NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

01. Awal dari Permainan

Seorang pria sedang menjalankan mobilnya dengan tenang. Ia melewati kawasan yang belum pernah ia lewati sebelumnya. Jalanan ini merupakan daerah sepi penduduk, yang salah satu tanah luasnya rencananya akan ia rekonstruksi menjadi pusat perbelanjaan.

Namun naas, mobil hitam mewah itu sedikit oleng. Ia merasakan hentakan di roda belakang, disusul bunyi kasar yang membuat alisnya berkerut. Mobil dipelankan, sebelum akhirnya berhenti di pinggir jalan.

Dengan kesal, pria itu keluar. Melepas kaca mata hitamnya, lalu menggantungkannya di kerah kemeja putih yang rapi meski kini ternodai sedikit debu jalanan. Tubuh tegapnya berjongkok, tangan kokohnya menyentuh ban yang kempes, terlihat paku kecil yang masih tertancap di sana.

Damian Evans mengembuskan napas panjang, separuh menahan jengkel. Dialah CEO Evans Corporation, pria berusia 44 tahun yang biasanya duduk di kursi kulit nyaman di lantai teratas gedung pencakar langit, kini malah berdiri sendirian di tengah daerah sepi yang bahkan sulit menemukan bengkel.

Ia berdiri tegak, pandangan matanya menyapu sekitar. Sunyi. Jalanan panjang, sawah terbuka, dan beberapa rumah tua berjajar di kejauhan. Tidak ada lalu-lalang kendaraan, sehingga tidak ada pertolongan instan.

Damian mendesah pelan, “Sial,” gumamnya rendah.

Untuk sesaat, ia merasa seperti orang biasa, bukan miliarder dengan nama besar.

Tidak lama, suara deru mesin mobil mendekat dari arah berlawanan. Damian yang sejak tadi berdiri di samping sedan hitamnya, menoleh cepat. Sebuah mobil berwarna abu metalik melaju pelan, lalu berhenti tidak jauh dari tempatnya.

Pintu sopir terbuka, dan keluarlah seorang wanita. Setelan kantoran hitam-putih membalut tubuhnya dengan elegan, rambut panjang bergelombang terurai lembut di bahunya, dan sepasang sepatu hak tinggi berkilat mengetuk aspal saat ia melangkah. Makeup-nya tipis, namun cukup untuk menonjolkan kecantikan alaminya.

Damian terdiam sejenak, nyaris lupa pada ban mobilnya yang kempes. Ia terbiasa bertemu wanita karier berkelas dalam rapat direksi maupun pesta koktail, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Di tengah jalan sepi, sosok itu justru tampak lebih menonjol, seperti pemandangan asing yang sulit diabaikan.

Wanita itu menutup pintu mobilnya, lalu berjalan mendekat.

“Nona,” sapa Damian sopan.

“Iya, Om.” Balas wanita itu tanpa ragu, matanya bergantian menatap wajah Damian dan sedan hitam yang ban belakangnya sudah kempes.

Damian terdiam sepersekian detik, lalu terkekeh pendek, tidak percaya dengan panggilan itu. Tapi ia segera menyadari bahwa wanita dihadapannya ini jelas jauh lebih muda darinya.

“Om?” Damian mengulang dengan senyum samar.

Elena menaikkan alis, menatapnya seolah ia tidak terlalu mempersoalkan hal kecil itu.

“Apa Om perlu bantuan?” tanyanya sambil menunjuk mobil mewah yang terparkir dengan ban kempes.

Damian menoleh sekilas, lalu mengangguk, “Ban mobilku tertancap paku. Dan aku tidak membawa ban cadangan. Apakah di sekitar sini ada bengkel?”

Elena menghela napas, “Sebentar.”

Ia berjalan menuju mobilnya untuk mengambil ponsel. Setelah itu, ia kembali menghadap Damian, dengan tangan yang sibuk menari-nari diatas layar. Kemudian menempelkan ponsel itu ke telinganya.

