NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 – Suara dari Dinding Bambu

Malam di Dusun Koto Lamo selalu datang lebih cepat dari yang seharusnya. Matahari seolah segan menyinari lembah hijau ini terlalu lama, seakan tahu bahwa kegelapan menyukai tempat ini lebih daripada cahaya.

Rumah-rumah panggung berdiri di antara pohon-pohon rambutan, durian, dan bambu yang menjulang tinggi. Jalan tanah membelah dusun seperti urat nadi tua, penuh dengan batu kecil dan genangan lumpur sisa hujan siang tadi. Tak banyak suara manusia malam-malam begini. Yang terdengar hanya angin mendesir lewat celah dinding bambu, suara kodok dari pematang sawah, dan… lolongan anjing yang bersahut-sahutan dari kejauhan.

Di tengah desa, di rumah panggung yang sudah miring tiangnya, Mak Leni duduk sendirian di dekat tungku yang mengeluarkan asap tipis. Di wajah keriputnya, sorot mata tajam menyiratkan lebih dari sekadar kebijaksanaan—ada sesuatu yang kelam. Ia mengenakan kebaya hitam lusuh dan kain batik yang sudah memudar warnanya.

Di pangkuannya, sebuah mangkuk tanah liat berisi air rebusan akar dan daun-daunan, mengepul pelan-pelan.

Tiba-tiba—Tok. Tok. Tok.

Suara itu datang dari balik dinding, dari arah ruangan belakang rumah. Tiga ketukan pelan namun jelas. Tak ada ekspresi terkejut dari wajah Mak Leni. Ia hanya menoleh perlahan ke arah suara dan tersenyum kecut.

“Kau datang juga malam ini, ya?” bisiknya, nyaris tanpa suara.

Ia berdiri, kakinya gemetar sedikit karena usia. Tapi langkahnya tetap stabil. Ia mengambil mangkuk tadi, lalu berjalan menyusuri lorong kayu yang sempit menuju ruangan kecil tanpa lampu di bagian belakang rumah.

Dinding kayu di ruangan itu sudah mulai lapuk. Di satu sisi, ada lubang sebesar kepalan tangan yang ditutupi dengan kain hitam.

Mak Leni jongkok di depan lubang itu. Ia letakkan mangkuk di tanah, dan dengan satu gerakan lambat, ia menarik kain penutupnya.

Hening.

Gelap.

Tak ada yang muncul dari balik lubang itu. Tapi Mak Leni tetap berbicara.

“Ini airnya… dari daun sirih tujuh tangkai, akar meranti, dan darah ayam hitam. Seperti yang kau minta.”

Angin mendesis dari arah lubang. Dan bersamaan dengan itu, sesuatu… muncul dari balik bayangan.

Sebuah kepala.

Rambut panjang menjuntai, matanya putih seluruhnya, dan wajahnya pucat kehijauan. Tanpa tubuh. Hanya kepala. Dan dari bagian bawah dagunya, menjulur keluar usus dan organ dalam yang menggantung berlendir.

Mak Leni tak bergeming. Matanya hanya menatap lurus, tanpa rasa takut.

“Kau belum kenyang, ya?” tanyanya pelan.

Kepala itu menggerakkan bibirnya, meski tanpa suara. Kemudian, ia menyedot isi mangkuk itu dalam sekali isapan.

Suara itu… seperti cairan ditarik paksa lewat jerami panjang.

Setelah itu, kepala tersebut mundur perlahan ke balik lubang. Gelap kembali.

Mak Leni menutup lubangnya. Ia berdiri, menghela napas panjang.

“Kau jangan ganggu yang tak bersalah. Aku masih menepati bagian perjanjianku…”

Sementara itu, jauh di ujung dusun, sebuah mobil tua berdebu berhenti di depan rumah panggung lainnya. Lampunya mati perlahan, dan seorang pria muda keluar dengan ransel besar di pundak.

Reno Pratama, 26 tahun, mengenakan jaket abu-abu dan sepatu trekking. Wajahnya lelah tapi tetap tenang. Ini pertama kalinya ia pulang ke dusun sejak tujuh tahun lalu.

“Dusun ini... masih sama baunya,” gumamnya pelan.

Ia menatap rumah di depannya—warisan orang tuanya. Kayu-kayu dindingnya sudah banyak yang lapuk, catnya mengelupas, dan rumput tinggi menjalar di bawah kolong rumah. Tapi masih kokoh berdiri. Masih menyimpan terlalu banyak kenangan.

Reno naik ke tangga kayu dan membuka pintu dengan kunci lama yang ia simpan dari dulu. Saat pintu itu terbuka, bau lembab dan kayu tua langsung menyergapnya.

Semua barang masih di tempatnya. Foto keluarga di dinding masih tergantung, meski sudah miring. Kursi rotan tua di sudut ruang tamu masih ada, dengan bantal yang sudah kusam.

Ia menyalakan lampu minyak karena listrik desa hanya menyala separuh waktu. Ruangan itu menjadi redup kekuningan, bayangan menari-nari di dinding.

Reno duduk dan membuka botol air. Baru saja hendak meneguk, ia mendengar suara—“Tep… tep… tep…”

Seperti air menetes.

Ia menoleh ke dapur.

“Tetesan dari keran?” pikirnya.

Ia berdiri dan berjalan perlahan menuju sumber suara. Tapi saat ia sampai di dapur, semua kering. Tak ada genangan. Keran tertutup rapat.

Lalu suara itu terdengar lagi. Kali ini… dari atap rumah.

Tep… tep… tep…

Reno menengadah. Tak ada apa-apa. Tapi suara itu kini terasa lebih berat, seperti… darah menetes dari langit-langit.

Ia menelan ludah. Nalurinya sebagai orang kota mengatakan, “Periksa.” Tapi sesuatu dalam dirinya berbisik, “Jangan.”

Perlahan ia melangkah keluar dari rumah, menyorotkan senter ke kolong rumah, ke pohon rambutan di samping, dan ke langit.

Kosong.

Namun… saat ia menyorot ke arah pohon mangga besar di belakang rumah—ia melihatnya.

Sesuatu menggantung di dahan tertinggi.

Sebuah kepala. Dengan rambut panjang, wajah pucat, dan—benar—usus bergelantungan seperti tali menggantung.

Mata kepala itu terbuka… dan menatap langsung ke arah Reno.

Jantungnya seperti berhenti berdetak. Ia tak bisa bergerak. Tak bisa berteriak. Hanya berdiri, terpaku, menatap sosok itu yang perlahan… terbang turun dari pohon.

Reno mundur selangkah. Dua. Tiga. Lalu berbalik dan berlari masuk rumah.

Pintu ia tutup keras-keras. Ia bersembunyi di balik dinding, napas memburu, tangan gemetar hebat.

“Gila… apa itu tadi… Astaga…”

Di luar, angin menderu. Genting rumah bergetar. Dan suara lolongan anjing semakin keras.

Malam pertama Reno di Koto Lamo, baru saja dimulai.

Dan ia belum tahu… bahwa itu hanya permulaan dari segalanya.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!