Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Anak yang tidak punya Ayah
Selama berhari-hari, Kim tidak juga mendekati Selina. Padahal, jauh di dalam hati, Kim sudah tidak sabar ingin berbicara dengan mantan kakak iparnya itu. Belum lagi, ia juga ditelepon orang tuanya yang menyuruhnya segera pulang karena sudah lebih dari seminggu ia berada di kota ini.
Sementara itu, Selina merasa sedikit lega. Meski Kim ada di sekitarnya, setidaknya gadis itu tidak berusaha mendekat. Walau begitu, Selina tetap tidak lepas dari mengenakan masker.
“Mel, udah jam sebelas. Aku mau jemput Ian dulu,” kata Selina sambil melepas maskernya.
“Boleh sekalian antar pesanan nggak?” sahut Emel.
“Hari ini orderan dessert banyak dari perusahaan Aetherworks. Dan kamu tau? Itu salah satu perusahaannya Pak Jayden,” ujar Emel lagi, dengan nada antusias.
Selina langsung terdiam. Nama itu membuatnya kaku sesaat.
“Kenapa? Kamu nggak mau ya?” Emel memandangnya penuh tanya.
Selina buru-buru menggeleng. “Mau kok.”
Beberapa menit kemudian, Selina sudah bersiap dengan sebuah plastik besar berisi dessert yang dipesan. Setelah Emel membantunya meletakkan plastik itu di bagian depan motornya, Selina langsung menyalakan mesin dan tancap gas menuju alamat perusahaan tersebut.
Tak lama, ia tiba di depan gedung megah Aetherworks. Selina berhenti sejenak, menatap takjub. Bangunan menjulang tinggi dengan desain modern, dinding kaca berkilau yang memantulkan sinar matahari, serta logo perusahaan besar yang terpampang gagah.
“Kaya banget dia ternyata,” gumamnya.
Selina melangkah masuk sambil menenteng plastik besar di tangan kanannya.
“Pe… permisi,” ucapnya sedikit terbata saat tiba di lobi.
Seorang wanita cantik berseragam biru-hitam, dengan rambut disanggul rapi, menoleh dari balik meja resepsionis. Tatapannya ramah.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya dari Lincoley Cafe. Saya mau mengantarkan pesanan dessert untuk perusahaan ini,” jawab Selina.
Wanita itu mengangguk. “Oh, pesanan untuk staf, ya? Boleh langsung diantar ke ruang kantin karyawan. Dari sini lurus, nanti belok kanan, ada papan bertuliskan Cafeteria. Di sana sudah ada karyawan yang berjaga, serahkan saja pada mereka.”
“Baik,” Selina kembali mengangguk.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menyusuri koridor luas itu sembari menatap kiri kanan dengan kagum.
Selina tiba di depan pintu cafeteria. Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Dengan sedikit gugup, ia melongokkan kepalanya ke dalam.
Terlihat di dalam sudah banyak staf perusahaan yang berkumpul, semuanya mengenakan seragam biru navy dengan logo Aetherworks di dada kiri.
“Permisi…” Selina mencoba mengeraskan suaranya, di tengah riuhnya suara.
Beberapa staf menoleh ke arahnya. Seorang pria muda dengan name tag Rio – Staff Logistik lekas bangkit dan menghampiri.
“Dari Cafe Lincoley?” tanyanya ramah.
“Iya, Pak. Saya disuruh mengantar pesanan ke sini,” jawab Selina sopan sambil menyerahkan plastik besar itu.
“Terima kasih ya, Mbak, sudah repot-repot.”
“Sama-sama, Pak.” Selina membalas dengan senyum tipis.
Setelah itu, ia segera berpamitan. Matanya melirik jam tangan—sudah lewat pukul sebelas. Ia harus cepat menjemput Ian.
“Ya, nanti kita akan keluarkan produk game Infinity Realms. Game ini akan jadi terobosan besar karena menggabungkan konsep VR dengan simulasi open world yang realistis,”
“Hm, bagus. Tapi aku tetap ingin bersaing sehat dengan perusahaan Horizon Tech. Ingat, kita bukan hanya soal untung, tapi juga soal reputasi.”
“Pastikan tim marketing siap dengan presentasi minggu___”
Brukh!
Prak!
Jayden yang hendak berbelok ke kanan tiba-tiba tubuhnya bertabrakan dengan seseorang yang tak lain adalah Selina karena wanita itu berjalan terburu-buru. Tubuh Selina terdorong mundur, sementara ponsel Jayden terlepas dari genggamannya, menghantam lantai keras.
Mata Jayden membola besar, begitu juga dengan Selina yang terkejut setengah mati.
Jayden buru-buru mengambil ponselnya. Retakan jelas terlihat di layar.
Tubuh Selina gemetar. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya.
Jayden menatap Selina dengan wajah yang memerah marah.
“Dasar pembawa sial!” bentak Jayden dengan suara menggelegar. “Setiap kali saya bertemu dengan kamu, selalu saja ada masalah! Pertama, kamu menabrak mobil saya. Kedua, kamu menumpahkan mocktail di kemeja saya. Dan sekarang? Ponsel saya retak gara-gara kamu!”
