NovelToon NovelToon
The Lonely Genius

The Lonely Genius

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Dunia Masa Depan / Robot AI
Popularitas:657
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".



(Setiap hari update 3 chapter/bab)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1: Angka 280

Jam di dinding laboratorium memproyeksikan angka digital biru pucat: 03:14.

"Bintang terbesar," sebuah suara wanita yang tenang dan elegan memenuhi ruangan, "membakar dirinya sendiri paling cepat. Hidrogen mereka terkuras dalam rentang waktu kosmik yang sekejap mata. Semakin terang cahayanya, semakin cepat ia mati."

Suara itu berhenti sejenak, jeda 1.2 detik yang terkalibrasi, seolah menunggu tanggapan yang tidak kunjung datang.

"Mereka mati dalam kesendirian, di kegelapan yang tak terbayangkan, setelah memberikan semua kehangatan mereka. Apa kau mendengarku, Ethan?"

Ethan Pradana tidak mendengarkan.

Atau lebih tepatnya, dia mendengarkan, tetapi tidak menyerap. Suara A.U.R.O.R.A. telah menjadi soundtrack konstan dalam hidupnya selama enam tahun terakhir, sama alaminya dengan detak jantungnya sendiri—sesuatu yang baru ia perhatikan ketika suaranya berhenti.

Dia berdiri bersandar di meja kerjanya, sebuah pulau anomali di lautan baja steril dan kaca kuarsa di Laboratorium Fisika Terapan Neo-Babel. Sudut ruangannya adalah kekacauan yang personal. Papan data tulisan tangan yang kuno berdampingan dengan tablet holografik, kabel-kabel meliuk seperti sulur, dan di tangannya, sebuah cangkir keramik berpola paus kartun—bukan smart-mug standar lab—berisi cokelat panas yang telah mendingin.

Di hadapannya, di tengah ruangan, tergantung sebuah mahakarya yang mustahil.

Itu adalah prototipe dari Proyek Dyson Sphere, dalam bentuk hologram berdiameter tiga meter. Ia berputar pelan, sebuah bola cahaya kompleks yang terbuat dari jutaan segi heksagonal yang saling bertautan, memancarkan cahaya keemasan lembut yang menari-nari di wajah Ethan yang berusia dua puluh tahun.

Itu adalah ciptaannya. Dan itu salah.

"Resonansinya tidak stabil," bisik Ethan. Matanya, yang seharusnya lelah setelah lima puluh delapan jam terjaga, justru bersinar tajam, melacak satu segi heksagonal yang berkedip merah dalam simulasi. "Lihat itu, Aurora. Di ekuator. Setiap tiga puluh nanodetik, ada lonjakan energi parasit. Sesuatu yang fundamental salah."

"Aku melihatnya, Ethan," jawab Aurora. Suaranya tidak datang dari pengeras suara, melainkan seolah beresonansi dari udara itu sendiri, dipancarkan oleh puluhan emitor akustik tersembunyi. "Itu anomali yang sama dengan simulasi 7.1, 7.2, dan 7.3."

"7.4," Ethan mengoreksi, mengangkat cangkir ke bibirnya. Cokelatnya terasa hambar. "Dan itu bukan anomali yang sama. Amplitudonya menyimpang 0.004%. Ada pola yang belum kita lihat."

"Pola yang tidak akan kau temukan jika korteks prefrontalmu beroperasi dengan seperempat efisiensi normal," balas Aurora. "Laporan biometrikmu mengkhawatirkan. Kadar kortisolmu di atas ambang batas kritis. Denyut jantungmu tidak teratur. Kau bukan bintang, Ethan. Kau manusia. Dan manusia butuh tidur."

Ethan akhirnya berpaling dari hologram itu, menatap sebuah lensa biru kecil yang tersembunyi di antara panel dinding. "Dan kau," katanya, "adalah Asisten Riset Operasional & Penalaran Terpadu yang Adaptif. Kau seharusnya beradaptasi dengan metodologiku."

"Metodologimu saat ini adalah kelelahan ekstrem yang disengaja. Itu tidak logis."

"Logika tidak akan menyelesaikan ini." Ethan berjalan mendekati hologram itu, begitu dekat hingga cahaya keemasannya menembus kaus tipis yang dikenakannya. Dia mengangkat tangan, dan saat jemarinya menembus foton, sebuah jendela data terbuka, menampilkan baris-baris persamaan yang tak ada habisnya. "Logika Julian Frost mengatakan ini tidak mungkin. Logika Profesor Thorne mengatakan ini akan menghabiskan anggaran seratus tahun. Logika mereka terbatas."

Dia menyapukan jarinya, dan hologram itu berputar lebih cepat. "Ini bukan masalah teknik, Aurora. Ini masalah filosofis. Kau tidak bisa menampung energi murni sebuah bintang tanpa memahaminya. Dan bintang... bintang itu liar. Kekacauan yang indah."

"Kekacauan adalah variabel yang tidak terhitung," kata Aurora. "Tugasku adalah menghitungnya."

"Dan tugasku adalah merasakannya." Ethan menutup jendela data itu dengan frustrasi. Dia kembali ke mejanya dan menjatuhkan diri ke kursi. Keheningan di laboratorium berteknologi tinggi ini tiba-tiba terasa berat. Simulasi Dyson Sphere terus berputar, keindahan yang gagal, sebuah janji yang belum bisa ia penuhi.

Dia memijat pelipisnya, akhirnya merasakan beban 58 jam itu menekan bahunya. Kesunyian di laboratorium berteknologi tinggi ini memiliki bobot yang berbeda. Itu bukan sekadar ketiadaan suara; itu adalah ketiadaan kehidupan. Dia adalah satu-satunya napas di gedung pencakar langit yang menampung ribuan pikiran di siang hari. Inilah ironi terbesarnya: dikelilingi oleh teknologi yang dirancang untuk menghubungkan, dia adalah orang paling kesepian di planet ini.

Dia menatap cangkir cokelatnya. Tangan A.I.-nya yang tak terlihat telah mendinginkannya dengan sempurna hingga 60 derajat Celcius, suhu optimal untuk konsumsi langsung tanpa risiko luka bakar. Tapi Ethan selalu menyukai cokelat panas yang membakar lidah. Sesuatu yang membuatnya terkejut, sesuatu yang mengingatkannya bahwa dia nyata.

Rasa manis yang dingin itu tiba-tiba memicu sesuatu. Sebuah ingatan yang tajam dan menusuk, sejelas panel data di depannya.

Usianya delapan tahun. Di luar jendela Panti Asuhan St. Jude, hujan turun dengan deras, membentur atap seng berkarat dengan suara gemuruh. Di dalam, dingin menusuk tulang.

Listrik padam lagi—penjatahan terjadwal untuk Zona D, "Zona Kumuh".

Di ranjang seberangnya, seorang anak perempuan bernama Maya terbatuk lagi, suara batuk kering yang terdengar menyakitkan di kegelapan. Nebulizer-nya yang bertenaga baterai berbunyi lemah, hampir habis.

Ethan menarik selimut tipisnya lebih erat. Di sebelahnya, di ranjang susun bawah, Nate—yang saat itu berusia sepuluh tahun dan sudah menganggap dirinya pelindung Ethan—bergerak.

"Kau kedinginan, Eth?" bisik Nate.

Ethan tidak menjawab. Dia hanya mendengarkan suara batuk Maya.

Nate mendesah. Dia merogoh ke bawah tempat tidurnya dan mengeluarkan sesuatu yang disembunyikan. Satu bungkus cokelat instan, yang mungkin dia 'pinjam' dari dapur.

"Sial," bisik Nate. "Airnya juga dingin. Pemanasnya mati."

