"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Maya kembali ke rumahnya sore itu, perasaannya campur aduk. Rasa malu dan bersalah karena tertangkap basah oleh Bi Sumi menghantuinya. Tapi di balik itu, ada sebuah gelombang panas yang terus membakar di dalam dirinya, dipicu oleh cluman Arya dan dekapan terlarang di gudang. Ia tahu, ia sudah melewati batas yang seharusnya tidak boleh ia sentuh.
Ia mencoba bersikap normal di depan Tama.
Membuatkan makan malam, bertanya tentang pekerjaannya. Namun, setiap kali Tama berbicara, Maya merasa ada jurang yang semakin lebar di antara mereka. Tama sibuk dengan ponselnya, sesekali melirik berita motor atau video konyol. Pertanyaan-pertanyaan Maya dijawab seadanya. Tidak ada tatapan dalam, tidak ada pujian, tidak ada sentuhan yang memabukkan seperti yang ia dapatkan dari Arya.
Malam itu, di ranjang, Maya menatap langit-langit. Tama sudah terlelap di sampingnya, dengkurannya mengisi kamar. Maya meraih ponselnya. Jemarinya ragu, tapi hatinya mendorongnya. Ia membuka kontak, mencari nama "Tuan Arya".
Ia menatap nomor itu. Otaknya berteriak, "Jangan!" Tapi hatinya membisikkan, "Lakukan." Rasa penasaran dan gair4h yang membara akhirnya menang. Ia mengetik sebuah pesan singkat.
Maya: "Tuan, maaf mengganggu. Saya hanya ingin memastikan... apakah Bi Sumi baik-baik saja?"
Ia meletakkan ponselnya, jantungnya berdebar
kencang. Ini adalah alasan paling masuk akal yang bisa ia pikirkan, setelah insiden di gudang tadi.
Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar. Sebuah balasan dari Arya.
Arya: "Mbak Maya? Tumben sekali Anda mengirim pesan di malam hari. Ada apa? Anda baik-baik saja?"
Maya membaca pesan itu. Ada nada khawatir di sana,
sebuah perhatian yang Tama jarang berikan. Rasa bersalah itu kembali menusuk, tapi di saat yang sama, ada rasa senang yang aneh. Arya peduli.
Maya: "Iya, Tuan. Saya baik-baik saja. Hanya khawatir dengan Bi Sumi. Tadi dia terlihat sedikit terkejut."
Arya: "Oh, soal itu. Dia baik-baik saja. Saya sudah bicara dengannya. Dia tidak akan bicara apa-apa."
Jantung Maya berdesir. Arya sudah mengurusnya. Ia merasa sedikit lega, namun juga takut. Arya benar-benar serius dengan semua ini.
Maya: "Syukurlah kalau begitu, Tuan. Terima kasih."
Arya: "Jangan sungkan untuk mengirim pesan jika ada hal lain, Mbak Maya. Apa pun itu. Saya selalu ada."
Pesan itu seperti sengatan listrik. "Saya selalu ada."
Sebuah janji yang terlalu manis untuk diabaikan. Maya menatap Tama yang terlelap di sampingnya. Ia merasa seperti seorang pengkhianat. Namun, janji Arya, perhatian Arya, terasa begitu nyata, begitu mengisi kekosongan yang ia rasakan.
Maya: "Baik, Tuan. Terima kasih."
Maya tidak membalas lagi. Ia mematikan ponselnya, meletakkannya di samping bantal. Ia tahu, ia baru saja membuka pintu ke arah yang lebih dalam dan gelap. Konflik batinnya semakin berkecamuk. Antara kesetiaan pada pernikahan yang terasa hambar, dan tarikan godaan Arya yang menawarkan sensasi baru, sensasi diinginkan, dan sensasi hidup.
***
Keesokan paginya, Maya tiba di rumah Arya dengan perasaan campur aduk. Ia mencoba bersikap biasa saja. Bi Sumi menyambutnya seperti biasa, namun ada sedikit kecanggungan yang samar di antara mereka. Bi Sumi memang tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapan matanya seolah tahu.
Arya tidak terlihat pagi itu. Bi Sumi mengatakan bahwa Arya sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Maya merasa sedikit lega, namun juga ada perasaan kecewa yang samar.
Sepanjang hari, Maya mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus melayang pada Arya. Apa yang ia rasakan saat Arya menciumnya? Sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan itu membuatnya takut, sekaligus penasaran.
