Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17. SENJATA DARI DAPUR
..."Di dapur yang sama tempat luka disembunyikan, dua jiwa belajar bahwa kadang, cinta paling tulus lahir dari tangan yang bergetar saat mencoba menyembuhkan, bukan saat berani menggenggam."...
...---•---...
Pagi sebelum Rendra datang terasa seperti menunggu badai. Langit Bandung cerah, tidak ada awan, burung berkicau riang seperti biasa. Tapi di dalam rumah besar di Dago Pakar, ketegangan menggantung di udara seperti kabut tebal yang tidak bisa diusir.
Doni bangun pukul empat pagi, satu jam lebih awal dari biasanya. Ia tidak bisa tidur. Kepalanya penuh dengan pikiran tentang apa yang akan terjadi sore nanti. Ia sudah berjanji akan melindungi Naira, tapi bagaimana caranya? Apa yang harus ia lakukan kalau Rendra coba manipulasi? Sejauh mana ia boleh ikut campur sebelum dianggap melampaui batas?
Ia turun ke dapur dalam gelap, hanya menyalakan lampu di atas kompor. Cahaya kuning redup menerangi area memasak, sementara sisanya masih dalam bayangan. Doni menatap kulkas yang tertutup, mencoba memutuskan apa yang akan ia masak hari ini.
Hari ini menunya harus lebih dari sekadar enak. Menu hari ini harus jadi perisai, jadi senjata, jadi pengingat bagi Naira tentang kenapa ia harus tetap kuat.
Ia membuka kulkas, matanya menelusuri bahan-bahan yang tersedia. Lalu ia melihat: salmon segar, sayuran hijau, cokelat hitam, chamomile, dan madu. Bahan-bahan yang terbukti secara ilmiah bisa bantu kesehatan mental. Omega-3 untuk penstabil suasana hati, antioksidan untuk lawan stres, triptofan untuk serotonin, magnesium untuk relaksasi.
Hari ini ia tidak akan masak hanya dengan hati. Ia akan masak dengan sains dan hati sekaligus. Kombinasi sempurna untuk siapkan Naira menghadapi setan dari masa lalunya.
Doni mulai bekerja. Pertama, ia membuat overnight oats untuk sarapan nanti: oat dicampur Greek yoghurt, chia seed, madu, dan susu almond. Ia simpan di kulkas. Besok pagi tinggal tambahkan buah segar dan kacang almond. Makanan kaya serat, protein, dan omega-3. Membuat perut kenyang lebih lama, gula darah stabil, mood tidak naik turun drastis.
Kedua, ia menyiapkan bahan untuk makan siang: fillet salmon yang dimarinasi dengan lemon, bawang putih, dan rempah. Asparagus, brokoli, dan kale untuk sayurannya. Quinoa untuk karbohidrat kompleks. Semua bahan yang penuh vitamin B kompleks dan mineral yang bantu sistem saraf.
Ketiga, untuk teh sore sebelum Rendra datang, ia akan buat chamomile latte dengan madu dan sedikit lavender. Minuman yang menenangkan, bantu Naira lebih rileks.
Keempat, untuk makan malam setelah Rendra pergi (Doni berharap lelaki itu tidak lama), ia akan masak comfort food sejati: soto ayam dengan kaldu yang direbus delapan jam, nasi putih pulen, dan kerupuk. Makanan yang mengingatkan rumah, seperti pelukan hangat seorang ibu.
Saat Doni sedang merebus tulang ayam untuk kaldu soto, ia mendengar langkah kaki di tangga. Langkah itu cepat, berat, seperti orang yang tidak tidur semalaman.
Naira muncul di pintu dapur. Rambutnya berantakan, lingkar hitam di bawah matanya jelas terlihat. Ia memakai hoodie abu-abu yang kebesaran dan celana training. Ia terlihat kecil, rapuh, seperti anak kecil yang ketakutan.
"Tidak bisa tidur?" tanya Doni lembut.
Naira menggeleng, berjalan pelan ke meja dapur dan duduk. "Setiap kali aku tutup mata, aku lihat wajahnya. Dengar suaranya. Rasanya seperti dia sudah ada di dalam rumah ini, padahal belum datang."
Doni mematikan kompor, berjalan ke seberang Naira. "Dia belum di sini. Ini masih tempatmu, tempat amanmu. Dia cuma tamu yang tidak diundang, dan tamu selalu pergi."
"Tapi bagaimana kalau dia bilang sesuatu yang bikin aku percaya lagi sama omongannya? Bagaimana kalau aku jadi lemah dan tidak bisa lawan?"
"Maka itu aku di sini. Ratna juga di sini. Kamu punya cadangan kekuatan sekarang." Doni mengulurkan tangan di atas meja, menawarkan. Naira meraih, jari-jarinya dingin dan gemetar. "Dan aku sudah siapkan sesuatu untuk hari ini."
"Apa?"