Dia tetap mencampurnya, menuangkan air keran yang dingin ke dalam dua cangkir kaleng. Dia memberikan satu pada Ethan. Rasanya mengerikan—manis yang menggumpal, berpasir, dan dingin sedingin es. Tapi itu adalah sesuatu. Itu adalah satu-satunya kehangatan yang mereka miliki malam itu.

Maya meninggal tiga hari kemudian. Bukan karena pemadaman listrik secara langsung, tetapi karena komplikasi yang diperburuk oleh perawatan yang tidak konsisten. Karena mesin yang seharusnya menyelamatkannya tidak dianggap 'prioritas' oleh jaringan listrik kota.

Karena seseorang di Zona-A memutuskan bahwa lampu taman mereka lebih penting daripada paru-paru seorang anak di Zona-D.

Ethan mengerjapkan mata. Laboratorium kembali fokus. Hologram Dyson Sphere masih berputar.

Dia mengepalkan tangannya.

"Energi bukan hak istimewa," bisiknya pada dirinya sendiri. "Itu adalah hak asasi."

Dia tidak sedang membangun proyek sains. Dia sedang membangun sebuah sumpah. Dia sedang berusaha memastikan tidak ada lagi anak yang kedinginan di kegelapan, mendengarkan mesin yang sekarat.

"Aurora," katanya, suaranya kini tegas. "Matikan simulasi 7.4."

Hologram itu lenyap, mengembalikan ruangan ke cahaya biru pucat dari monitor.

"Aku akan pulang," katanya, sambil berdiri. Kursinya berdecit pelan.

"Itu adalah keputusan yang logis," jawab Aurora. "Kapsul tidurmu di apartemen sudah disiapkan. Aku akan memesan pod transportasi."

"Tidak," kata Ethan. "Aku akan jalan kaki. Aku butuh udara."

"Udara di luar memiliki tingkat polusi partikulat 2.5 di atas batas aman. Dan ini adalah jam 05:30. Tidak efisien. Berbahaya."

"Aku akan mengambil risiko," kata Ethan, meraih jaket tipis dari sandaran kursinya. "Aku butuh sesuatu yang nyata."

Udara pagi pukul 05:30 di Neo-Babel terasa dingin dan berbau ozon yang disanitasi. Ethan menarik napas dalam-dalam, merasakan partikulat itu menggigit paru-parunya. Rasanya nyata.

Dia berjalan menyusuri jalan setapak yang diterangi lampu LED, melewati taman-taman steril yang rumputnya dipotong oleh drone seukuran serangga. Kota itu mulai menggeliat. Kendaraan otonom meluncur tanpa suara di jalanan di bawah.

Iklan holografik raksasa di sisi gedung pencakar langit mulai beralih dari mode tidur ke mode pagi—menjual kopi, paket data berkecepatan tinggi, dan "Peningkatan Status EQ" yang menjanjikan kehidupan lebih baik.

Dia tiba di Terminal Transportasi Utama, sebuah kubah kaca besar yang berfungsi sebagai penghubung antara Zona-S (Sains), tempat dia bekerja, dan Zona-A (Akademisi), tempat apartemennya yang disubsidi berada.

Dia melihat tiga pintu masuk utama yang terpisah:

PRIORITAS ALFA (TIER-S & A+) - Sebuah gapura marmer yang lengang.

UMUM (TIER-A & B) - Jalur baja yang sudah mulai ramai.

LAYANAN (TIER-C & D) - Sebuah pintu beton di samping, berbau pembersih industri.

Secara naluriah, Ethan berjalan menuju jalur UMUM. Dia benci jalur Alfa.

Bahkan sebelum dia bisa mencapai antrean, seorang petugas keamanan berseragam kaku melihatnya. Wajah Petugas Krenn langsung pucat.

"Peneliti Pradana! Tuan!" Krenn berlari kecil menghampirinya, jelas panik. "Jalur Anda di sini, Tuan. Lewat sini, silakan."

"Saya lebih suka di sini, Petugas," kata Ethan pelan, berusaha agar tidak menarik perhatian.

"Tuan, saya mohon," bisik Krenn, matanya melirik ke kamera di atas. "Saya bisa ditandai karena 'Menghambat Aset Tier-S'. Sistem akan memotong poin saya. Tolong, Tuan."

Ethan menghela napas. Dia benci ini. Dia benci menjadi "aset".

"Baik," katanya, dan membiarkan Krenn mengawalnya ke gerbang PRIORITAS ALFA yang sepi.

Saat dia mendekat, panel di depannya memindai retina dan tanda biologisnya. Sebuah layar biru tembus pandang muncul di udara.

NAMA: ETHAN PRADANA

SKOR: 280 (IQ) / 95 (EQ)

STATUS: AKADEMISI TIER-S. PENELITI KEPALA (PROYEK DYSON).

AKSES: PRIORITAS ALFA. SEMUA ZONA.

KESEHATAN: KELELAHAN EKSTREM. (Peringatan: Istirahat wajib 8 jam disarankan.)

"Selamat pagi, Peneliti Pradana," suara sistem yang ceria menyapanya. "Pod pribadi Anda sedang menunggu."

Saat gerbang kacanya mendesis terbuka, sebuah keributan kecil terjadi di seberang terminal, di pintu masuk LAYANAN. Seorang wanita muda berseragam sanitasi abu-abu menjatuhkan data-pad kerjanya. Benda itu meluncur di lantai, berhenti tepat di dekat garis pemisah antara zona mereka dan zona Alfa.

Wanita itu membeku. Dia menatap data-pad itu, lalu menatap Petugas Krenn, lalu menatap Ethan. Dia terjebak. Dia tidak diizinkan melintasi garis itu tanpa izin.

Ethan bertindak tanpa berpikir.

Dia melangkah keluar dari gerbang Alfa-nya, berjalan melintasi lantai marmer, membungkuk, dan mengambil data-pad itu. Dia berjalan ke arah wanita itu, yang kini tampak pucat pasi.

"Anda menjatuhkan ini," kata Ethan, menyodorkan benda itu dengan senyum kecil.

Wanita itu, mungkin tidak lebih tua dari Ethan, menatapnya. Wajahnya tidak menunjukkan rasa terima kasih. Wajahnya menunjukkan teror murni.

Dia tidak mengambil data-pad itu.

Sebaliknya, dia menjatuhkan diri dalam-dalam, membungkuk begitu rendah hingga kepalanya hampir menyentuh lututnya. "Maaf, Peneliti-Tier-S!" suaranya bergetar. "Maafkan kecerobohan saya! Saya tidak bermaksud mengganggu Anda! Maaf!"

Ethan membeku. Senyumnya lenyap. "Tidak, saya hanya..."

"Tuan Pradana!" Petugas Krenn sudah ada di sampingnya, memegang lengan Ethan dengan lembut namun tegas. "Tolong jangan berinteraksi. Ini tidak diizinkan. Ini demi keamanan Anda. Dan regulasi antar-Tier."

Krenn mengangguk tajam pada penjaga di jalur Layanan, yang langsung membentak wanita itu. "Ambil! Cepat! Dan kembali bekerja!"

Wanita itu, masih gemetar, menyambar data-pad dari tangan Ethan—tangannya bergerak begitu cepat seolah-olah tangan Ethan adalah api—dan bergegas kembali ke antreannya, tidak pernah mengangkat matanya lagi.

Petugas Krenn mengawal Ethan kembali ke gerbang Alfa. "Maaf atas gangguan itu, Tuan. Perilaku Tier-D memang tidak bisa ditebak."

Ethan tidak menjawab.

Dia melangkah masuk ke pod transportasinya yang mewah dan sepi. Pintu tertutup dengan desisan kedap suara. Pod itu meluncur tanpa suara ke dalam terowongan vakum, mempercepatnya menuju rumah.

Dia menatap pantulannya di kaca yang gelap.

Dia telah mencoba tersenyum. Dia telah mencoba membantu. Dan wanita itu menatapnya seolah-olah dia adalah monster.

Dia teringat kata-kata Aurora. Mereka mati dalam kesendirian.

Dia adalah bintang paling terang dalam sistem ini, dipuja dari kejauhan, tetapi tidak ada yang bisa mendekatinya tanpa terbakar. Dia adalah seorang jenius, seorang pahlawan, seorang Peneliti Tier-S. Tapi dia adalah Ethan Pradana. Dan dia adalah orang paling kesepian di dunia.

Pod itu melambat, memberi sinyal kedatangan di Zona-A.

Resonansi...

Masalah di lab terasa begitu jauh sekarang, namun sekaligus terhubung. Masalahnya bukan hanya pada sangkar bintang itu. Masalahnya ada pada sangkar di sekelilingnya.

Dia bersandar di kaca yang dingin. Lelah. Bukan hanya lelah 58 jam. Tapi lelah seumur hidupnya.

Pod transportasi itu mendesis pelan saat tiba di lobi Zona-A. Ethan melangkah keluar, tetapi alih-alih berbelok ke kanan menuju menara apartemen akademisi steril tempat kapsul tidurnya menunggu, dia berbelok ke kiri.

Dia berjalan menyusuri koridor yang lebih tua, di mana plakat-plakat baja di dinding telah digantikan oleh plester yang retak.

Bau ozon yang disanitasi memudar, digantikan oleh sesuatu yang lebih tua, lebih manusiawi; debu, kabel yang sedikit panas, dan... ya, samar-samar tercium aroma bawang putih dan jahe dari salah satu unit di lantai atas.

Dia berada di perbatasan, di gedung apartemen yang lebih tua yang menampung campuran Tier-A tingkat rendah dan beberapa Tier-B yang beruntung. Itu adalah tempat yang secara teknis tidak seharusnya dia tinggali, tetapi sistem tidak pernah mempertanyakan kunjungannya.

Dia berhenti di depan pintu 14B dan menekan telapak tangannya ke panel akses yang sudah usang. Panel itu berkedip hijau—cetak telapak tangannya telah terdaftar sebagai "keluarga" selama hampir satu dekade.

Pintu itu mendesis terbuka.

"Kau curang, Reyes! CURANG!"

Suara itu menghantamnya seperti dinding.

Sebuah hologram pertandingan Gravity-Ball raksasa memenuhi ruang tamu, menampilkan dua atlet berotot dalam gravitasi nol yang saling melempar bola logam. Di depan holo-proyektor, seorang pria muda berusia dua puluh dua tahun, hanya mengenakan celana kargo dan kaus kotor, melompat-lompat di sofa.

"Tidak mungkin dia bisa membelokkan tembakan itu tanpa pendorong ilegal! Sialan!"

Ini adalah Nathaniel "Nate" Reyes.

Apartemen itu adalah antitesis dari laboratorium Ethan. Itu adalah kekacauan yang hangat. Lensa-lensa kamera bertebaran di meja kopi seperti kerang. Pakaian kotor teronggok di kursi.

Dan di setiap permukaan dinding yang tersedia, tergantung foto-foto cetak fisik—bukan layar data, tetapi kertas foto asli yang mengilap. Foto-foto pemogokan pekerja di Zona-C, potret seorang musisi jalanan tua yang tertawa, foto lanskap kota yang diambil dari sudut yang mustahil.

Itu adalah rumah.

"Woi!" Nate akhirnya melihat Ethan berdiri di ambang pintu. Dia membekukan hologram pertandingan itu. "Lihat siapa yang datang! Si Manusia Hantu. Kau tampak seperti mayat hidup yang baru saja ditabrak pod transportasi, Eth."

Ethan hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menyusun balasan yang cerdas. Dia melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke tumpukan pakaian kotor, di mana jaket itu langsung berbaur.

"Dia tidak tampak seperti mayat hidup," sebuah suara yang lebih lembut terdengar dari sudut ruangan. "Dia tampak kelelahan."

Aluna "Luna" Carpenter mengangkat kepalanya dari tumpukan buku dan data-pad anatomi. Dia duduk di lantai, bersandar di rak buku yang penuh sesak, rambut cokelat gelapnya diikat seadanya.

Dia mengenakan seragam medis mahasiswa biru muda, dan bahkan dari seberang ruangan, Ethan bisa melihat lingkaran hitam di bawah matanya yang tajam dan penuh empati.

"Ethan, kau belum tidur," katanya. Itu bukan pertanyaan; itu adalah diagnosis.

Dia berdiri dan berjalan menghampirinya.

Tanpa ragu, dia mengangkat tangan dan menempelkan punggung tangannya yang dingin ke dahi Ethan. "Kau demam."

Ethan tidak bergeming. Jika ada orang lain—Petugas Krenn, Profesor Thorne, bahkan Senator—yang menyentuhnya seperti itu, dia akan mundur secara naluriah.

Tapi ini Luna. Sentuhannya adalah salah satu dari sedikit data sensorik yang tidak pernah coba dianalisis oleh otaknya. Dia hanya menerimanya.

"Aku baik-baik saja," bisiknya. "Hanya... ada masalah di lab."

​"Jangan dimanja, Lun," kata Nate dari sofa, sambil membuka kotak kardus besar di atas meja dengan hati-hati, seolah itu adalah artefak berharga.

"Dia itu mesin. Dan mesin butuh bahan bakar. Kabar baik, Eth, kau datang di waktu yang tepat."

​Aroma yang luar biasa—campuran gurih dari kacang panggang, cokelat, dan keju—memenuhi ruangan.

​Mata Luna terbelalak. "Nate, kau... kau serius? Kau benar-benar pergi sejauh itu ke 'Warung Sinar Jaya' di Zona-C?"

​"Tentu saja," kata Nate bangga, mengangkat sepotong martabak cokelat kacang—favorit Ethan.

"Aku memenangkan taruhan 'Iron Bulls'. Bonus harus dirayakan dengan benar." Dia mengedip pada Ethan. "Hanya yang terbaik untuk menghormati Ibu Pradana, kan?"

Mereka bertiga duduk di lantai, di sekitar meja kopi yang penuh sesak, seperti yang telah mereka lakukan ribuan kali sejak panti asuhan. Ini adalah ritual mereka. Ethan mengambil sepotong martabak cokelat kacang—favoritnya.

Nate mematikan hologram olahraga itu dan beralih ke saluran berita. Seorang penyiar yang tersenyum sempurna sedang melaporkan tentang anak jenius baru. "...skor IQ 160 yang mengesankan di usia sepuluh tahun! Seorang bintang baru untuk Akademi Emas..."

Ethan mengernyit dan mematikan holo-proyektor itu.

"Hei!" protes Nate.

"Aku tidak mau melihat itu," kata Ethan pelan.

Nate menatapnya sejenak, kunyahannya melambat. Dia mengerti. "Ah," katanya. "Masalah 'Tier-S' lagi? Ada yang membungkuk terlalu rendah padamu hari ini?"

Ethan hanya mengangkat bahu, tetapi kepahitan dari pertemuan di terminal masih terasa di lidahnya, lebih kuat dari rasa cokelat.

"Kau tidak bisa menyalahkan mereka, Eth," kata Nate, nadanya lebih serius sekarang. "Bagi mereka, kau itu seperti dewa.

Sesuatu yang tidak bisa disentuh. Sesuatu yang menentukan apakah mereka bisa memberi makan keluarga mereka atau tidak."

"Aku bukan dewa," gerutu Ethan. "Aku hanya... aku hanya mencoba memperbaiki sesuatu."

"Kalau begitu berhentilah bertingkah seperti kau sendirian," kata Nate. "Aku serius, Eth. Kau bersembunyi di lab-mu itu. Kau tidak melihat apa yang terjadi di luar.

Profesor Thorne-mu itu, dan para politisi yang mendanai... Senator Rostova... mereka bukan temanmu.

Mereka tersenyum padamu di depan kamera, tapi aku mendengar omongan di ruang redaksi. Mereka hanya ingin mainan barumu. Mereka tidak peduli dengan 'hak asasi manusia'."

"Nate, jangan," potong Luna. "Dia lelah. Jangan mulai dengan politik."

"Ini bukan politik, Lun! Ini adalah keselamatannya!" Nate menunjuk Ethan dengan sisa martabaknya.

"Orang-orang sepertimu, Eth... orang-orang idealis... dunia ini memakanmu hidup-hidup. Mereka akan membiarkanmu membangun mainanmu, dan begitu selesai, mereka akan mengambilnya dan membuangmu."

Keheningan memenuhi ruangan, hanya menyisakan suara kunyahan Ethan. Dia tahu Nate benar. Dia merasakannya dalam senyuman dingin Senator Rostova di acara penghargaan.

Dia merasakannya dalam kepanikan Petugas Krenn.

"Lalu apa yang harus kulakukan, Nate?" tanya Ethan pelan. "Berhenti?"

Nate menghela napas, amarahnya mengempis.

"Tidak. Tentu saja tidak. Kau tidak bisa berhenti. Itu seperti meminta matahari berhenti bersinar. Aku hanya bilang... jangan naif. Percayalah padaku.

Percaya pada kami. Jangan percaya pada mereka."

Ethan mengangguk.

Luna mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas tangan Ethan yang memegang martabak. "Dia hanya khawatir. Kami khawatir. Kau memaksakan diri lagi. Seperti waktu kau mencoba memperbaiki pemanas air di panti. Kau tidak tidur tiga hari dan akhirnya pingsan di atap."

Ethan tersenyum tipis mendengar ingatan itu. "Tapi pemanasnya berfungsi setelah itu, kan?"

"Selama dua minggu," Luna tertawa.

"Lalu meledak."

Mereka tertawa bersama, dan ketegangan di ruangan itu pecah. Untuk sesaat, dia bukan Peneliti Tier-S. Dia bukan si jenius. Dia hanya Ethan, dan dia bersama keluarganya.

Dia sedang memakan potongan terakhirnya ketika Luna tiba-tiba berkata, "Ya Tuhan, Eth. Kau seperti anak-anak."

"Hah?"

Luna tertawa lagi, tawa pelan yang selalu membuat sesuatu di dada Ethan terasa hangat. "Kau punya cokelat. Di seluruh wajahmu."

Sebelum Ethan sempat bereaksi, Luna mengambil serbet kertas, mencondongkan tubuhnya ke depan.

Dunia Ethan tiba-tiba menyempit.

Nate dan apartemen yang berantakan itu lenyap. Yang ada hanyalah wajah Luna. Aroma sabun dan buku-buku tua darinya.

Matanya yang cokelat, yang tidak menatapnya dengan rasa takut atau kagum, tetapi hanya dengan... kasih sayang yang tulus.

Tangannya yang lembut namun cekatan—tangan seorang calon dokter—dengan lembut membersihkan noda cokelat di sudut mulutnya.

Jantung Ethan, yang biasanya berdetak dengan ritme yang bisa diprediksi, tiba-tiba melakukan anomali biometrik yang Aurora bicarakan.

Dia membeku. Dia bisa menghitung kecepatan orbit sebuah komet, tetapi dia tidak bisa memproses data yang datang dari sentuhan sederhana ini.

Dia hanya... menatapnya.

KLIK.

Suara itu menghancurkan momen itu seperti batu yang dilempar ke kolam yang tenang.

Ethan dan Luna tersentak mundur.

Nate Reyes menyeringai dari balik kamera digital berteknologi tinggi yang kini dipegangnya. Itu bukan model terbaru, tapi model profesional yang kokoh.

"Sempurna," kata Nate, melihat layar pratinjau. "Momen 'Si Jenius dan Si Cantik'. Ini akan laku. Atau setidaknya, bagus untuk album kita."

Ethan memelototinya, wajahnya terasa panas. "Hapus itu, Nate."

"Tidak akan," kata Nate riang.

"Ini adalah bukti bahwa kau sebenarnya manusia."

Luna, wajahnya sedikit memerah, mulai sibuk mengumpulkan kotak martabak yang kosong. "Sudah larut. Sebaiknya kau tidur, Ethan."

"Ya. Tidur," kata Ethan. Tapi dia tidak bergerak.

Otaknya, yang baru saja ditenangkan oleh makanan dan rasa aman, kini berputar kembali. Sentuhan Luna. Kehangatan. Kelembutan. Itu memicu sesuatu yang lain. Ingatan dari Part 1.

Hujan. Kaca. Cahaya yang pecah.

Pembiasan.

"Lensa," bisik Ethan.

Nate mendongak dari kameranya. "Hah? Kau mau lensa? Aku punya Sigma 50 milimeter yang baru..."

"Tidak." Ethan tiba-tiba berdiri, matanya menyala dengan api yang sama yang Luna lihat beberapa jam lalu di lab.

Dia mencari-cari di meja kopi yang berantakan, menyingkirkan lensa dan data-pad, mencari sesuatu untuk ditulis.

Dia menemukan serbet kertas yang baru saja digunakan Luna.

"Eth, apa yang kau..."

Ethan tidak menjawab. Dia meraih pulpen dari saku Nate dan, di atas serbet bernoda cokelat itu, dia mulai menggambar.

Itu bukan persamaan. Itu adalah sebuah pola. Geometri yang rumit, seperti kepingan salju yang mustahil, atau seni Islam kuno.

Pola heksagonal yang berulang, tetapi melengkung dalam sudut-sudut fraktal yang presisi.

Itu adalah pola yang dia ingat dari "latihan terjemahan" kakeknya.

Sesuatu yang dia kira hanyalah ornamen di pinggir halaman manuskrip kuno.

"Itu... segalanya," bisik Ethan, menatap gambar di serbet itu. Kelelahan 58 jam lenyap, digantikan oleh gelombang adrenalin murni.

"Itu jawabannya. Aurora salah. Aku salah. Ini bukan sangkar. Ini lensa."

Dia menatap Nate dan Luna dengan tatapan liar dan gembira.

"Aku harus pergi."

Dia menyambar serbet itu dan berlari ke pintu.

"Apa?!" teriak Nate, melompat dari sofa. "Kau baru saja datang! Martabaknya bahkan belum dingin! ETHAN!"

Tapi Ethan sudah di luar pintu.

Pintu itu mendesis tertutup di belakangnya.

Nate menatap pintu yang tertutup itu dengan putus asa. "Manusia itu! Aku bersumpah..." Dia mengusap wajahnya, lalu menatap Luna.

Luna berdiri diam, menatap pintu tempat Ethan menghilang. Dia tidak marah. Dia hanya terlihat sangat sedih, dan sangat khawatir.

"Dia tidak akan berhenti sampai ini selesai, kan?" bisiknya.

Nate menghela napas panjang, amarahnya menguap, hanya menyisakan rasa lelah.

Dia berjalan ke kameranya dan melihat foto yang baru saja diambilnya. Ethan dan Luna. Terjebak dalam gelembung kecil keintiman yang sempurna. Sebuah momen yang sudah terasa seperti sejarah yang hilang.

"Tidak," kata Nate pelan. "Dia tidak akan pernah berhenti."

1
Brock
Saya butuh lanjutannya, cepat donk 😤
PumpKinMan: udah up to 21 ya bro
total 1 replies
PumpKinMan
Halo semua, enjoy the story and beyond the imagination :)
Texhnolyze
Lanjut dong, ceritanya makin seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!