Sore harinya, saat Maya sedang membersihkan ruang tamu, ia mendengar suara mobil Arya. Jantungnya langsung berdebar. Ia bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Ia ingin segera pulang. Ia takut menghadapi Arya.
Namun, Arya muncul di ruang tamu sebelum Maya sempat pergi. Ia mengenakan setelan jas bisnis, terlihat rapi dan berwibawa. Wajahnya terlihat lelah, namun matanya tetap tajam.
"Mbak Maya, belum pulang?" sapanya, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Belum, Tuan. Sedikit lagi," jawab Maya, berusaha agar suaranya tetap normal.
Arya mengangguk. Ia melepas jasnya, lalu meletakkannya di sofa. "Saya punya permintaan."
Jantung Maya mencelos. Permintaan apa lagi?
"Saya butuh bantuan Anda," kata Arya, ia melangkah mendekat ke arah meja kopi. "Saya butuh Anda mencari beberapa dokumen penting di laci meja kerja saya. Saya lupa meletakkannya di mana."
Maya menelan ludah. Ini lagi. Alasan lain untuk menciptakan kedekatan. "Baik, Tuan."
"Saya akan ada di sana. Jadi, kalau Anda butuh bantuan, atau ada yang perlu ditanyakan, jangan sungkan,"
Kata Arya, tatapannya penuh arti. Sebuah godaan terselubung.
Maya mengangguk. Ia melangkah menuju ruang kerja Arya. Pria itu mengikutinya dari belakang.
Di ruang kerja, Arya duduk di kursinya, pura-pura sibuk dengan laptopnya. Maya berlutut di depan laci meja, mulai mencari dokumen yang dimaksud. Aroma Arya, perpaduan parfum dan aroma maskulinnya, begitu kuat di ruangan itu.
"Yang mana ya, Tuan?" tanya Maya, berusaha fokus.
"Ada di laci paling bawah. Mungkin terselip di belakang," jawab Arya, tanpa mendongak dari laptopnya. Namun, Maya bisa merasakan tatapan Arya padanya.
Maya membungkuk, memasukkan tangannya ke dalam laci. Ia harus sedikit merangkak untuk bisa menjangkau bagian belakang laci. Posisi itu membuat tubuhnya sedikit terangkat, dan ia tahu, lekuk tubuhnya terlihat jelas dari posisi Arya.
Ia merasakan Arya beranjak dari kursinya. Langkah kakinya mendekat. Jantung Maya berdebar kencang. Ia tahu apa yang akan terjadi.
"Butuh bantuan, Mbak Maya?" suara Arya terdengar dekat, tepat di belakangnya.
"Tidak, Tuan. Saya rasa ini dia," Maya cepat-cepat menarik sebuah map dari laci. Ia menegakkan tubuh, berbalik menghadap Arya.
Namun, Arya sudah berdiri sangat dekat di depannya. Terlalu dekat. Tubuh mereka nyaris bersentuhan. Arya tidak segera mengambil map itu. Matanya menatap Maya dalam, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.
"Itu memang yang saya cari," kata Arya, suaranya rendah dan serak. Ia tidak segera meraih map itu dari tangan Maya. Ia justru membiarkan tangannya menyentuh tangan Maya yang memegang map. Jemarinya mengusap lembut punggung tangan Maya.
Maya menahan napas. Sensasi itu. Sebuah sengatan listrik yang menyenangkan, namun mematikan. Ia merasakan bibirnya sedikit bergetar.
"Anda memang yang terbaik, Mbak Maya," bisik Arya, matanya menelusuri wajah Maya, berhenti di bibirnya.
Maya merasakan pipinya memanas. Ia tidak bisa bergerak. Ia terperangkap dalam tatapan Arya, dalam sentuhan Arya, dalam keharuman Arya. Konflik batinnya memuncak. Ia merindukan sensasi ini, sensasi diinginkan, sensasi gair4h yang lama hilang dalam pernikahannya.
Tapi ia tahu ini salah.
"Tuan..." Maya mencoba berbicara.
Arya tidak memberi kesempatan. Ia mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Maya. Matanya menatap bibir Maya. Sebuah senyum misterius terukir di bibirnya.
"Mbak Maya," bisik Arya, suaranya begitu lembut, begitu mendesak. "Saya tidak bisa berhenti memikirkan Anda."
Pengakuan itu menghantam Maya seperti gelombang tsunami. Ia memejamkan mata. Sebuah h4srat yang selama ini ia coba pendam, kini membara begitu kuat. Ia tahu ia tidak bisa lagi berpura-pura. Arya menginginkannya. Dan ia... ia juga menginginkan Arya.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya