Mirna gadis miskin yang dibesarkan oleh kakeknya. Dia mempunyai seorang sahabat bernama Sarah.
Kehidupan Sarah yang berbanding terbalik dengan Mirna, kadang membuat Mirna merasa iri.
Puncaknya saat anak kepala desa hendak melamar Sarah. Rasa cemburunya tidak bisa disembunyikan lagi.
Sang kakek yang mengetahui, memberi saran untuk merebut hati anak kepala desa dengan menggunakan ilmu warisan keluarganya.
Bagaimana kelanjutan ceritanya? Yuk baca kisahnya, wajib sampai end.
29/01'25
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deanpanca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Kenapa harus jij1k, Mirna? Justru aku berterima kasih, kalau tidak kau ambil duluan mana kebagian aku." Kata Purnomo dengan senyum menawannya.
Tanpa ragu lelaki itu meminumnya dengan sekali teguk. Sekali lagi aku merasa senang dengan keberuntungan ini.
Purnomo masih bisa bersenda gurau bersama Sarah dan itu membuat ku semakin iri.
"Tunggu saja Sarah, pujaan hatimu akan segera mengejar-ngejar ku. Pada saat itu rasa sakit hati yang selama ini ku rasakan, akan berbalik padamu."
Acara belum selesai, tapi aku pamit lebih dulu pada Bude Sitti. Aku tidak bisa meninggalkan kakek terlalu lama sendirian di rumah.
Beliau sudah sangat tua, kadang waras kadang gila. Saat waras dia akan menjadi orang yang normal, bijaksana, dan ya itu jiwa paranormalnya kembali.
Tapi saat kambuh, dia akan berkeliling kampung dan merapal kan mantra sepanjang jalan. Baru tiga bulan terakhir kakek bersikap seperti ini, tapi perubahannya membuat warga semakin tidak suka dengan kami.
"Sarah, Bude Sitti! Aku izin pulang dulu ya. Sudah terlalu lama aku meninggalkan kakek di rumah." Kata Mirna pada dua orang yang cukup peduli padanya di desa itu.
"Kenapa cepat sekali!?" Ucap keduanya.
"Ya sudah, ayo sini ikut Bude!" Aku mengikuti langkah Bude Sitti ke dapur.
Dia memberi ku satu kresek besar, entah apa saja isinya. "Apa ini, Bude?" Tanyaku, sembari menatap kresek itu.
"Itu...." Belum selesai Bude Sitti bicara, segera dipotong oleh Bude Imah.
"Halah, kamu terlalu baik Mbak. Kerjanya saja nda seberapa, pulang dikasi bawaan sebanyak itu." Katanya, dengan muka sinis yang menatap Mirna.
Mirna tak ambil pusing, semakin diladeni Bude Imah akan semakin banyak bicara. Mirna memutuskan meninggalkan dua kakak beradik itu, sedangkan Bude Sitti hanya bisa geleng kepala melihat sikap adiknya.
*** ***
"Kau sudah pulang, Mirna? Bagaimana rencana mu, apakah berhasil?" Tanya Kakek yang berdiri menyambut ku di ambang pintu.
"Iya, Kek! Aku senang sekali, rasanya keberuntungan selalu berpihak padaku hari ini." Ucap Mirna dengan senyum sumringah.
Kakek Sapto melihat kantongan kresek yang dibawa Mirna.
"Apa itu ndo'?" Tunjuknya pada kantongan yang Mirna bawa.
"Gak tahu juga, kek! Tadi ibunya Sarah yang kasih." Mirna meletakkan kreseknya di atas meja. Dia memeriksa satu persatu isi bungkusan itu, ada aneka jajanan yang seperti disajikan di acara lamaran Sarah. Ada nasi serta lauk pauknya.
"Bude Sitti baik sekali, Kek. Dia memberi kita banyak makanan, ta pi kita malah akan menyakitinya." Ucap Mirna ragu.
"Sudah sampai disini, tidak bisa kembali lagi. Jangan terlalu kasihan pada orang, apa kamu tidak melihat bagaimana tanggapan warga lain kepada kita." Kata Kakek Sapto.
Mirna tidak bisa menampik bagaiman perlakuan buruk warga lain kepada keluarganya, hanya karena miskin dan keberadaan ayah, ibu nya yang tidak jelas. Mereka bertindak semena-mena padanya.
"Aku hanya merasa kasihan, kek. Hati ku tak tega melihat mereka dalam kesedihan."
"Jangan gunakan perasaanmu, setelah Sarah menikah, dia pasti akan melupakanmu." Tegas Kakek Sapto.
"Kalau kau merebut Purnomo, kau akan menjadi wanita kaya raya. Tidak ada lagi yang akan berani menyinggung mu." Imbuhnya.
Nasi sudah mereka habiskan. Mirna membersihkan bekasnya.