“Bisa ke jalan arah selatan? Ada mobil mogok. Ban belakangnya pecah. Tolong bawa alat, ya.”

Sementara Elena berbicara, Damian memperhatikannya lebih dekat. Ada sesuatu yang menarik dari wanita itu. Cara berdiri, gerak tubuh, dan ketegasannya saat berbicara lewat telepon, semuanya menyiratkan aura percaya diri yang jarang ia temui.

“Temanku montir kecil-kecilan,” ucap Elena setelah menutup telepon, “Rumahnya tidak jauh. Sebentar lagi datang.”

Damian menyilangkan tangan, matanya menyipit, “Kau sungguh memanggilkan bantuan untukku?”

Elena menatapnya lekat, sedikit heran dengan pertanyaannya, “Kalau tidak, Om mau apa? Dorong mobil sebesar itu sampai kota? Atau menunggu sampai ban itu hancur total?”

Jawaban lugas itu menusuk, tapi justru membuat Damian tertawa kecil. Ia sudah terbiasa mendengar orang berbicara dengan penuh kehati-hatian di hadapannya. Semua menjaga kata, semua penuh hormat. Namun wanita ini? Santai, seolah ia hanyalah pria biasa yang terjebak di jalanan.

“Baiklah, nona. Sepertinya aku berutang padamu,” ucap Damian, kali ini lebih tenang.

Elena menyunggingkan senyum tipis, “Nanti saja, Om. Setelah mobil itu bisa jalan lagi.”

Untuk pertama kalinya sejak lama, Damian Evans, seorang CEO yang dihormati sekaligus ditakuti, merasa benar-benar terdiam. Lalu, tanpa bisa menahan diri, ia tertawa kecil. Bukan tawa kesal, melainkan tawa kagum.

Wanita ini… jelas berbeda.

Setelah menunggu hampir sepuluh menit dalam keheningan, suara mesin terdengar mendekat dari kejauhan. Sebuah mobil pick up berhenti di sisi jalan. Dari dalamnya turun seorang pria dengan wajah kelelahan. Pandangannya sempat jatuh pada Elena, lalu bergeser ke arah Damian.

“Mana ban yang kempes, Pak?” tanya montir itu, Theo.

Damian mendekat, menunjuk ke arah ban belakang yang masih terbenam paku, sembari menjelaskan singkat masalahnya. Theo mengangguk paham, lalu berjalan ke bak pick up untuk mengambil peralatan. Suara logam beradu terdengar, menandai ia mulai bersiap bekerja.

Sementara itu, Damian menoleh. Pandangannya jatuh pada Elena yang masih berdiri di bawah pohon, mencoba berteduh seadanya. Rambut panjang bergelombangnya tampak melekat di sisi wajah karena keringat, dan tangan mungilnya tidak henti-hentinya mengibas-ngibas udara panas yang tidak kunjung reda.

Ada sesuatu yang menohok di dada Damian saat melihatnya begitu. Tanpa berpikir panjang, ia membuka pintu mobil, dan mengambil sebotol air mineral, lalu melangkah ke arahnya.

Elena mengangkat wajah begitu bayangan Damian menghampirinya. Sedikit terkejut saat botol bening itu terulur ke arahnya.

“Minumlah,” ucap Damian, suaranya dalam namun tenang.

Sejenak Elena terdiam, alisnya terangkat setengah bingung. Namun tatapan pria itu begitu tulus, membuatnya tidak kuasa menolak. Ia pun mengangguk pelan, meraih botol dari tangannya.

Segera setelah meneguk beberapa kali, kesejukan air itu seolah menyalakan kembali energinya. Bibir Elena melengkung tipis, lalu ia menatap Damian.

“Terima kasih, Om.”

Damian balas tersenyum, lalu mengangguk singkat.

“Kau dalam perjalanan ke mana dengan pakaian seperti itu?” tanya Damian, matanya sekilas meneliti setelan formal Elena yang rapi meski sudah sedikit kusut karena panas.

Elena tersenyum singkat, lalu menjawab dengan nada ringan, “Pergi wawancara dengan salah satu perusahaan tempatku melamar pekerjaan.”

Damian terdiam sesaat. Tatapannya berubah, ada rasa bersalah yang tidak bisa ia sembunyikan.

“Pergilah sekarang,” ucapnya cepat, hampir seperti perintah.

Namun Elena hanya melirik jam tangan di pergelangan kirinya, lalu menghela napas.

“Sudahlah, Om. Sudah terlambat.”

Damian menunduk sejenak, lalu menatapnya lagi, “Maafkan aku, karena menolongku, kau harus kehilangan kesempatan yang begitu berharga.” Nada suaranya terdengar tulus, ia sangat menyesali kejadian yang baru saja terjadi.

Elena menggeleng pelan, tatapannya lembut, “Tidak apa-apa, Om. Aku membantumu dengan ikhlas. Pasti ada cara lain untuk mendapatkan pekerjaan baru.”

Sejenak Damian terdiam. Lalu, dengan gerakan mantap, ia merogoh saku jas abu-abunya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah kartu nama. Ia memberikannya pada Elena.

“Ini kartu namaku. Kau boleh mengajukan lamaran ke perusahaanku.”

Elena menerimanya, matanya segera membaca tulisan yang tercetak rapi di kartu itu. Bibirnya terbuka sedikit, nyaris tidak percaya.

“Damian Evans… CEO Evans Corporation?” Tatapannya langsung terangkat, menatap Damian penuh keterkejutan.

Damian terkekeh kecil, “Kenapa? Kau terlihat seperti baru saja memenangkan lotre.”

Elena menggeleng cepat, meski wajahnya jelas masih menunjukkan rasa tidak percaya, “Tidak. Hanya saja, aku tidak menyangka orang yang kutemui hari ini ternyata seseorang yang penting.”

Damian mengangkat bahunya santai, “Tidak masalah. Aku pun tidak pernah menyangka akan bertemu seseorang sepertimu di sini.”

Elena menahan senyum, “Saat aku mencari beberapa perusahaan untuk melamar, setahuku Evans Corporation tidak membuka lowongan. Lalu ini apa maksudnya?” Ia menunjukkan kartu nama itu lagi, matanya masih ragu.

Damian berpikir sejenak, lalu tersenyum tipis, “Mungkin… ini sebagai ganti karena kau sudah menolongku.”

“Eh, tapi apakah boleh seperti itu, Om?” Elena masih tidak percaya, alisnya bertaut.

Damian terkekeh, nada suaranya tenang tapi penuh wibawa, “Aku kan bosnya. Aku berhak mengatur semuanya.”

Elena akhirnya tidak kuasa menahan senyum. Ia menunduk singkat, lalu memasukkan kartu nama itu ke dalam saku celananya dengan hati-hati, seolah benda itu lebih berharga dari sekadar selembar kertas.

“Baiklah, Om. Akan kupikirkan baik-baik.”

Damian mengangguk pelan, matanya menatap Elena lebih lama dari seharusnya, “Aku menunggu kabar baik darimu.”

“Lalu apa yang Om lakukan di tempat seperti ini?” tanya Elena, rasa ingin tahunya muncul setelah beberapa menit mereka berbicara.

Damian meliriknya sekilas, lalu menjawab tenang, “Aku sedang melakukan observasi akhir pada salah satu tanah luas di sekitar sini.”

Mulut Elena membulat kecil, matanya berbinar, “Ah… maksud Om tanah luas di ujung jalan panjang ini?”

Damian mengangguk mantap, “Ya, benar.”

Elena menoleh sebentar ke arah jalan yang ia maksud, seakan membayangkan apa yang akan terjadi, “Aku memang pernah mendengar kabar bahwa kawasan ini akan dijadikan area modern. Ternyata perusahaan Om yang menanganinya.”

“Benar,” Damian tersenyum tipis, suaranya terdengar penuh keyakinan, “Sebuah pusat perbelanjaan akan dibangun di sana. Setelah mendapat persetujuan dari penduduk sekitar, pembangunannya akan segera dimulai.”

