Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Notifikasi Malam
Matahari sudah benar-benar tenggelam saat Renjiro Sato melangkah keluar dari gerbang sekolah. Punggungnya terasa mau patah. Hukuman administrasi dari Marika tadi benar-benar brutal: merapikan arsip tiga tahun ke belakang berdasarkan abjad, tanggal, dan jenis font.
"Kejam," gumam Ren sambil memijat bahunya. "Cemburunya orang pintar itu menakutkan."
Dia berjalan gontai menuju stasiun. Jalanan sudah sepi. Namun, saat dia melewati tiang lampu jalan pertama di luar gerbang, sebuah bayangan jangkung melompat keluar dari balik tembok.
"Dor!"
Ren terlonjak kaget, hampir menjatuhkan tasnya.
Di depannya, Takae Yumi berdiri sambil menyeringai lebar. Dia sudah ganti baju, tidak lagi pakai jersey basket, tapi memakai jaket hoodie oversized dan celana training. Rambut pendeknya masih sedikit basah, mungkin habis mandi di ruang ganti.
"Kaget ya?" ledek Takae.
"Jantungku hampir copot, Takae," keluh Ren. "Ngapain kamu di sini? Gelap-gelap pula."
"Nungguin kamu lah," jawab Takae santai. Dia berjalan di samping Ren, menyamakan langkahnya. "Anak-anak tim udah balik duluan. Aku... aku penasaran aja, kamu masih idup apa enggak setelah disiksa di ruang OSIS tadi."
Ren tertawa kecil. "Masih hidup kok. Cuma lecet dikit mentalnya."
Takae ikut tertawa. Suara tawanya renyah, memecah kesunyian jalan malam.
"Eh, Ren," kata Takae tiba-tiba, merogoh saku jaketnya. Dia mengeluarkan ponselnya. "Minta ID LINE kamu dong."
Ren berhenti berjalan. "Buat apa?"
"Ya buat... koordinasi," kata Takae, matanya melirik ke arah lain. "Kan kamu... eh... 'konsultan' tidak resmi tim basket sekarang. Kalau lutut aku sakit lagi, aku harus lapor ke siapa kalau bukan ke kamu?"
Ren menimbang-nimbang. Di satu sisi, Marika pasti akan mengamuk kalau tahu. Di sisi lain, Marika dewasa menyuruhnya memantau kondisi Takae untuk mencegah cedera fatal minggu depan. Punya kontak Takae adalah langkah strategis yang penting.
"Oke," kata Ren. Dia mengeluarkan ponselnya. "Tapi jangan spam stiker aneh-aneh ya."
"Nggak janji," Takae menyeringai, memindai QR code Ren.
Ting.
[Takae Yumi] menambahkan Anda sebagai teman.
"Sip! Dapet!" seru Takae senang. Dia memasukkan ponselnya kembali. "Yaudah, aku balik duluan ya. Rumah aku ke arah sana. Bye, Ren! Hati-hati di jalan!"
Takae melambaikan tangan dan berlari kecil menyeberang jalan, meninggalkan Ren yang menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk.
"Sato Renjiro," gumamnya pada diri sendiri. "Kamu bener-bener cari mati."
Malamnya, di kamar Ren.
Ren baru saja selesai mandi saat ponselnya bergetar di atas meja belajar.
[Takae Yumi]: Ren! Udah sampe rumah? [Takae Yumi]: [Stiker Kucing Main Basket] [Takae Yumi]: Btw\, makasih ya tadi siang. Lutut aku udah dikompres es. Lumayan enakan.
Ren menghela napas. Dia mengetik balasan singkat.
[Ren]: Bagus. Jangan lupa istirahat. Jangan begadang main game.
[Takae Yumi]: Siap Pak Manajer! Kamu juga tidur gih. Besok sekolah lagi.
Ren meletakkan ponselnya. Dia merasa bersalah. Bukan karena dia selingkuh—dia tidak punya hubungan apa-apa dengan siapapun—tapi rasanya seperti dia sedang membohongi Marika.
Dia mengambil MP3 player-nya. Dia butuh saran.
"Marika-san?" bisik Ren setelah memasang earphone.
Hening sebentar, lalu suara Marika dewasa muncul.