Malam tiba, Mirna dan kakek Sapto duduk di ruang tamu mereka yang sederhana.
"Kakek, Mirna ingin menanyakan sesuatu. Apa boleh?" Ucapnya.
"Katakan saja."
"Bagaimana ilmu ini bisa membuat orang jatuh cinta pada kita? Tapi melihat kakek yang seperti ini aku sedikit ragu. Kakek mempunyai ilmu tapi kenapa kehidupan kakek seperti ini, tidak bahagia dan miskin?" Tanya Mirna, karena menurutnya ajian kakeknya tidak berguna.
"Huftt!" Kakek menghembuskan nafas kasar.
"Ilmu ini sangat hebat, Mirna. Tapi setiap ajian yang bertentangan dengan agama selalu memiliki pantangan." Kata Kakek Sapto.
"Maksudnya bagaimana, Kek?" Mirna masih sulit mencerna apa yang dikatakan kakeknya.
"Jangan sekali-kali kamu jatuh cinta, pada lelaki yang sudah kamu beri jampi-jampi."
"Jadi aku tidak boleh mencintai Purnomo! Sebelumnya aku mengatakan pada kakek, kalau aku menyukai nya." Mirna panik, karena baru mulai sudah dihadapkan dengan kenyataan seperti ini. Jika bisa memilih, dia tidak akan memberi jampi-jampi pada Purnomo.
"Ajian ini bernama Pelet Dendam Panggalih, sebagai syarat utama kau tidak boleh mencintai target mu." Ucap Kakek Sapto.
"Ajian ini hanya digunakan untuk balas dendam saja, artinya kita tidak boleh ada perasaan. Entah itu rasa suka atau rasa kasihan." Lanjutnya.
Mirna tampak berpikir kembali, berharap langkah yang dia ambil kini merupakan pilihan yang tepat. Kakeknya tak mungkin selamanya berada disisinya, dia harus menemukan kebahagiaan menjadi wanita kaya. Masalah perasaan mudah untuk menghilangkannya.
"Aku paham, kakek! Lalu, bagaimana kelanjutan cerita kakek?" Mirna masih penasaran dengan kehidupan kakeknya. Apa yang membuat kakeknya justru berakhir dengan kemiskinan dan hinaan dari masyarakat?
"Kakek jatuh cinta pada Nenek mu. Sekali lagi kakek ingatkan, jangan jatuh cinta pada target mu." Tegas Kakek Sapto.
Mirna mengangguk, tanda dia sudah mengerti.
"Malam sudah larut, tidur lah! Besok kau akan melihat khasiat dari ajian yang kakek ajarkan pada mu." Ucap Kakek Sapto.
Mirna masuk ke bilik kamarnya, tidak luas bahkan tidak ada tempat tidur. Mirna membentangkan tikar sebagai alas tidurnya.
Baru saja dia berbaring rasa kantuk dengan cepat menyergap, padahal saat kakek Sapto memintanya tidur dia belum benar-benar mengantuk.
Entah sudah berapa lama dia tidur, kakek Sapto datang membangunkan nya.
"Mirna! Bangun ndo', para sesepuh menunggumu." Terdengar jelas suara Kakek Sapto di telinga Mirna.
Dia segera bangun. "Apa aku kesiangan, kek?" Katanya sembari menguap.
"Tidak, tapi para sesepuh menunggu mu di belakang." Kata Kakek Sapto.
Dia membantu Mirna berdiri dan mengajak gadis itu ke area dapur. Suasana yang temaram hanya diterangi satu lampu ublik (pelita), membuat bulu kuduk Mirna bergidik.
"Kakek! Siapa yang kakek maksud sesepuh? Disini hanya ada kita berdua, kek." Tanya Mirna, sembari mengedarkan pandangannya di dapur yang tidak begitu luas itu.
"Ambil dinglik nya dan duduklah di dekat gentong air itu." Tunjuk Kakek Sapto pada sebuah tempat penampungan air yang terbuat dari tanah liat.
Samar dapat Mirna lihat, disana sudah ada kembang yang ditaruh diatas nampan.
"Dimana kakek mengambil bunga bunga itu?" Mirna nampak penasaran dan khawatir. Jangan jangan kakeknya pergi saat dia di rumah Sarah.
"Apa hari ini kakek membuat keributan lagi di rumah warga? Apa besok pagi aku akan digeruduk lagi, karena lalai menjaga kakek?" Gumam Mirna.
"Tidak usah khawatir, kembang itu tidak diambil di rumah warga. Tidak akan ada warga yang akan menggeruduk mu disini." Ucap kakek Sapto, yang membuat Mirna terkejut.
"Bagaimana kakek..."
"Duduklah! Kakek dan para sesepuh akan memindahkan semua ajian di tubuh kakek padamu." Kakek Sapto memotong cepat ucapan cucunya.
Mirna hanya mengangguk dan patuh dengan kata-kata kakeknya.