Bagaimana jika orang yang kamu cintai meninggalkan dirimu untuk selamanya?
Lalu dicintai oleh seseorang yang juga mengharapkan dirinya selama bertahun-tahun.
Akhirnya dia bersedia dinikahi oleh pria bernama Fairuz yang dengan menemani dan menerima dirinya yang tak bisa melupakan almarhum suaminya.
Tapi, seseorang yang baru saja hadir dalam keluarga almarhum suaminya itu malah merusak segalanya.
Hanya karena Adrian begitu mirip dengan almarhum suaminya itu dia jadi bimbang.
Dan yang paling tak di duga, pria itu berusaha untuk membatalkan pernikahan Hana dengan segala macam cara.
"Maaf, pernikahan ini di batalkan saja."
Jangan lupa baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Perjalanan jalur laut yang panjang, tiga Minggu setelahnya kapal yang berlayar dari laut Sumatera itu tiba di pulau unjung perbatasan Indonesia.
Hari-hari yang berlalu, sepi dan rindu tentulah menyelimuti malam yang pasti panjang, siang pun terasa lama. Pagi gelisah, sore mencekam kala matahari tenggelam dan sebagian bumi menyambut malam.
Kak Hana mulai tenang ketika mendapatkan kabar bahwa sang suami sudah tiba di pulau tersebut. Suara merdu saling menemani, hari-hari penuh rindu kini sedikit terobati.
Malam itu, giliran mas Rayan yang bertugas. Berjaga disekitar tempat mereka membuat tenda, dengan membawa senjata Laras panjang beserta ponsel yang selalu setia. Ia pun berdiri di tepi tebing menikmati keindahan diatas ketinggian. Dia menceritakan segala yang di lihat oleh matanya kepada Hana.
Siapa sangka, suara tembakan menggema dari arah yang tak terduga. Ponsel yang masih tersambung dengan kak Hana mendadak senyap. Tak bersuara setelahnya.
"Ibu! Bang Rayan Bu!" teriak kak Hana, berlari keluar dari kamarnya dan menggedor pintu kamar ibu dengan panik, ibu sedang sholat.
Ibu dan bapak langsung keluar dengan paniknya lalu bertanya. "Ada apa Nak Hana?"
Air mata kak Hana sudah berderai tak tau jumlahnya. Dia menangis tergugu sambil menatap wajah ibu, memegangi tangan Ibu dengan ketakutan.
"Bang Rayan Bu! Ade suare tembakan kat sane. Bang Rayan tinggalkan ponsel die entah kemane." Kak Hana menunjukkan ponsel di tangannya, benar masih tersambung tapi tidak ada suara apapun.
"Pak!" Ibu mulai khawatir. Wajah tuanya semakin berlipat bersamaan dengan jatuhnya air mata.
"Tenang Bu, mungkin sedang bersembunyi atau berlari. Atau bisa juga sedang tidak boleh berbicara. Namanya juga di hutan, sedang bertugas." Bapak menenangkan dua wanita yang sudah terlihat ketakutan.
"Tapi Bang Rayan!" Dia semakin menangis dengan tubuh gemetar.
Lalu ibu mengisyaratkan untuk diam, menekan telunjuknya di depan bibirnya sendiri. Mendengarkan bagaimana suasana di seberang sana. Namun percuma, hingga pagi hari dan sampai nomor telepon Mas Rayan tidak bisa di hubungi lagi, kemungkinan sudah kehabisan baterai.
Dua hari sudah kak Hana menunggu, wajahnya pucat dan kuyu memikirkan Mas Rayan. Dua haripun nyaris tak makan, hanya beberapa sendok saja, terkadang malah tidak sama sekali.
Akhirnya setelah menunggu dengan rasa cemas luar biasa. Kabar duka pun sampai ke telinga Ibu, bapak dan kak Hana.
Kak Hana yang kala itu berada di asrama ditemani ibu dan bapak, hanya bisa menjerit keras, menangis sejadi-jadinya, lalu pingsan berkali-kali.
Suasana kacau dan mencekam menunggu jenazah Mas Rayan tiba dari pulau seberang.
Aku yang baru saja kembali bekerja di negeri Melayu seorang diri, akhirnya memutuskan untuk pulang kembali untuk menemui jenazah Mas Rayan. Aku tidak peduli lagi pekerjaan yang aku tinggalkan, aku harus bertemu dengan mas Rayan untuk terakhir kalinya.
Berhari-hari kak Hana duduk mematung menatap langit yang biru di teras rumah, dia begitu putus asa. Terlebih lagi peti jenazah mas Rayan hanya bisa di buka sebentar lalu dimakamkan. Kak Hana, sempat tak mau pulang dari makam Mas Rayan ketika itu, namun akhirnya pingsan lagi dan kami membawanya pulang kembali.