"Wah, wah. Aset OSIS kita laku keras ya," goda suara itu. "Baru saja tukeran kontak sama 'Matahari Lapangan Basket'?"
Ren tersedak ludahnya sendiri. "Kamu tau dari mana?!"
"Insting istri," jawab Marika dewasa santai. "Dan... yah, aku ingat di timeline lama, Takae memang agresif. Tapi dulu kamu terlalu takut buat ngasih kontak. Sekarang kamu lebih berani. Bagus. Itu artinya kamu bisa mantau cederanya lebih dekat."
"Tapi Marika yang sekarang..." Ren mengusap wajahnya frustrasi. "Dia marah banget tadi sore. Dia ngasih aku kerjaan numpuk, matanya kayak mau nembak laser, terus nyindir-nyindir soal 'dirangkul kapten basket'. Besok aku harus gimana?"
Marika dewasa tertawa kecil. Tawa yang penuh nostalgia.
"Dia itu bukan marah, Ren. Dia itu... insidenur. Dia takut."
"Takut apa?"
"Takut kalau ternyata dunia di luar ruang OSIS itu lebih menarik buat kamu. Takut kalau kamu sadar bahwa main basket sama Takae lebih seru daripada nyusun kuitansi sama dia."
Ren terdiam.
"Besok," lanjut Marika dewasa, suaranya melembut. "Jangan minta maaf soal pekerjaan. Jangan minta maaf karena main ke GOR. Itu hak kamu. Tapi... tunjukin ke dia, kalau prioritas kamu tetap di ruang OSIS. Tunjukin kalau kamu 'pulang' ke dia."
"Caranya?"
"Tunggu aja jam makan siang," kata Marika misterius. "Dia pasti udah nyiapin 'serangan balasan'. Kamu tinggal terima aja dengan baik. Jangan nolak, walaupun rasanya aneh. Oke?"
"Oke...?" Ren bingung. "Serangan balasan apa?"
"Rahasia. Selamat tidur, Ren-kun. Mimpi indah."
KLIK.
Keesokan harinya, suasana di sekolah terasa membeku, khusus untuk Renjiro Sato.
Marika melancarkan aksi "Perang Dingin".
Di kelas, dia tidak menoleh sedikitpun ke arah Ren. Saat Ren mencoba menyapanya ("Pagi, Ketua"), Marika hanya mengangguk super singkat—mungkin cuma 2 milimeter—lalu kembali membaca bukunya.
Tidak ada kotak susu stroberi di meja Ren hari ini.
Ren merasa hampa. Ternyata dia sudah terbiasa dengan "suap" kecil itu.
Saat jam pelajaran berlangsung, Ren bisa merasakan aura dingin memancar dari bangku depan. Marika duduk tegak, mencatat dengan agresif, seolah setiap goresan pulpennya adalah luapan kekesalannya pada Takae.
Jam istirahat makan siang akhirnya tiba.
Biasanya, Takae akan muncul di pintu kelas untuk mengajak Ren (atau setidaknya menyapanya). Ren was-was. Kalau Takae muncul sekarang, Perang Dingin ini bisa berubah jadi Perang Dunia III.
Tapi sebelum itu terjadi, Marika tiba-tiba berdiri. Dia berjalan lurus ke meja Ren, membawa tas bekalnya. Seluruh kelas hening, merasakan ketegangan.
"Sekretaris Sato," kata Marika, suaranya datar tapi volumenya cukup keras untuk didengar satu kelas.
Ren mendongak. "Y-Ya, Ketua?"
"Rapat evaluasi anggaran. Sekarang. Di ruang OSIS. Bawa makan siangmu. Kita makan sambil kerja agar efisien."
Ren melirik ke pintu. Belum ada tanda-tanda Takae. Ini kesempatan untuk kabur ke zona aman.
"Siap, Ketua," kata Ren, langsung berdiri menyambar tasnya.
Mereka berjalan ke ruang OSIS. Marika berjalan cepat di depan, Ren mengekor di belakang. Masih ada jarak dingin di antara mereka.
Sesampainya di ruang OSIS, Marika menutup pintu dan—klik—menguncinya.
Ren menelan ludah. "Dikunci?"
"Agar tidak ada gangguan eksternal yang tidak berkepentingan," jawab Marika tanpa menoleh. (Ren tahu maksudnya adalah "agar Takae tidak bisa masuk").
