Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam-diam menjaga
"Dokter.... Calista sudah sembuh, sudah kuat. Kasih izin sekolah ya..." rengek Calista dengan mata berbinar, berusaha meyakinkan.
Dokter Rangga menghela napas panjang sambil melirik jam di tangannya. "Tapi janji, ya. Jangan telat, jangan terlalu lama di bawah matahari, maksimal setengah jam. Dan..." ia menoleh sebentar ke arah kedua orang tua Calista sebelum kembali menatap gadis itu. "Hindari suara pertengkaran."
Kalimat terakhir membuat Nathan dan istrinya saling pandang dengan raut bersalah.
"Siap, Dokter!" sahut Calista sambil memberi hormat kecil, membuat suasana sedikit mencair.
Senyum tipis muncul di wajah Dokter Rangga. "Baiklah, kalau begitu Calista boleh keluar hari ini. Ingat semua pesan kakak, ya."
"Iya, Kak Rangga!" Calista spontan memeluknya erat, seperti adik kecil yang manja pada kakaknya.
Nathan ikut menunduk hormat. "Terima kasih banyak, Nak Rangga. Kalau bukan kamu, kami tidak tahu harus bagaimana."
Dokter Rangga mengelus lembut punggung Calista. Suaranya tulus ketika berkata, "Calista bukan sekedar pasien bagi saya. Dia sudah seperti adik saya sendiri."
♡♡○♡♡
Di area parkiran, Xavier duduk di atas motornya dengan wajah datar. Tatapannya tak lepas dari pagar sekolah, seolah menunggu seseorang. Sesekali ia melirik jam di pergelangannya, hanya beberapa menit lagi gerbang akan tutup, tapi sosok yang ia tunggu juga belum muncul. Kata-kata 'Minum obat' terngiang di kepalanya, membuat rasa cemas diam-diam menyelinap.
"Hey, bro..." sapa Alvaro sambil mendorong motornya masuk.
"Hm," Xavier hanya berdehem, matanya tak bergeser sedikit pun dari pagar.
"Yuk masuk. Bentar lagi Bu Mawar udah di kelas," ajak Alvaro setelah turun dari motor.
"Lo duluan aja," jawab Xavier singkat.
Alvaro mengernyit, lalu mengikuti arah pandang sahabatnya. "Lo nungguin siapa?"
"Kepo lo," ketus Xavier, tapi sesaat kemudian ia berdiri. Tatapannya berubah ketika melihat Calista baru saja melewati gerbang sekolah. Tanpa banyak bicara, ia melangkah menghampirinya.
Alvaro hanya bisa menatap punggung Xavier dengan mata membulat tak percaya. Perlahan senyum miring tersinggung di bibirnya. "Jangan-jangan..." gumamnya, seolah sudah menangkap sesuatu. Ia pun melangkah santai menuju kelas, meninggalkan area parkiran.
♡♡
"Hay, Vier," sapa Calista dengan senyum ramah.
Xavier hanya menoleh sekilas lalu mengangguk kecil. Pandangannya sempat terhenti pada sosok wanita yang berdiri di luar pagar—Mama Calista, yang tersenyum ke arahnya. Ia menundukkan kepala sedikit, memberi hormat singkat.
"Lo di antar mama lo?" tanyanya datar.
Calista mengangguk. "Iya. Oh iya, kamu lagi nungguin siapa?" tanyanya polos.
Xavier mendesah pelan, menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. Ia tak mungkin bilang kalau sejak tadi ia menunggu dirinya. "Kepo lo. Yuk ke kelas, bentar lagi masuk," ucapnya, melangkah lebih dulu dengan langkah lambat agar Calista bisa mengimbangi.
Calista menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bingung dengan sikap Xavier, tapi akhirnya tetap mengikuti irama langkahnya.
♡♡
Di dalam kelas, suasana seperti biasa, riuh rendah murid-murid yang menunggu guru masuk.
"Hay, Calista..." sapa Alvaro dengan senyum tengil khasnya.
"Hay, Al..." balas Calista sambil tersenyum, lalu duduk di bangkunya.
Alvaro tanpa sungkan duduk di meja depan Calista. "Lo kenapa gak masuk sekolah kemarin?" tanyanya kepo.
Xavier yang melihatnya dari samping, hanya menatap tajam, jelas tak suka. Tapi Alvaro pura-pura tak peduli.
"Aku keluar kota," jawab Calista singkat.
Alvaro mendekat sedikit dan menurunkan suaranya. "Lo tau gak? Waktu lo nggak datang kemarin... ada yang uring-uringan nyariin lo." senyumnya lebar, penuh godaan.
Calista mengerutkan kening. "Siapa, Al?"
"ALVARO!" Suara Xavier terdengar dingin, membuat suasana seketika menegang.
Alvaro mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Calista, kita lanjut nanti, ya," bisik cepat sebelum kembali ke bangkunya, meninggalkan Calista dengan tanda tanya besar.
"Aneh..." gumam Calista sambil menggelengkan kepala.
"Udah, nggak usah dipikirin," ujar Xavier datar.
