Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Grand Amartha menjulang tinggi, seakan menantang siapa pun yang mencoba memasukinya. Lampu eksterior berkilau dingin di malam Semarang, memberi kesan angkuh dan eksklusif.
Tak semua orang bisa melangkah masuk namun bagi mereka yang berada di lingkaran atas, lounge di puncak gedung itu adalah tempat untuk melepas penat, tertawa lepas, dan menyingkir sejenak dari wajah-wajah dunia nyata.
Alma berjakan anggun langkahnya teratur, gaun hitam melekat membungkus tubuhnya yamg ramping,cukup menonjol tapi masih dalam batas sopan menutup ruang imaginasi liar.
Lampu temaram menyoroti permukaan marmer yang halus, kursi beludru merah berjajar rapi, dan bar panjang berkilau dengan deretan botol champagne dan cognac. Aroma cognac bercampur parfum mewah menyelimuti ruangan, menambahkan kesan glamor yang kental namun sedikit dingin.
Tak ada tawa berlebihan atau sikap dipaksakan hanya kehadirannya yang mengisi ruang dengan ketenangan dan elegansi.
Di salah satu sudut lounge, seorang pria tinggi besar menarik perhatian mengenakan kemeja batik motif parang barong wajah tajam namun menenangkan, kemeja batik cerah dipadukan dengan jam tangan kulit yang klasik, menciptakan kesan elegan sekaligus eksklusif. Alma menyadari tatapan tamu lain yang sesekali melirik pria itu kehadirannya memang berbeda.
Ardan manager lounge menghampirinya setengah berbisik.
"Al, tamu Vvip di meja dua minta di temani kamu."
Tanpa banyak bertanya Alma segera mengayunkan langkah menuju meja yang di maksud.
Tanpa banyak bertanya Alma segera mengayunkan langkah menuju meja yang di maksud
Harsya Pranowo menatapnya sejenak senyum tipis, dari caranya menatap terlihat bahwa ia bukanlah Pria yang mencari kesenangan sesaat.
“Malam… Alma ya? silahkan duduk.”Sahut Harsya nada suaranya terlihat tenang, sopan.
Suasana lounge tetap tenang musik jazz lembut mengalir, gelas-gelas berkilau, dan percakapan rendah bergema halus.
Alma duduk, mulai menyesuaikan diri dengan ritme malam menjadi pengamat sekaligus teman duduk yang elegan, menyesuaikan diri dengan dunia yang jauh berbeda dari kehidupan sehari-hari orang biasa.
Di Grand Amartha, malam baru saja dimulai.Alma menyesuaikan posisi di kursi, menatap gelas kristal yang berkilau di hadapan Harsya. Aroma cognac yang lembut menguar dari permukaan minumannya, membaur dengan wangi parfum yang mengisi lounge.
“Bapak sering kesini?” Alma memulai percakapan sekedar basa basi.
Harsya menoleh, menyipitkan mata sejenak sebelum tersenyum tipis.
“Tudak sering, hanya di saa saya butuh ruang.” Ia menyesap cognac, membiarkan suara cairan yang halus bergemericik menjadi jeda percakapan.
Alma menahan diri untuk tidak mendominasi percakapan Ia tahu perannya bukan untuk menilai, tapi membuat tamu merasa nyaman. Tatapan Harsya tenang, namun penuh ketajaman yang sulit diabaikan.
“Dan kamu, Alma… sudah lama disini?.” tanya Harsya, nada suaranya santai tapi menyelidik.
Alma hanya menatapnya sebentar sebelum mengangguk pelan.
"Satu tahun,” jawabnya singkat, lalu memalingkan pandangan untuk menatap pemandangan lounge. Tidak perlu menjelaskan lebih jauh dunia malam ini memiliki aturan tersendiri, dan ia sudah paham peranannya di dalamnya.
Harsya tersenyum, seakan mengerti.
"Maaf kalau boleh tahu, Asli sini atau darimana asalnya?."
Alma mengamati gerakannya dengan seksama. Cara Harsya berbicara, menggerakkan gelas, bahkan cara ia menatap sekeliling lounge—semuanya menunjukkan kelas dan pengalaman. Namun ada sesuatu di matanya, kilau rasa ingin tahu yang membuat Alma sedikit waspada.
"Saya dari jogja tepatnya sleman."Timpal Alma Datar
Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman sesaat, hanya diiringi musik jazz lembut dan percakapan tamu lain. Di Grand Amartha, setiap detik malam terasa panjang, memuat misteri dan kemungkinan yang belum terungkap.
“Minuman ini cukup?” tanya Alma, menunjuk gelas cognac di hadapannya.
Harsya mengangkat gelasnya, menatap Alma sejenak, lalu tersenyum tipis.
