia menghancurkan itu, mungkin ia akan kehilangan segalanya… atau menyelamatkan semuanya.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil pecahan cermin yang tajam dan menusukkannya ke pusat pusaran itu.
Teriakan membahana.
Dunia berguncang.
Cahaya putih meledak dari dalam cermin, menyelimuti semuanya.
KEHENINGAN SETELAH SEGALANYA
Ketika cahaya mereda, Elysia perlahan membuka matanya. Ia berada di ruang kosong, putih, bersih—tanpa suara. Tanpa bayangan.
Di depannya… Resa. Kini hanya seorang gadis biasa. Wajahnya tenang. Ia tersenyum kecil.
“Terima kasih,” bisiknya. “Akhirnya… aku bebas.”
Elysia menitikkan air mata. “Maafkan aku…”
Resa menggeleng. “Kau sudah cukup melakukan semuanya.”
Tubuhnya perlahan menghilang menjadi cahaya.
Lalu gelap.
Dan ketika Elysia membuka matanya kembali, ia sudah kembali ke dunia nyata. Cermin itu… hancur.
Edric memegangi tangannya. Satrio berdiri di sisi lain, wajahnya lelah, tapi lega.
Elysia menghela napas panjang.
Bayangan telah pergi.
Tapi jejaknya…
Masih tertinggal dalam hati.
Ledakan cahaya yang muncul dari cermin menyilaukan segalanya. Dunia seperti terlipat, dan suara Resa bergema seperti gema jiwa yang terpecah di antara dimensi.
Elysia merasakan tubuhnya melayang, jiwanya tercerabut dari dunia nyata, lalu dilempar ke dalam ruang tanpa gravitasi—gelap, dingin, namun anehnya tenang. Di sekitarnya, potongan-potongan kenangan melayang seperti serpihan kaca: tawa masa kecil bersama Resa, tangisan di malam-malam kesepian, pertemuan pertama dengan Edric, dan kehampaan setelah kematiannya.
Kemudian, sebuah suara berbicara lembut dari kegelapan.
“Ini adalah ruang antara. Antara yang telah mati… dan yang memilih untuk hidup.”
Elysia berbalik, dan di hadapannya muncul sosok Resa—bukan yang penuh bayangan, tapi versi Resa yang dulu. Remaja dengan rambut dikuncir, mengenakan seragam sekolah, dan mata yang cerah.
“Aku ingat tempat ini,” gumam Elysia. “Kita biasa bermain di sini dalam imajinasi kita.”
Resa tersenyum. “Tempat rahasia kita. Di dalam pikiran.”
Elysia mendekat. “Kenapa kau membiarkan dirimu tenggelam dalam bayangan?”
Resa menatapnya lebih lama. “Karena itu satu-satunya tempat yang mendengarkanku. Dunia ini terlalu bising untuk mendengar tangis seorang anak yang merasa tak diinginkan.”
Elysia menitikkan air mata. “Aku salah… Aku sibuk tumbuh, tanpa sadar kau memudar. Tapi aku mencintaimu, Res.”
Resa menggeleng, namun senyumnya tulus. “Kau telah menyelamatkanku. Dan sekarang... saatnya kau kembali.”
Lantai bercahaya di bawah kaki Elysia. Sebuah lingkaran cahaya muncul, menariknya naik perlahan.
Tangan mereka terlepas.
“Selamat tinggal, kakakku…”
DUNIA YANG BARU
Elysia terbangun di rumah sakit. Di sampingnya ada Edric dan Satrio, keduanya terluka tapi hidup. Matahari pagi menyinari jendela. Dunia terasa lebih… nyata.
“Sudah selesai?” bisik Elysia.
Edric menggenggam tangannya. “Untuk sekarang, ya.”
Satrio mengangguk dari kursi. “Cermin itu… telah dimusnahkan. Tidak ada lagi jalan keluar bagi bayangan.”
Namun, saat Elysia menoleh ke meja di samping ranjangnya, matanya terpaku pada sebuah benda kecil.
Sebuah pecahan cermin.
Masih utuh. Masih berkilau.
Ia mendekatkannya ke wajah.
Dan untuk sesaat—sangat singkat—ia melihat Resa di sana. Tersenyum. Damai.
Elysia menarik napasnya dalam dalam.
Bayangan tidak selalu jahat. Kadang, mereka hanya bagian dari kita… yang belum sempat berbicara.