Di Shannonbridge, satu-satunya hal yang tidak bisa direncanakan adalah jatuh cinta.
Elara O'Connell membangun hidupnya dengan ketelitian seorang perencana kota. Baginya, perasaan hanyalah sebuah variabel yang harus selalu berada di bawah kendali. Namun, Shannonbridge bukan sekadar desa yang indah; desa ini adalah ujian bagi tembok pertahanan yang ia bangun.
Di balik uap kopi dan aroma kayu bakar, ada Fionn Gallagher. Pria itu adalah lawan dari semua logika Elara. Fionn menawarkan kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan kesuksesan di London. Kini, di tengah putihnya salju Irlandia, Elara terperangkap di antara dua pilihan.
Apakah ia akan mengejar masa depan gemilang yang sudah direncanakan, atau berani berhenti berlari demi pria yang mengajarkannya bahwa kekacauan terkadang adalah tempat ia menemukan rumah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chrisytells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 : Kedatangan Cemohan Natal
Elara O’Connell melirik arloji mahal di pergelangan tangannya—sebuah karya seni minimalis Jerman yang harganya bisa membeli tiga domba Irlandia. Pukul 14.00. Ia seharusnya sudah check-in, membongkar pakaian, dan sedang mengaktifkan booster Wi-Fi portabelnya. Namun, ia justru terombang-ambing di kursi belakang sebuah taksi yang bergetar seolah sedang bernegosiasi dengan setiap kerikil di jalanan sempit County Offaly.
“Apa Anda yakin kita tidak mengambil jalan yang salah, Pak?” tanya Elara, suaranya sedikit tegang. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap udara segar yang disuntikkan secara paksa oleh bosnya ini bisa menenangkan sarafnya.
Sopir taksi, seorang pria tua bertopi wol yang tampak lebih menyatu dengan kursi kulit taksinya daripada Elara dengan lingkungan ini, hanya bergumam. “Jalan salah? Hanya ada satu jalan ke Shannonbridge, Nona. Ini bukan Dublin, di sini kita tidak punya ‘opsi jalan memutar’ atau ‘jalur bebas hambatan’.”
“Saya hanya bertanya,” ujar Elara, memperbaiki posisi syal sutranya. “Di peta satelit saya, seharusnya sudah ada klaster bangunan sekitar lima menit yang lalu.”
“Peta satelitmu tidak tahu tentang kebiasaan domba-domba di sini, Nona,” balas si sopir, akhirnya menyempatkan diri untuk berbicara. “Mereka suka berjemur di jalan. Itu memperlambat jadwal semua orang. Kau harus belajar menyesuaikan diri.”
Elara merasakan senyum tipisnya mengeras. Menyesuaikan diri? Tiga belas tahun hidupnya didedikasikan untuk memastikan semua orang di Dublin tidak perlu menyesuaikan diri dengan kemacetan atau penundaan konstruksi.
Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan sekelompok pondok batu kuno. Pondok-pondok itu tampak manis dalam cahaya sore yang dingin, dihiasi lampu-lampu Natal sederhana, tetapi semuanya terasa terlalu tidak teratur bagi mata Elara. Ada ember cat tua di sudut, tumpukan kayu bakar yang tidak rata, dan aroma campuran antara lumut basah, pinus, dan... ya, domba.
“O’Malley’s Cottages. Sesuai jadwal,” kata sopir taksi itu. “Itu pondokmu, yang paling ujung. Ada baiknya kau membongkar barangmu dengan cepat. Salju pertama diramalkan turun sebentar lagi.”
Elara membayar dengan kartu platinumnya dan, setelah berterima kasih yang terasa seperti tugas berat, ia mengeluarkan koper designer dari bagasi. Ia menjejalkan kunci taksi kembali ke tangan si sopir.
“Semoga Natal Anda menyenangkan, Nona Perencana Kota. Kau akan butuh keajaiban di desa ini,” kata sopir itu sebelum taksinya menderu pergi, meninggalkan Elara sendirian di tengah dinginnya udara Offaly.
Ia menarik napas. 14.30: Mulai Unpack, ia membatin, menatap jadwal di tablet-nya.
