KONTEN INI AREA DEWASA‼️
Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GTTS chapter 2
Halo, readers tersayang! 😍👋🏻✨️
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk mampir dan membaca karya author ya 🫶🏻 Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, supaya author tahu kalau karya ini disukai. Dukungan kecil dari kalian berarti besar banget buat semangat author biar nggak nyerah dan terus menulis! 📖🖊🤗💖
...—...
Delapan Tahun Kemudian
Dentuman house music dari dek atas terdengar menggelegar samar, berebut ruang dengan aroma laut asin, alkohol mahal, dan parfum-parfum kelas atas. Lampu sorot pesta memantul liar dari kaca jendela koridor, mengubah siluet lelah Shannara menjadi bayangan yang menari-nari di dinding sempit kapal pesiar The Siren’s Dream.
Ia baru saja menyelesaikan shift malamnya. Bahunya terasa kaku, langkahnya seperti menyeret beban, dan satu-satunya yang diinginkannya hanyalah bantal. Namun, getaran ponsel memecah keheningan dini hari.
📩 "Ra, aku butuh bantuanmu. URGENT! Tamu di Kamar 308 A mabuk berat dan menumpahkan anggur merah di seluruh karpet beludru. Tolong, bantu aku bersihkan secepatnya sebelum dia bangun. Aku harus menjaga buffet malam. manajer lagi-lagi mengawasi."
Dahi Nara mengerut tajam.
308 A? Itu adalah Kamar Owner’s Suite, kelas VVIP. Jarang sekali staf biasa, apalagi kru pembersih biasa, diizinkan menginjakkan kaki di area itu. Terlalu tinggi risikonya melanggar privasi.
📤 "Kamu yakin nggak apa-apa aku yang masuk? Aku takut masalah privasi tamu, Ris. Aku bukan staf kebersihan. Aku bisa kena warning keras."
📩 "Aman kok! Aku udah izin. Orangnya udah tidur. Cuma tumpahan di karpet aja, tolong ya. Demi kita nggak kena penalti!"
Nara menggigit bibir bawahnya. Risa dikenal sebagai si perfeksionis yang jarang meminta tolong. Tapi solidaritas di antara kru kapal, yang jauh dari rumah di tengah laut, adalah aturan tak tertulis. Tak ada yang meninggalkan rekannya dalam masalah.
Nara tiba di depan kamar 308A. Mengetuk pelan.
Satu kali. Dua kali. Tak ada jawaban.
Ia menempelkan kartu kunci master. Bunyi klik kecil terdengar.
Kamar itu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya rembulan yang menembus jendela kapal. Bau alkohol menusuk hidung, bercampur dengan aroma parfum pria yang kuat dan musky. Namun, alih-alih kekacauan tumpahan anggur di karpet, karpet beludru itu bersih, bahkan debu pun tak tampak.
Sunyi.
Terlalu sunyi.
Nara melangkah masuk lebih dalam walau ia setengah ragu. "Risa...? Ini bener kamar yang kamu maksud?" Gumamnya
Nara merasa firasat buruk. Ia baru saja akan berbalik, meyakini ini hanyalah lelucon murahan Risa, ketika matanya menangkap sosok di ranjang king size. Seorang pria telentang, pakaiannya setengah terbuka, napasnya berat dan tak beraturan. Jantung Nara tiba-tiba berdebar kencang. Ia mengenali profil itu. Postur tubuh yang tinggi atletis, garis rahang yang tegas meski sedang terpejam, sosok itu adalah bayangan dari masa lalu yang ia kubur dalam-dalam selama enam tahun.
Sergio.
Mantan kekasihnya, kini ada di hadapannya, tak berdaya di ranjang mewah sebuah kapal pesiar yang mengarungi lautan. Pria yang ia tolak lamarannya, pria yang kini sudah menjadi suami dari seorang socialite terkenal.
Nara menelan ludah, siap melarikan diri, seolah keberadaan Sergio adalah racun yang akan melumpuhkannya. Namun, saat ia melangkah mundur, ia merasakan alas sepatunya menapak sesuatu yang lengket di lantai marmer. Bukan anggur, melainkan cairan bening. Ia terpeleset, dan dalam refleksnya yang buruk, ia meraih apa pun yang terdekat dan itu adalah tepi ranjang.
"Akh!"
Suara kecil itu cukup untuk membangunkan Sergio.
Di tengah remang-remang kamar yang diselimuti senyap mencekam, sosok Sergio berdiri mematung, geraknya patah-patah laksana boneka kayu yang baru dihidupkan. Matanya terbuka lebar, namun hampa, merah menyala, memancarkan ketiadaan fokus yang menyeramkan. Pandangannya menerawang jauh, menembus dinding kegelapan, seolah mencari bayangan yang hanya bisa ia lihat. Bibirnya bergerak, menggumamkan sebuah nama yang asing, samar, bukan nama Nara. Nama yang entah milik siapa, terucap dari lubuk kesadaran yang terdistorsi.
Tiba-tiba, dengan gerakan yang entah disadari atau didorong oleh kekuatan lain, tangan Sergio mencengkeram pergelangan tangan Nara. Cengkeraman itu dingin, sekeras besi yang baru ditempa, mengunci Nara dalam genggamannya.
"Kamu kembali..." bisik Sergio, suaranya serak dan pecah, seolah pita suaranya terkikis oleh bisikan-bisikan asing. Cengkeraman itu bukan lagi miliknya, melainkan dikendalikan oleh dorongan yang murni bukan dari akalnya. Nara baru menyadari, samar-samar, bau aneh yang menusuk hidungnya. Bau obat yang pahit, seperti ramuan kuno yang dicampur dalam napas Sergio, mengikis kewarasannya sedikit demi sedikit.
"Jangan pergi, Nara…" Suara Sergio kini berubah, menjadi desakan yang memaksa, putus asa, dan predator. Matanya memancarkan gairah beringas yang tak wajar, bagai nyala api yang tersulut paksa, membakar habis setiap sisa kendali diri yang dimilikinya. Obat perangsang yang disengaja itu telah bekerja, menghanguskan batasan-batasan terakhir dalam diri pria itu.
Nara melawan, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Sergio. "Lepaskan, Tuan. Anda mabuk dan salah orang!" Ia berteriak, suaranya bergetar menahan ketakutan. Namun, ia hanyalah seorang wanita dengan postur biasa, melawan kekuatan pria yang kini dirasuki nafsu dan obat-obatan. Dorongan keras menghantam punggungnya, melemparkannya ke atas ranjang yang terasa dingin dan keras. Teriakan yang tertahan di tenggorokannya berubah menjadi erangan sakit yang memilukan.
"Ahk! Tolong berhenti, SAKIT!"
Itu pertama kalinya bagi Shannara. Rasa sakit yang luar biasa, fisik dan emosional, menghantamnya seperti ombak badai. Dalam keputusasaan yang dingin dan memuakkan, dunia di sekelilingnya memudar. Gelombang rasa sakit itu terlampau besar, hingga akhirnya, kesadaran meninggalkannya.
...----------------...
ada aja kelakuan bapak ini gmesss🤭