Elena mengangguk-angguk, wajahnya menampilkan ketertarikan, “Itu ide yang bagus, Om. Tentu tidak ada yang menolak. Daerah ini memang sepi, pusat perbelanjaan bisa membawa banyak perubahan.”

“Rumahmu di sekitar sini?” Damian akhirnya bertanya, matanya menelusuri sekeliling jalan sepi itu.

Elena membalikkan badan, lalu menunjuk ke arah deretan rumah sederhana yang terpisah oleh hamparan sawah luas.

“Di sana, Om. Bangunan lantai satu warna hijau muda, yang paling kiri sendiri.”

Damian menyipitkan mata, berusaha menangkap objek kecil di kejauhan. Ia melihat samar bentuk rumah yang ditunjuk Elena, tapi tetap ada keraguan di benaknya. Wanita ini berpakaian rapi, berkelas, ditambah mobil yang ia kendarai, semua itu lebih mencerminkan kehidupan kota dibandingkan kawasan sunyi ini.

“Itu rumahku,” ucap Elena lagi, menurunkan telunjuknya.

Namun, kening Damian berkerut samar. Ada ekspresi tidak percaya yang sulit ia sembunyikan. Elena menangkap ekspresi itu, lalu menarik napas panjang, seolah sudah terbiasa dengan respon semacam ini.

“Om bukan orang pertama yang tidak percaya dengan keadaanku.”

Damian cepat-cepat menggeleng, “Aku tidak bermaksud begitu.”

“Aku jujur, Om.” Suara Elena terdengar tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya, “Itu memang rumahku. Tepatnya rumah mendiang kakekku. Setelah kakek meninggal, beberapa tanah peninggalannya aku jual, untuk biaya kuliah, dan membeli mobil itu. Supaya aku bisa lebih mudah beraktivitas di kota.”

Damian terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan, “Lalu orang tuamu?” tanyanya hati-hati.

Elena menggeleng, pandangannya kosong sesaat, “Aku bahkan tidak mengingat wajah mereka. Ibuku meninggal saat melahirkanku, sementara ayahku... entah kemana, dia pergi sejak aku masih bayi.”

Kata-kata itu membuat Damian tercekat. Tatapannya berubah sendu, penuh iba. Ia bukan pria yang mudah tergerak, namun cerita singkat itu membuat dadanya terasa berat.

Elena menyadari keheningan itu. Ia buru-buru tersenyum ceria, seolah ingin menghapus rasa kasihan yang mungkin muncul.

“Maaf, Om. Aku malah menceritakan hal seperti ini pada orang yang baru kutemui.”

Damian menatapnya dalam, lalu menggeleng perlahan, “Tidak apa. Aku turut prihatin atas apa yang menimpamu.” Suaranya rendah, tulus.

Elena tetap tersenyum, kali ini lebih lembut, “Aku sudah berdamai dengan keadaanku. Jadi, tidak ada lagi yang perlu ditangisi.”

Damian hanya bisa membalas dengan senyum tipis. Pandangannya melembut saat menatap Elena.

Suara dentingan logam terakhir terdengar, disusul Theo yang menepuk tangannya seolah membersihkan sisa debu.

“Sudah, Pak. Mobilnya bisa dipakai lagi,” ucapnya sambil berdiri tegak.

Damian menoleh, memberi anggukan singkat, “Terima kasih.”

Pria itu hanya tersenyum lalu membereskan peralatannya kembali ke pick up.

“Akhirnya selesai juga,” ucap Elena, yang diangguki Damian.

Damian pun mendekat ke arah Theo yang tengah berdiri di belakang bak pick up. Ia merogoh saku celana, mengeluarkan dompet kulit, lalu menarik beberapa lembar uang.

“Ini untuk biayanya,” ucap Damian.

Theo berhenti bergerak, menatap uang yang terulur ke arahnya. Namun sebelum ia sempat meraih, suara langkah ringan terdengar. Elena sudah mendekat dari bawah pohon, wajahnya sedikit serius.