Namun, saat ia mengambil langkah pertama, sebuah suara nyaring yang diikuti oleh hembusan napas hangat di betisnya menghentikan langkahnya.
Woof! Woof!
Dari balik semak gorse yang rimbun, melesatlah seekor anjing kecil berbulu halus. Anjing itu tampak seperti campuran anjing Terrier yang terlalu bahagia, dengan bulu krem dan cokelat yang kelihatannya tidak pernah melihat sisir. Anjing itu melompat dengan semangat, kakinya yang kotor mencakar mantel cashmere Elara, dan moncongnya mulai menjilati ujung sepatu stiletto kulitnya.
“Tidak! Hentikan! Kau membuat sepatuku kotor!” pekik Elara, mengangkat kakinya seolah-olah sepatu itu baru saja disentuh lava cair.
Anjing itu, yang sama sekali tidak peduli, justru menyalak gembira dan mulai menggigit tali pegangan koper Elara, mencoba mengajaknya bermain tarik-menarik.
“Itu koper seharga tiga kali lipat anjingmu, menjauh!”
***
“Biscotti! Hentikan itu! Itu bukan mainan! Itu adalah koper yang mungkin berisi seratus kali lipat dari harga seluruh stok kedai kopiku!”
Suara itu datang dari pondok utama. Dalam sekejap, suara itu diikuti oleh kehadiran pemilik suara—seorang pria tinggi.
Pria itu mengenakan kaus flanel merah, celana jeans yang robek di lutut, dan, yang paling mencolok—sweter rajutan Natal yang sangat tebal, berlumuran warna merah dan putih dengan motif rusa kutub berlampu LED kecil yang berkedip-kedip tidak sinkron.
Oh, astaga. Dia benar-benar ada, pikir Elara. Seorang leprechaun Natal yang ceroboh.
Pria itu berlari cepat. Ia dengan mudah meraih Biscotti di udara, mendekapnya ke dada.
“Maafkan dia, Nona. Dia punya masalah obsesi dengan hal-hal yang mahal dan rapi. Dia melihat kerapianmu dan menganggapmu sebagai tantangan,” katanya, suaranya dipenuhi humor dan aksen Irlandia yang kuat.
Pria itu meletakkan Biscotti di tanah, tetapi tetap menahannya dengan kakinya. Kemudian, ia berbalik menghadap Elara dan tersenyum. Senyumnya lebar, tulus, dan membuat mata birunya bersinar seperti es yang baru terbentuk. Seketika, Elara melupakan kekesalannya selama tiga detik penuh.
“Selamat datang. Namaku Fionn Gallagher. Aku, eh, mengurus check-in hari ini. Bibi O'Malley sedang sibuk mengalahkan rekor dunia dalam membuat kue kering Natal. Dan percayalah, lebih baik kau menghadapi domba yang kabur daripada mengganggu Bibi O’Malley saat ia sedang baking.”
Elara menegakkan bahunya, berusaha mengumpulkan kembali martabatnya yang tercerai-berai. “Saya Elara O'Connell. Dan saya tidak peduli dengan rekor dunia baking. Saya di sini untuk penginapan yang saya pesan. Dan, ya, saya tidak memesan paket ‘Salam dari Kotoran Anjing dan Sweter Berlampu’.”
Fionn tertawa terbahak-bahak. Itu adalah tawa yang penuh dan menular. “Nona O’Connell. Dari Dublin, kurasa? Kami tidak sering melihat sepatu stiletto di sini,” katanya, melirik sepatu Elara. “Sweter ini adalah pertahanan terbaik melawan udara dingin, Nona. Kau akan terbiasa. Jadi, kau yang memesan Pondok ‘The Shamrock’, yang paling ujung sana?”
“Ya. Saya. Saya asumsikan itu adalah pondok terbaik, seperti yang tertera di situs,” jawab Elara, berusaha membersihkan bulu anjing dari mantelnya.
Fionn mengambil koper Elara dengan mudah—seolah koper berat itu hanyalah mainan. “Pondok terbaik kami hanyalah pondok yang sama dengan pondok lainnya, Nona. Semuanya punya pemandangan ke ladang domba yang sama. Kehangatan yang sama. Trouble yang sama.”
