NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebungkus Mie Instan

Kadang hidup itu memang seperti roda—kadang di atas, kadang di bawah.

Tapi rasanya hidupku ini rodanya bocor, soalnya dari kemarin-kemarin posisinya di bawah terus, nggak pernah naik ke atas.

Empat tahun menikah, punya anak satu, tapi seolah kebahagiaan itu cuma mampir di awal saja. Awalnya, rumah tangga kami baik-baik saja. Ibarat kata, kalau saling mencintai, semua terasa indah. Tapi benar kata ibuku dulu, cinta itu tidak menjamin kebahagiaan.

“Bang, ada uang buat beli beras?” tanyaku pelan sambil menggoyang bahu Bang Rendra yang tertidur di depan televisi, masih dengan kaos lusuh dan sarung yang melorot setengah paha.

“Minta aja dulu sama bapak di sebelah. Bapak kan baru panen kemarin,” ujarnya santai tanpa membuka mata. Setelah itu, dia menarik selimut menutupi tubuhnya.

Aku menghela napas panjang. Begitulah suamiku. Tiap kali aku minta uang buat beli beras, sabun, atau kebutuhan anak, jawabannya selalu sama: minta sama bapak.

Padahal aku ini istrinya, tanggung jawabnya. Tapi seolah dia lupa akan itu.

Dengan wajah kesal, aku berjalan ke rumah sebelah—rumah bapaknya.

“Pak, ada beras? Aini belum masak dari pagi, Pak. Keenan minta makan,” ucapku, sengaja menyebut nama anakku agar tak terdengar seperti keluhan.

Bapak menatapku sebentar, lalu berdiri dan mengambilkan beras dari karung di dapur. “Si Rendra nggak mau cari kerja lagi?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaannya membuat tenggorokanku tercekat.

“Enggak tahu, Pak,” jawabku lirih, menunduk dalam.

Rasanya bukan cuma bapak yang terus menanyakan hal itu. Tetangga-tetangga juga sering. Dua tahun sudah Bang Rendra tidak bekerja. Awalnya memang karena sakit, tapi sekarang? Badannya malah makin bugar, malah makin kuat buat rebahan.

Semenjak dia berhenti kerja, kami pindah ke rumah bapaknya—alasannya biar nggak bayar kontrakan. Waktu itu aku setuju, karena kupikir kondisinya memang belum pulih. Tapi lama-lama, kebiasaan itu jadi alasan untuk malas. Uang simpananku pun habis dikuras buat beli rokok dan entah apa lagi.

Setelah aku masak nasi, kubuka kulkas. Hanya ada satu bungkus mie instan di dalamnya. Aku terdiam. Mau nangis rasanya. Tapi Keenan sudah merengek minta makan.

Dengan berat hati, aku masak mie itu, lalu kucampur sedikit dengan nasi yang baru matang.

“Makan yang ini dulu ya, Nak,” ucapku sambil mengelus rambut anak laki-laki berusia tiga tahun itu.

Keenan mengangguk, matanya polos. Aku nyaris tak sanggup menatap wajahnya terlalu lama—takut air mataku tumpah.

Beberapa menit kemudian, Bang Rendra keluar dari kamar, mencuci muka sebentar, lalu langsung ke dapur. Tanpa berkata apa-apa, dia mengambil separuh mie yang kumasak tadi, dan memakannya.

Bahkan tak sempat bertanya apakah aku sudah makan atau belum.

“Bang, sampai kapan kita begini? Sampai kapan Abang nggak cari kerja?” suaraku bergetar. “Aku capek, Bang. Capek harus terus minta ke bapak. Kadang wajah bapak aja udah kelihatan masam kalau aku datang.”

“Ya mau gimana lagi, nggak ada kerjaan yang cocok,” jawabnya santai, seolah semua baik-baik saja.

Aku menatapnya tajam. “Kalau nunggu yang cocok, nggak bakal ada, Bang! Bilang aja kalau Abang memang nggak mau kerja, nggak mau nafkahi aku sama Keenan!”

“Bisa nggak ngomongnya lembut dikit? Jangan mancing-mancing emosi Abang, Aini!” bentaknya.

Aku menggigit bibir, tapi tak sanggup lagi menahan amarah. “Sudahlah, Bang. Capek aku ngomong sama Abang! Dari dulu juga gini aja, nggak ada perubahan!”

“Yang penting kan kamu masih bisa makan? Nggak pernah kan kamu kekurangan makan gara-gara aku?” jawabnya enteng sambil menyalakan rokok.

Aku tertegun. Lalu tawa getir keluar tanpa sadar. “Iya, aku nggak kurang makan karena bapakmu yang biayain semuanya! Kalau bapakmu sakit, kalau bapakmu nggak ada, kita makan apa? Pernah nggak Abang mikir, aku ini tanggung jawab Abang, bukan bapakmu!?”

Bang Rendra tiba-tiba berdiri, wajahnya merah padam. “Jangan ngatur-ngatur aku!” bentaknya sambil membanting mangkuk mie ke lantai hingga pecah berhamburan.

Aku terlonjak kaget, lalu diam. Tak ada gunanya melawan.

Dengan tangan gemetar, aku berjongkok, mengumpulkan serpihan kaca itu satu per satu. Air mata akhirnya jatuh juga.

“Kuat-kuat, Aini… kuat,” bisikku dalam hati, menahan isak.

 

Keesokan paginya, aku hendak membongkar celenganku—barangkali masih ada uang untuk beli lauk agar Keenan nggak terus makan mie instan. Tapi saat kubuka, isinya hanya lima ribu rupiah.

Dadaku sesak. Aku tahu pasti siapa yang congkel celengan itu.

“Mama… mau makan,” Keenan memelukku dari belakang.

“Iya, Nak.” Aku tersenyum paksa, menggendongnya keluar.

Kami berjalan ke warung dekat rumah. “Buk, beli mie instan satu,” ucapku.

Bu Warung menatapku, suaranya lembut tapi menyentuh hati. “Aini, kamu kok sering beli mie instan? Kasihan anaknya kalau terus dikasih itu.”

Aku hanya tersenyum. Siapa juga yang mau ngasih anaknya makan mie terus? Tapi mau bagaimana, aku nggak punya pilihan lain.

Keenan tiba-tiba menunjuk ke arah rak. “Mama, mau itu!” katanya sambil menunjuk ciki warna-warni. Harganya tiga ribu rupiah. Sedangkan aku hanya punya sisa seribu.

“Kita beli yang ini aja ya, Nak,” aku menunjuk makanan ringan seribu rupiah.

Keenan menggeleng, matanya mulai berkaca. “Nggak mau!” rengeknya keras. Aku kalang kabut. Mau ngutang, malu. Mau nolak, kasihan anakku.

Tiba-tiba, seorang pria yang berdiri di belakang kami melangkah maju. Ia mengambil ciki yang ditunjuk Keenan, lalu menaruhnya di meja kasir.

“Air mineral satu, sama ciki tadi ya, Buk. Berapa semua?” tanyanya sopan.

“Sepuluh ribu, Nak,” jawab Bu Warung.

Aku menatap pria itu heran. Wajahnya asing. Tubuhnya rapi, beraroma wangi, mobil mewah terparkir di depan warung.

“Terima kasih, Om!” seru Keenan senang sambil memeluk ciki itu.

“Sama-sama,” jawab pria itu tersenyum ramah sebelum melangkah pergi.

Aku hanya diam, menunduk malu. Ada rasa terima kasih yang tertahan, tapi juga gengsi yang menahan lidahku.

“Siapa itu, Buk?” tanyaku pelan setelah pria itu masuk mobil dan pergi.

“Kurasa orang kota, mungkin yang punya pabrik air mineral di ujung sana,” jawab Bu Warung.

Aku mengangguk kecil. “Owh…”

Kemudian menggandeng Keenan pulang, masih dengan perasaan campur aduk—antara malu, haru, dan sedikit bingung.

Saat melewati halaman rumah, aku sempat melirik mobil mewah yang berbelok di ujung jalan, meninggalkan jejak debu. Entah kenapa, bayangan pria tadi masih terlintas di pikiranku.

Mungkin hanya kebetulan… atau mungkin, Tuhan sedang mulai membuka jalan lain untukku.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!