Marika duduk di mejanya. Dia mengeluarkan kotak bekalnya sendiri. Lalu, dengan gerakan kaku, dia mengeluarkan satu kotak bekal lagi dari tasnya. Kotak yang dibungkus kain bermotif kucing lucu—sangat tidak Marika.
Dia meletakkan kotak kedua itu di depan Ren.
"Ini," katanya singkat.
Ren menatap kotak itu. "Ini...?"
"Ibuku," kata Marika cepat, tidak menatap mata Ren. "Dia... dia melakukan kesalahan kalkulasi lagi saat memasak pagi ini. Terlalu banyak nasi. Terlalu banyak lauk. Sangat tidak efisien kalau dibuang atau disimpan sampai malam. Jadi... sebagai solusi logistik pembuangan limbah makanan..."
Dia mendorong kotak itu lebih dekat ke Ren.
"Makanlah."
Ren menahan senyumnya mati-matian. Solusi logistik pembuangan limbah? Alasan macam apa itu?
Ren membuka kain pembungkusnya. Di dalamnya ada bento yang... menarik.
Nasinya dibentuk bulat-bulat (mungkin maksudnya onigiri, tapi agak benyek). Ada sosis yang dipotong menyerupai gurita (tapi kakinya kepanjangan jadi seram). Ada tamagoyaki (telur dadar gulung) yang warnanya agak kecoklatan (hangus dikit). Dan ada beberapa potong brokoli rebus yang terlihat sangat... hijau.
Ini jelas bukan buatan ibunya. Ini buatan Marika yang bangun kepagian dan berjuang di dapur demi "mengalahkan" Takae.
Ren mengambil sumpit.
"Terima kasih, Marika," kata Ren lembut.
Bahu Marika menegang mendengar namanya dipanggil. "Cepat makan. Waktu istirahat terbatas."
Ren memakan sosis gurita itu. Rasanya... asin. Agak terlalu asin.
Dia mencoba tamagoyaki-nya. Manis. Sangat manis. Mungkin gula dan garamnya tertukar sedikit?
Tapi Ren terus makan. Dia memakan semuanya dengan lahap.
Marika memperhatikannya dari balik kotak bekalnya sendiri. Matanya yang tajam meneliti setiap ekspresi Ren.
"Bagaimana... evaluasi rasanya?" tanya Marika pelan, berusaha terdengar tidak peduli.
Ren menelan nasinya. Dia menatap Marika lurus.
"Enak," kata Ren jujur. "Rasanya... kayak rasa kemenangan."
"Hah? Maksudnya?"
"Maksudku," Ren meletakkan sumpitnya. "Aku nggak akan ke GOR hari ini. Atau besok siang. Atau lusa."
Marika terdiam. Dia menurunkan sumpitnya.
"Kenapa?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. "Bukannya di sana lebih seru? Lebih bebas? Tidak ada aturan?"
"Mungkin," jawab Ren. "Tapi di sana nggak ada yang buatin aku bekal sosis gurita aneh kayak gini."
Wajah Marika memerah padam. "I-Itu sosis normal! Bentuknya standar!"
"Dan..." Ren melanjutkan, mengabaikan protes Marika. "Aku lebih suka di sini. Tenang. Dingin. Dan ada kamu."
Ren menatap mata Marika dalam-dalam.
"Aku 'aset' OSIS, kan? Tempat aset itu di gudang penyimpanan. Bukan dipinjam klub lain."
Marika menatap Ren dengan mulut sedikit terbuka. Rona merah di wajahnya semakin gelap. Dia buru-buru menunduk, menyendok nasinya dengan agresif untuk menyembunyikan senyum yang tak bisa dia tahan.
"Hmph," gumamnya dengan mulut penuh. "Argumen yang... logis. Diterima."
Suasana dingin di ruangan itu mencair seketika. Ren kembali makan dengan perasaan ringan.
Di saku celananya, ponselnya bergetar. Pesan dari Takae: Ren! Ke GOR gak?
Ren mengabaikannya.
Untuk saat ini, dia sedang menikmati "serangan balasan" Marika yang asin dan manis ini. Dan dia tahu, selama dia menghabiskan bekal ini, dia aman dari amukan sang Ketua.
Setidaknya sampai jam pulang sekolah nanti.