“Trouble?”
“Ya, trouble. Seperti masalah dengan air panas. Masalah sinyal ponsel. Juga masalah domba yang mungkin mengintip ke jendela dapurmu saat sarapan,” jelas Fionn, sambil mulai berjalan.
Elara merasa ngeri. “Tunggu. Saya sudah siapkan hotspot portabel yang kuat dan booster sinyal. Saya harus mengirimkan laporan harian ke kantor. Apakah Wi-Fi di sini benar-benar buruk?”
Fionn berhenti di tengah jalan, menoleh ke arah Elara. Tatapan matanya yang biru terasa intens.
“Buruk, Nona. Buruk sekali. Di sini kami percaya pada ‘detoks digital’ yang sesungguhnya. Kalau mau Wi-Fi yang kencang, kau harus naik ke atas bukit di sebelah barat. Tapi itu harus dilakukan dengan berjalan kaki, dan kau harus bertarung dengan embun beku. Bisakah sepatumu yang mengilap itu melakukan perjalanan ke sana?” tantangnya.
“Tentu saja bisa. Sepatu ini dirancang di Milan, bukan dibuat dari jerami,” balas Elara cepat. “Dan saya datang ke sini karena terpaksa. Saya adalah wanita yang bekerja, Tuan Gallagher. Saya tidak bisa liburan tanpa akses internet.”
“Seorang wanita yang bekerja? Di mana pun di Irlandia, Nona, kita semua bekerja. Apakah pekerjaanmu lebih penting daripada menikmati udara segar dan api unggun?” Fionn balik bertanya, nada suaranya menunjukkan ketidakpercayaan yang tulus.
“Jauh lebih penting daripada memelihara anjing dan menyalakan perapian, Tuan Gallagher. Pekerjaan saya membayar tagihan, bukan domba atau langit.”
“Ah, benar. Tagihan. Musuh bebuyutan dari kedamaian perdesaan,” Fionn menghela napas, tersenyum sinis. “Baiklah, Nona O’Connell, mari kita lihat apakah Pondok Shamrock bisa sedikit ‘merencanakan’ hidupmu kembali.”
***
Mereka tiba di Pondok Shamrock. Fionn meletakkan koper Elara di sudut. Pondok itu terasa hangat, dengan interior yang dipenuhi kayu gelap, bantal-bantal wol tebal, dan sebuah perapian batu besar di dinding.
“Perapian berfungsi penuh. Kayunya ada di teras. Jangan ragu untuk menggunakannya,” kata Fionn.
Elara melangkah masuk, langsung menuju kamar mandi. Ia kembali dengan wajah semakin tidak senang. “Apakah ini yang kau sebut kamar mandi? Tidak ada rain shower? Bak mandinya tampak terbuat dari porselen tua yang akan memakan waktu tiga jam untuk diisi.”
“Ya, itulah pesonanya. Dan itu bak mandi yang sangat bagus jika kau mau menghabiskan sepuluh menit untuk menunggu air panas terisi,” kata Fionn, menyeringai.
Elara memutar matanya. “Sesuai jadwal saya, saya seharusnya mandi tepat pukul 19.00. Saya tidak punya sepuluh menit untuk menunggu air panas. Dan saya tidak tahu cara menyalakan perapian. Itu bukan keahlian saya.”
“Ah, Elara O’Connell yang tidak tahu cara menyalakan api. Kau tahu, ada saat-saat di mana pengetahuan tentang api lebih penting daripada pengetahuan tentang spreadsheet,” Fionn menggoda, menyandarkan bahunya di kusen pintu.
“Saya punya korek api, Tuan Gallagher. Tapi saya tidak punya sepuluh menit dalam jadwal saya untuk membaca buku panduan cara menumpuk kayu,” jawab Elara, melipat tangannya di dada.
Fionn hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan geli. “Kau tidak perlu sepuluh menit, Nona. Kau hanya perlu satu menit yang terbuang.”
Dengan gerakan yang cepat, Fionn berjalan keluar, mengambil beberapa potong kayu bakar, dan kembali. Dia berlutut dengan santai di depan perapian.