“Tidak perlu, Om,” ucapnya cepat.

Theo refleks menarik kembali tangannya. Ia melirik Elena yang menatapnya penuh makna, semacam peringatan agar tidak menerima.

“Theo sudah kukenal sejak kecil, bahkan rumah kami bersebelahan. Tidak usah membayarnya, Om,” lanjut Elena.

Damian mengernyit sedikit, “Tidak. Dia sudah bekerja keras, aku harus mengganti keringatnya.”

“Tapi sungguh, tidak perlu, Om. Benarkan, Theo?” Elena menoleh pada Theo, matanya jelas memberi kode.

Theo terkekeh kikuk, lalu mengangguk, “I-iya, tidak perlu, Pak. Anggap saja bantuan kecil dari saya.”

Damian menatap keduanya, lalu perlahan memasukkan kembali uang itu ke dalam dompetnya. Ia tersenyum samar, tapi nada suaranya tetap hangat.

“Baiklah. Terima kasih banyak. Kalian memang orang yang sangat baik. Kalau begitu, aku harus melanjutkan pekerjaanku.”

“Iya, Om,” sahut Elena lembut.

Damian mengangguk singkat. Ia berbalik, melangkah menuju mobilnya, lalu membuka pintu sopir. Namun, sebelum masuk, ia menoleh kembali. Pandangannya jatuh pada Elena.

“Aku lupa bertanya. Siapa namamu?” tanya Damian.

Elena sempat terkejut dengan pertanyaan itu. Ia pun tersenyum kecil.

“Elena.”

“Elena?” Damian mengulang pelan, seakan ingin mengingatnya dengan benar.

Elena mengangguk, “Iya.”

Damian tersenyum hangat, “Senang mengenalmu,” ucapnya ramah, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.

Mesin kembali menyala, roda berputar pelan meninggalkan jalanan sepi itu. Elena berdiri tegak, senyum samar masih tertinggal di wajahnya saat memperhatikan mobil Damian yang semakin menjauh.

Theo menutup bak pick up dengan bunyi nyaring, lalu melirik Elena dengan wajah jengah.

“Hampir saja aku mendapat rejeki nomplok, tapi semuanya sirna begitu saja.”

Elena menoleh menatap Theo. Dari sorot matanya terlihat kalau ia sama sekali tidak terkejut dengan keluhan itu. Perlahan, ia merogoh saku kemeja dan menarik beberapa lembar uang. Ia mengulurkannya dengan santai.

“Ini untukmu. Lebih banyak dari yang dia tawarkan, kan?”

Mata Theo langsung berbinar, raut kesalnya lenyap seketika. Ia cepat-cepat meraih uang itu, menggenggamnya dengan senyum lebar.

“Kalau begini, tentu aku tidak akan kesal padamu.” Ia tertawa kecil, lalu menyelipkan uang itu ke dalam saku celananya.

Namun, sesaat kemudian Theo menatap Elena dengan ragu, “Tapi… aku tidak mengerti denganmu. Kenapa tiba-tiba kau berpakaian seperti ini? Dan lagi, kenapa tadi kau menyuruhku menabur paku di jalan ini?”

Elena menatap lurus ke arah jalan, tepat ke mobil Damian yang kini hanya tinggal titik kecil di kejauhan. Senyumnya samar, tapi ada kilatan dingin di balik matanya.

“Tentu saja untuk menjebaknya," batin Elena.

"Hei, kenapa kau malah diam?"

Elena akhirnya menoleh pada Theo, wajahnya serius, “Tidak apa. Tapi kau harus melupakan masalah ini. Kau paham?”

Theo mengangkat tangan, gerakannya seperti sedang bersumpah, “Tentu, Tuan Putri."

Elena tersenyum tipis, “Baiklah. Aku pulang dulu.”

Ia pun masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, lalu melaju perlahan meninggalkan Theo yang masih berdiri di tepi jalan.

“Permainan baru saja dimulai,” lirih Elena dengan seringaian licik, sambil memutar kemudi.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!