Ia menggeram, tangannya terkepal. “Saya selalu sial! Sial! Sial! Setiap kali berurusan denganmu!”
Beberapa staf yang mendengar teriakan bos mereka segera berhamburan keluar dari ruangan.
“Maaf… sa-saya nggak sengaja… tadi saya—” Selina mencoba menjelaskan dengan suara bergetar.
“Cukup! Berhenti bicara!” bentak Jayden lebih keras.
“Lihat! Ponsel saya jadi retak! Bagaimana kamu akan mengganti ponsel saya yang harganya puluhan juta ini!? Kamu pasti akan bilang tidak punya uang lagi!” bentak Jayden lagi.
“Maaf, Pak… saya tadi terburu-buru, dan sekarang saya harus menjemput putra saya,” ucap Selina memelas, kedua tangannya menangkup di depan dada.
“Kali ini saya tidak akan membebaskanmu!” Jayden mendesis marah, ia lalu meraih pergelangan tangan Selina dengan kasar.
“Pak, lepaskan tangan saya… saya harus menjemput anak saya… Pak Jayden boleh hukum saya, tapi setelah saya menjemput putra saya,” Selina memohon sambil terseok-seok mengikuti langkah lebar pria besar itu.
Beberapa karyawan yang melihat hanya saling menatap dan berbisik-bisik, tak satu pun berani ikut campur.
Jayden seolah menulikan telinganya. Ia menyeret Selina menuju toilet di lorong paling ujung, tempat sepi yang jauh dari keramaian.
“Mulai sekarang, kamu akan jadi petugas kebersihan toilet di kantor ini selama dua bulan!” kata Jayden tegas setelah melepaskan cengkeramannya.
Selina menggeleng keras, air matanya mulai jatuh.
“Saya tahu kamu tidak akan mampu membayar kerugian saya. Jadi sebagai gantinya, kamu harus tunduk pada semua perintah saya. Kalau kamu menolak…” Jayden mendekat, menatap tajam. “Saya bisa melaporkanmu ke polisi atas tuduhan perusakan barang pribadi.”
Selina terisak, tubuhnya bergetar. “Pak Jayden… tolong, izinkan saya menjemput anak saya dulu. Saya mohon…” Selina berharap ada belas kasih di hati pria itu.
Tapi Jayden tak mengindahkan, pria itu menepis tangan Selina yang memegang lengannya.
Selina terduduk di lantai, dengan air mata jatuh deras di pipi.
"Ya Allah... cobaan apalagi ini," kata Selina meremas kasar rambutnya.
•
•
•
"Kasian ndak ada yang jemput ya?"
Ian mendongak saat melihat seorang anak perempuan sebayanya datang menghampirinya dengan wajah tengil dan nada mengejek.
Aria—gadis kecil yang memang terkenal cerewet di kelasnya dengan gaya khas cadelnya.
Ian memilih diam, bocah itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha tak peduli.
Tapi Aria memang dasarnya tak suka diabaikan, ia langsung menepuk bahu Ian cukup keras.
"Aya bicala sama kamu! Aya disini, bukan disana!" kata Aria dengan suara cadelnya yang nyaring.
"Berisik! Suara kamu yang cempreng itu nggak enak di kuping Ian," balas Ian akhirnya.
"Huwaaaa!!"
Tangisan Aria pecah seketika, membuat Ian terperanjat. Tentu saja bocah itu panik.
"Aya ndak cempleng! Aya ndak suka dibilang gitu!" isak tangisnya semakin keras.
"Sudah, jangan nangis... nanti wajahmu makin jelek," ucap Ian.
Namun perkataan itu malah membuat anak berambut kuncir dua itu menangis semakin kencang.
Ian semakin bingung. Hingga ia teringat sesuatu—di tasnya masih ada cokelat yang tadi dibelikan mamanya. Dengan cepat, ia mengeluarkan bungkus cokelat bergambar karakter kartun favorit anak-anak.
"Ini... jangan nangis lagi. Kata mama Ian, makan cokelat bisa bikin hati kita senang," kata Ian sambil menyodorkannya.
Aria menatap cokelat itu, matanya yang masih berair sedikit berbinar.
"Gelatis kan?" tanyanya, sambil mengusap sisa air matanya.
"Iya. Ian minta maaf kalau perkataan Ian tadi bikin kamu nangis," kata Ian tulus.
Senyum kecil akhirnya kembali muncul di wajah Aria. Gadis kecil itu pun hendak meraih cokelat dari tangan Ian.
Namun—
"Aria!"
Suara berat seseorang menghentikannya.
Aria menoleh, dan mendapati ayahnya berjalan cepat ke arah mereka dengan wajah keras.
Tangannya langsung menarik lengan putrinya menjauh.
"Jangan ambil apapun pemberian dari anak yang nggak punya ayah ini!" tegasnya.
padahal lembek