"Cukup, saya takut lupa diri."Canda Harsya
Alma menatapnya, mencoba membaca ekspresi di balik nada suaranya yang tenang. Pria ini berbeda dari kebanyakan tamu—ada sesuatu di balik ketenangannya, sesuatu yang tidak mudah ditebak.
Keheningan melingkupi mereka beberapa saat, hanya diiringi suara denting gelas dan musik lembut. Dari arah bar, tawa samar terdengar, cepat menghilang ditelan harmoni malam.
Harsya meletakkan gelasnya perlahan.
“Kamu terlihat tenang sekali malam ini,” ujarnya, matanya menatap ke arah Alma tanpa tergesa.
,"Bukankah yang datang ketempat ini memang sedang mencari ketenangan?."
Ia menjawab sambil menunduk sedikit, menjaga sikap sopan yang sudah menjadi kebiasaan. Di tempat seperti Grand Amartha, sikap adalah bentuk pertahanan paling aman.
Harsya mengangguk pelan, matanya belum beralih.
“Kamu berbeda,” katanya kemudian, nada suaranya lebih rendah.
“Sebagian besar orang di tempat ini berusaha terlihat istimewa, tapi kamu… tidak mencoba apa-apa.”
Alma tertawa kecil, sekilas.
“Mungkin karena saya lelah memakai topeng.”
Jawaban itu membuat Harsya tersenyum. Bukan senyum lebar, tapi cukup untuk mengubah sedikit ekspresi tegas di wajahnya. Ada ketertarikan yang samar—bukan pada kata-kata, tapi pada ketenangan yang Alma hadirkan.
Musik berganti. Alunan saksofon mengisi ruangan, lembut, melingkar di udara bersama aroma cognac yang menguap pelan. Dari arah jendela besar, lampu-lampu kota Semarang berpendar seperti lautan kecil di kejauhan.
“Kalau bukan di sini,” kata Harsya tiba-tiba, “kamu paling suka berada di mana?”
Alma terdiam sejenak. Pertanyaan sederhana, tapi tidak mudah dijawab.
Saya belum tahu, Pak,” ujarnya akhirnya. “Mungkin belum sempat memikirkannya.”
Berarti kamu sibuk bertahan,” gumam Harsya
Alma hanya tersenyum, tidak menanggapi. Kadang, diam lebih aman daripada kejujuran.
Pelayan datang, menaruh segelas air mineral di meja. Harsya berterima kasih dengan anggukan, lalu menatap Alma lagi.
Alma hanya tersenyum, tidak menanggapi. Kadang, diam lebih aman daripada kejujuran.
“Kamu suka musik seperti ini?” tanyanya.
Mungkin bukan karena suka, tapi karena saya terbiasa mendengarnya.” Jawab Alma
Harsya menatapnya lebih lama, lalu berkata pelan,
"Diplomatis sekali " Alma mengerutkan kening mendengar jawaban Harsya
“Kadang kala kita harus bersikap diplomatis agar tidak ada konfrontasi.”
“Menarik..” jawab Harsya, suaranya nyaris seperti gumaman.
Alma menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan senyum samar yang muncul tanpa sengaja.
Malam terus berjalan, perlahan tapi pasti. Lounge mulai sepi, satu per satu tamu meninggalkan meja. Tapi di meja dua, percakapan itu tetap berputar ringan, lambat, dan entah kenapa, terasa seperti awal dari sesuatu yang belum punya nama.
Dari kejauhan, Alma menangkap gerakan tangan halus dari arah bar. Mas Ardan memberi isyarat singkat—kode yang sudah dipahami semua orang di tempat ini. Lounge akan segera tutup.
Lampu-lampu mulai diredupkan perlahan, musik jazz menurun volumenya. Para tamu satu per satu berdiri, beberapa masih menyesap sisa minuman di gelas mereka sebelum meninggalkan meja.
Alma kembali menatap ke arah Harsya. “Mohon maaf bapak sepertinya perjumpaan kita harus berakhir,” ujarnya pelan, menjaga nada suaranya tetap sopan tapi tidak kaku.
Harsya mengangguk, menatap jam di pergelangan tangannya.
“Tidak terasa, ngomong ngomong saya berharap lain kali, kamu masih mau menemani saya.”
“Saat di sini, waktu memang terasa lebih singkat,” jawab Alma, matanya beralih sejenak ke arah bar yang kini mulai dibereskan.
Lampu-lampu mulai diredupkan perlahan, musik jazz menurun volumenya. Para tamu satu per satu berdiri, beberapa masih menyesap sisa minuman di gelas mereka sebelum meninggalkan meja.
“Saat di sini, waktu memang terasa lebih singkat,” jawab Alma, matanya beralih sejenak ke arah bar yang kini mulai dibereskan.
Harsya tersenyum kemudian mengangguk.
"Setuju."