"Menu penyembuhan. Makanan yang dirancang khusus untuk memperkuat mental dan emosimu." Doni berdiri, menarik Naira mendekat ke arah kompor. "Lihat ini. Kaldu tulang ayam yang direbus perlahan. Kaya kolagen dan asam amino yang bagus untuk kesehatan usus. Dan kesehatan usus itu berhubungan langsung dengan kesehatan mental. Ada penelitian yang bilang sembilan puluh persen serotonin kita diproduksi di sana."
Naira menatap panci besar berisi kaldu yang mulai mendidih. "Jadi dengan makan yang benar, aku bisa lebih kuat secara mental?"
"Tidak instan, tapi membantu. Makanan yang tepat bisa stabilkan mood, kurangi kecemasan, dan kasih energi yang lebih seimbang." Doni membuka kulkas, menunjuk salmon. "Ini untuk makan siang nanti. Salmon kaya omega-3. Banyak penelitian menunjukkan orang yang konsumsi omega-3 cukup punya risiko depresi lebih rendah."
"Jadi kamu riset semua ini untuk aku?"
"Semalam aku juga tidak bisa tidur, jadi aku baca jurnal tentang nutrisi dan kesehatan mental. Ternyata banyak makanan yang bisa bantu kalau tahu caranya." Doni mengeluarkan cokelat hitam dari kabinet. "Ini untuk dessert nanti. Cokelat hitam bantu tubuh produksi endorfin, hormon bahagia. Plus ada feniletilamin, senyawa yang juga muncul saat kita jatuh cinta."
Naira tersenyum tipis, untuk pertama kalinya pagi itu. "Jadi kamu mau bikin aku jatuh cinta sama cokelat?"
"Atau sama hidup. Mana saja yang berhasil." Doni ikut tersenyum, senang melihat sedikit cahaya kembali di mata Naira.
Mereka menghabiskan satu jam berikutnya memasak bersama. Doni mengajari Naira cara memotong salmon dengan benar, cara mengiris berlawanan serat supaya teksturnya lembut. Naira fokus pada pekerjaan, tangannya tidak lagi gemetar saat memegang pisau. Ada sesuatu yang menyembuhkan dalam memasak, dalam tenggelam sepenuhnya pada satu kegiatan sederhana.
"Bagus," puji Doni saat Naira berhasil memotong fillet pertamanya dengan cukup rapi. "Kamu punya bakat."
"Atau kamu guru yang sabar." Naira menatap hasil kerjanya dengan bangga. "Tiga minggu lalu aku tidak tahu bedanya bawang merah dan bawang bombai. Sekarang aku bisa fillet ikan."
"Tiga minggu lagi, kamu bisa masak full course meal sendiri."
"Kalau kamu masih di sini buat ngajarin."
Ada sesuatu dalam cara Naira mengucapkan itu yang membuat Doni berhenti. Kalau kamu masih di sini. Seolah ia tidak yakin Doni akan tetap ada. Seolah semua orang pada akhirnya akan pergi.
"Aku tidak akan ke mana-mana," kata Doni mantap. "Kontrakku seribu hari. Hari ini baru hari ke dua puluh delapan. Masih sembilan ratus tujuh puluh dua hari lagi."
"Sembilan ratus tujuh puluh dua hari lagi," ulang Naira pelan, seperti mantra. "Kedengarannya lama. Kedengarannya... aman."
Mereka melanjutkan persiapan makan siang. Naira mencuci sayuran sementara Doni membuat marinasi untuk salmon: air lemon, minyak zaitun, bawang putih cincang, thyme, rosemary, garam, dan lada. Aroma citrus dan rempah memenuhi dapur, segar dan menenangkan.
Pukul tujuh, sarapan siap. Overnight oats dengan topping blueberi, stroberi, potongan almond, dan sedikit madu. Naira makan dengan nafsu yang melebihi harapan Doni. Ia bahkan minta tambahan buah.
"Ini enak," katanya sambil menyendok blueberi. "Teksturnya creamy tapi tidak berat. Dan aku suka crunchy dari almond."
"Itu kuncinya. Creamy untuk kenyamanan, crunchy untuk variasi. Otak kita suka makanan dengan tekstur kompleks."
Setelah sarapan, Naira tidak langsung kembali ke kamarnya seperti biasa. Ia duduk di meja dapur, memperhatikan Doni membereskan peralatan, mencuci, lalu menyusun semuanya kembali ke tempat semula.
"Doni," ucapnya pelan. "Terima kasih. Untuk semua ini. Untuk peduli lebih dari yang tertulis di kontrak."
"Itu sudah aku bilang. Kontrak cuma kertas. Yang penting ini." Doni menunjuk dadanya sendiri. "Apa yang ada di sini."
Naira turun dari kursi, berjalan ke arah Doni. Mereka berdiri sangat dekat, seperti semalam di dapur. Tapi pagi ini ada cahaya, ada saksi, ada dunia yang melihat.
"Aku takut," bisik Naira. "Bukan takut pada Rendra. Tapi takut pada apa yang aku rasakan untuk kamu."
Doni menelan ludah, jantungnya berdetak terlalu cepat. "Apa yang kamu rasakan?"
...---•---...
...Bersambung...