“Tonton ini, Nona,” bisiknya, sambil mulai mengatur kayu dalam formasi teepee yang sempurna, menambahkan beberapa ranting kecil, dan menyulutnya dengan satu korek api. Api segera berkobar, cahayanya memenuhi ruangan.
Elara terdiam. Kehangatan api itu tiba-tiba terasa jauh lebih nyata daripada pemanas sentral yang biasa ia gunakan di apartemennya.
Fionn berdiri, membersihkan debu dari jeans-nya. “Lihat? Itu adalah efisiensi perdesaan. Nol waktu membaca manual, 100% kehangatan.”
Dia menatap mata Elara, senyumnya melunak. “Kau terlihat sangat tegang, Nona O’Connell. Kau datang ke sini untuk liburan. Biarkan dirimu bernapas.”
“Saya bernapas. Saya hanya tidak suka penundaan. Saya harus unpack dan menyiapkan hotspot sebelum salju yang kau sebutkan benar-benar turun.”
“Lupakan hotspot,” kata Fionn, menyandarkan dirinya di dinding, “dan unpack-lah besok. Sekarang, aku punya tawaran yang lebih baik: scone buatan Ibuku dan kopi di kedai. ‘The Crooked Spoon’ hanya lima menit berjalan kaki. Aku bisa menjamin kopi kami lebih baik daripada semua rantai kopi di Dublin.”
Elara menatap api, lalu ke Fionn. Jelas sekali pria ini mencoba mengganggu jadwalnya. Jelas sekali ia harus menolak. Tapi api itu terasa nyaman, dan dia belum makan sejak sarapan.
“Scone buatan rumah?” tanyanya, sedikit melunak.
“Yang terbaik di County Offaly. Aku berani bertaruh. Itu akan menjadi item pertama di daftar ‘Hal-hal yang Bermanfaat di Shannonbridge’ yang akan kau buat.”
“Saya tidak membuat daftar seperti itu. Tapi… scone buatan rumah mungkin bisa diterima. Tapi bukan cokelat panas” Elara menambahkan dengan cepat. “Saya akan minum espresso double-shot yang kuat. Saya perlu energi untuk mengejar ketinggalan dengan jadwal yang sudah kau rusak.”
Fionn tertawa lagi. “Espresso double-shot. Kau wanita dengan selera yang tinggi. Aku menyukainya. Deal.” Fionn mengulurkan tangannya sekali lagi, kali ini untuk menawarkan bantuan, bukan godaan.
Elara ragu-ragu selama sepersekian detik sebelum meletakkan tangannya yang lembut di telapak tangan Fionn yang kasar dan hangat.
“Satu hal lagi, Tuan Gallagher,” kata Elara saat mereka berjalan ke pintu.
“Panggil saja Fionn. Kita harus mulai bersikap akrab karena kau akan bergantung padaku untuk scone dan kayu bakar,” balasnya.
“Baik, Fionn. Sweter Natalmu. Walaupun itu adalah mode di sini, saya berjanji, saya tidak akan pernah memakainya. Saya akan tetap memakai cashmere saya, selama anjing Anda tidak melompat lagi.”
Fionn mengangkat bahu. “Cashmere memang indah. Tapi sweter rajutan yang jelek itu punya karakter. Sama seperti desa ini. Dan sama seperti aku.”
“Saya lebih suka hal-hal yang tidak berkarakter berlebihan,” jawab Elara, melangkah keluar.
“Kita lihat saja,” balas Fionn, matanya berkilat menantang, sebelum mengikatkan tali Biscotti. “Ayo, Nona O’Connell. Waktunya melihat bagaimana orang-orang yang tidak teratur minum kopi.”
Elara menarik napas lagi, membiarkan udara dingin yang bersih menyentuh paru-parunya. Ia mengambil langkah pertama ke jalan setapak yang tertutup salju tipis, menuju The Crooked Spoon, ke dunia Fionn yang kacau dan hangat. Dalam hati, ia diam-diam berharap espresso double-shot itu benar-benar enak, karena ia curiga, ia akan membutuhkan setiap tetes kafein untuk bertahan hidup dari pria bersweter rusa kutub berlampu ini.