"Baiklah..." Calista mengangguk patuh, meski rasa penasarannya masih tersisa.
♡♡○♡♡
Jam istirahat tiba, kantin dipenuhi siswa yang riuh berebut tempat duduk. Calista masih duduk di bangkunya di kelas, sibuk menuliskan catatan. Perutnya sebenarnya lapar, tapi ia tahu dirinya harus berhati-hati soal makanan.
Tak lama kemudian, pintu kelas berderit terbuka. Xavier masuk, membawa sebuah kotak makan sederhana. Tanpa bicara banyak, ia menaruh kotak itu di meja Calista.
Calista terkejut. "Ini... untuk aku?" tanyanya ragu.
"Kalau bukan buat lo, buat siapa lagi?" jawab Xavier datar sambil melipat tangan di dada.
Calista membuka kotak itu perlahan, terlihat sayuran segar, potongan buah, dan ayam rebus dengan bumbu ringan. Matanya berbinar. "Xavier... kamu sengaja bikin ini?"
"Jangan geer. Gue cuman kebetulan lewat dapur tadi," ucap Xavier dengan wajah datar, jelas berbohong.
Calista menatapnya lama, lalu tersenyum hangat. "Kamu ini ya, pura-pura cuek tapi perhatian banget."
Xavier mengalihkan pandangan ke jendela, berdehem seolah tak nyaman. "Makan saja, jangan banyak bicara. Lo perlu tenaga."
Calista mengambil sendok, lalu mulai menyantap makanan itu dengan lahap. "Hmm... enak banget. Terima kasih, Xavier."
Xavier menoleh sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis. "Kalau sampai sakit lagi, repot."
Di balik kata-kata singkatnya, Calista bisa merasakan ketulusan. Jarak di antara mereka perlahan makin memudar, digantikan dengan yang lebih hangat.
♡♡
Langit sore mendadak mendung. Benar saja, hujan turun deras saat jam pulang sekolah. Para murid berlarian, berebut berteduh. Calista berdiri di dekat gerbang, menggenggam buku pelajaran yang sudah ia jadikan pelindung seadanya. "Payungku... ketinggalan," gumamnya pelan.
Dari kejauhan, Xavier sudah memperhatikan. Dengan langkah santai, ia membuka payung hitam besar miliknya, lalu berdiri di samping Calista tanpa berkata apa-apa.
Calista mendongak, terkejut. "Xavier?"
"Diam saja, nanti basah," ucap Xavier singkat, tanpa menatapnya. Ia menggeser payung agar menutupi Calista lebih banyak daripada dirinya sendiri.
"Tapi... baju kamu malah kena hujan," ujar Calista merasa tak enak.
"Bukan masalah." Xavier tetap melangkah, menuntunnya melewati gerbang sekolah. Sesaat hening, hanya suara hujan yang terdengar. Calista menatap lelaki itu dari samping, bibirnya tersenyum samar. Ada sesuatu yang hangat di balik sikap dingin Xavier.
"Terima kasih, Xavier," ucap Calista tulus.
Xavier berhenti sejenak, menoleh sekilas dengan tatapan dingin yang sulit ditebak. "Jangan salah paham. Gue cuman nggak suka lihat orang bodoh kehujanan."
Calista terkekeh kecil, "Iya deh, alasan klasik."
Xavier berpura-pura tidak mendengar, tapi ujung bibirnya sedikit terangkat, sebuah senyum yang jarang sekali ia tunjukkan.
Begitu melewati gerbang sekolah, sebuah taksi kebetulan berhenti karena melihat banyak murid yang berteduh.
"Calista," panggil Xavier singkat sambil menatap mobil itu.
"Hm?"
"Naik. Gue tungguin sampai lo berangkat."
Calista sempat ragu. "Kamu nggak pulang bareng? Payung kamu kan masih ada..."
Xavier menggeleng. "Rumah gue dekat. Lo duluan aja."
Dengan sedikit kikuk, Calista membuka pintu taksi. Sebelum masuk, ia menoleh lagi, menatap Xavier yang berdiri tegak di bawah hujan. Payung hitamnya condong ke arah Calista, memastikan gadis itu tak kehujanan sedikit pun.
"Xavier..." panggilnya pelan.
Xavier hanya mengangkat dagu tipis, tanda menyuruh cepat masuk.
Calista pun duduk di kursi belakang. Jendela sempat diturunkannya, membuat udara dingin hujan masuk. "Terima kasih banyak. Hati-hati pulang, ya."
Xavier menunduk sedikit, menatapnya dari balik rintik hujan. "Jangan sering-sering lupa payung."
Sopir mulai melajukan taksi. Dari kaca jendela yang basah, Calista melihat sosok Xavier semakin menjauh, berdiri sendirian dengan payung hitam, wajahnya tetap datar tapi ada sesuatu di sana yang membuat dada Calista terasa hangat.
Ia menyandarkan kepala ke kursi, bibirnya membentuk senyum kecil. "Xavier... ternyata kamu nggak sedingin yang aku kira."