"Kak Hana." aku memanggilnya pelan, lalu duduk di sampingnya.
Dia bahkan tak menoleh, air matanya menggenang lagi, seperti tak pernah habis air matanya padahal minumnya dapat di hitung.
Setiap pagi ia bangun lebih awal dibandingkan kami semua. Dia menjemur bantal disaat mata hari belum muncul, mencuci sarung bantalnya setiap pagi. Jika di tanya, dia akan menjawabnya 'agar selalu bersih dan wangi'. Padahal bukan itu, setiap malam dia membanjirinya dengan air mata, Hingga matanya sembab dan hilang keindahannya.
Perlahan.
Jika luka di tangan dokter bisa mengobatinya, tapi luka di hati, hanya waktu yang bisa menyembuhkannya. Seiring waktu kak Hana mulai membuka diri. Kami mulai sering bercerita, tapi tidak seperti dulu lagi. Dia lebih sering murung sendirian.
(POV end)
*
*
*
Hari ini, tepat ketiga tahun sudah hari meninggalnya M Rayan Dwi Aryanto. Hana mulai berkutat di dapur memasak ayam yang tadi di pesan Rosa. Sudah menjadi kegiatan rutin bagi mereka membagikan makanan kepada anak-anak dan tetangga di sekitar mereka.
Itu pula membuat Hana semakin di kenal walaupun jarang keluar.
"Sudah beres kak." Rosa menepuk-nepuk kedua tangannya, ia begitu senang melihat nasi kotak sudah bertumpuk rapi, siap di bawa ke mesjid dan di bagikan sore ini.
"Alhamdulillah." Hana tersenyum lega.
"Ros mau mandi dulu! Mana tahu nanti ustadz Yusuf kepincut sama aku." Rosa mencium keteknya sendiri, lalu tersenyum aneh.
Hana pun terkekeh geli melihat tingkah adik iparnya. "Banyak-banyak doa je. Banyak kan berjuang di sepertiga malam." ujar Hana.
"Jangankan sepertiga malam, semalam penuh pun aku akan berjuang Kak."
Kedua bersaudari itu tertawa bersama-sama.
Sekilas ada kebahagiaan yang membuatnya merasa hangat, itu pula yang membuatnya betah di rumah mertua. Namun belum ada yang bisa membuka hatinya hingga saat ini.
"Kalau ibu sih, lebih setuju sama ustadz Fairuz." ibu yang sejak tadi diam kini menyahut.
"Kok ustadz Fairuz sih Bu?" Protes Rosa, urung meraih handuk, iapun duduk menghadap sang ibu.
"Bukan buat kamu, tapi buat Hana." Sang ibu tersenyum, Begitupun Hana hanya tersenyum tipis lalu menunduk.
"Kamu masih muda Nak, jangan berlarut akan kesedihan, masa depanmu juga harus dipikirkan." Ibu mengusap lengan Hana dengan lembut, Namun sepertinya hati Hana masih terlalu rapat untuk di goyahkan.
Ros pun tak berani berkata, lantaran takut Hana tersinggung.
"Sudah cukup kamu bersedih atas kehilangan Rayan. Ibu yakin dia pun tidak ingin kamu terus seperti ini." lanjut ibu lagi.
"Hana sedang berusaha Bu. Walaupun..." ucapannya terhenti.
Kalau sudah begini, ibu pun tak akan melanjutkan percakapan mereka lagi. "Mandi gih, Ibu tungguin." titah sang ibu kepada Hana.
Dia pun mengangguk.
Pengajian para ibu-ibu belum di mulai, hanya saja sudah ramai. Anak-anak pun dengan riang menunggu. Terutama semua anak yatim dan fakir, mereka sengaja di kumpulkan hari ini.
Hana Langsung membagikan nasi kotak untuk anak-anak terlebih dahulu. Wajah cantiknya berseri melihat kebahagiaan mereka yang mendapat nasi kotak beserta selembar uang berwarna biru. Senyumnya mengembang, namun pikirannya melayang, membayangkan ada sosok Rayan disampingnya, menemaninya.
"Terimakasih Hana, sudah membuat anak-anak bahagia." sejak tadi, Ustadz Fairuz lah yang ada disampingnya membantu Hana.
Bukan rahasia lagi, ustadz Fairuz menyukai Hana sejak lama. Namun Hana belum menunjukkan respon apa-apa.
"Sama-sama Ustadz. Hana hanya menyampaikan sedikit rezeki dari almarhum suami." jawab Hana, kaku. Sedang berusaha mengubah bahasa bicaranya.
Ustadz Fairuz tersenyum, dia semakin kagum akan kesetiaan Hana pada suaminya yang sudah tiada. Jika boleh di kata, Fairuz ingin sekali menjadi Rayan yang selalu dicintai oleh Hana, meskipun sudah tiada.
💞💞💞💞
#quoteoftheday..