Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengundurkan diri
Seketika jantungnya serasa di remas, Rania memejamkan mata menghela napas mencoba menenangkan hati. Dad4nya terasa sesak, seolah benda besar menindihnya.
Ternyata ibuk mertuanya bergerak lebih cepat dari dugaan—dia bahkan sudah lebih dulu menunjuk pengacara untuk menyelesaikan perceraian Rania dengan putranya.
Raniapun tersenyum, senyum getir yang menyayat dengan mata berkaca-kaca— tak lama bibirnya gemetar menahan tangis yang nyaris pecah.
Arcelia heran, lalu menyodorkan tangannya, “dokumen apa itu?”
Rania menyerahkannya cepat, bulir bening meleleh begitu saja. Ia sendiri bingung—ingin bercerai dengan Garren, namun ternyata rasa nya sama saja sesakit itu. Seketika kenangan indah saat bersama suaminya berdatangan di pikirannya membuat napasnya terasa semakin sesak.
Rania tahu, Suaminya tak pernah berhenti mencintainya. Tapi ia juga merasa, suaminya tak pernah ada untuknya, ia selalu merasa sendirian—tak pernah di dengarkan. Bagi Garren semua urusan akan selesai dengan uang, sedangkan Rania butuh sosok yang berdiri benar-benar untuknya.
Mata Arcelia membelalak, lalu beralih pada wajah Rania yang basah. Dengan cepat ia bangkit, dan memeluk modelnya ini.
“Kau benar-benar sudah yakin?” bisiknya parau. “Ini bukan kau yang buat kan?”
Rania mengangguk, lalu menyeka air matanya—isaknya terdengar perih.
“Bagaimana jika mereka mengeluarkanmu dari agency ini?”
Rania menggeleng, ia sendiri tidak tahu akan seperti apa kehidupannya kedepan. Semua nya hancur begitu saja, tak bisa di perbaiki lagi—seolah semua luka sudah menolak untuk di tahan berontak.
Masih segar di ingatannya, saat ia dan Garren meminta restu pada orang tuanya, namun ayahnya yang seorang polisi dengan lantang menolak keras pernikahan mereka.
Ayah dan Garren sempat saling menatap, membuat Rania curiga. Bahkan Garren berlutut di hadapan ayahnya—namun ia masih sangat muda dan di butakan cinta pada saat itu. Di tambah ibuk yang langsung setuju, membuat Rania bingung mengikuti ayah atau ibuknya.
Tepat saat Rania menikah, ayah dan ibuknya bercerai. Ayah memilih keluar dari rumah, entah apa yang ia sembunyikan.
Rania terdiam, tiba-tiba hatinya sangat merindukan ayah. Sosok yang selalu bersedia mendengarkannya.
Di tengah suasana haru saling menguatkan, Maya datang terengah. Matanya melotot kaget, melihat atasan dan modelnya saling berpelukan—menangis.
“Jadi kalian sudah mendengarnya?” Maya mematung di depan pintu.
“Medengar apa?” Arcelia segera berdiri, dan menyeka air mata.
“Orang-orang kepegawaian sudah mengeluarkan surat pemutusan kerja sama dengan…” Maya terdiam sejenak—melirik Rania, merasa tidak enak.
“Dengan nona Rania…” jawabnya ragu.
Rania menelan ludah getir, jantungnya seolah di remas. Ia paham, ibuk mertuanya itu tak akan segan menendangnya ke jalanan setelah ia tidak bisa di hina lagi.
Tiba-tiba tawa Rania pecah, renyah—seperti seseorang sedang menggelitikinya. Namun pipinya masih basah, tentu saja.
Arcelia dan Maya saling menatap. Raniapun bangkit, lalu duduk di meja kerjanya. Jemarinya menari cepat di atas keyboard.
“Apa yang kau lakukan?” Arcelia berjalan mendekat.
“Perceraian ini, aku yang menginginkannya. Begitu juga pekejaan—aku tidak pernah di pecat. Aku yang mengundurkan diri,” jawab Rania tegas. Seolah ingin memberi tahu, jika hargadirinya tak bisa di remehkan.
Arcelia dan Maya kembali saling menatap, namun hatinya ikut tersayat melihat Rania yang memaksa diri tetap terliat kuat— di tengah badai yang tak henti menerjangnya.
Tak sampai sepuluh menit, surat pengunduran diri itu selesai. Arcelia menandatanganinya, dengan berat hati.
“Aku akan mencarikanmu, Agency lain…” ucapnya getir.
“Tolong berikan ini, pada bagian kepegawaian.”
Rania menyodorkan sura itu, Maya pun dengan cepat membawanya. Sebelum surat pemecatan itu yang sampai, surat Rania harus lebih dulu di ketahui seluruh manajemen.
Rania beranjak dengan senyum kecil yang menyayat, ia meraih tas dan merapikan semua barang-barangnya di dalam satu kotak.
“Aku harus pergi. Terimakasih atas semuanya selama ini…” pamit Rania.
Arcelia kembali menangis dan memeluknya. “Jangan ganti nomor! Aku akan membantumu mencari Agency yang lebih bagus dari Luxford!” desaknya menyeka air mata.
Rania mengangguk, menepuk pelan punggung Arcelia.
Tak lama Maya kembali datang, “Aku sudah menyerahkannya… mereka bilang masih akan di proses,” ucapnya dengan raut geram.
“Ini berat, biar aku yang bawa.” Maya merebut kotak berisi barang-barang pribadi Rania dari tangannya.
“Aku akan merindukanmu Maya,” Rania menepuk Pundak maya, lalu berjalan keluar ruangan.
Tepat di lobi yang sedang ramai, Rania berpapasan dengan Sierra. Tatapan keduanya bertemu, meski jauh namun aura ingin saling menghancurkan mulai terasa.
Maya segera mendekat, “Wanita ini pengganti pak Junho…” bisiknya pelan di kuping Rania, sambil menjinjit.
“Oh!” sahut Rania menatapnya dingin.
Lalu dengan sengaja Sierra mengadu bahunya dengan bahu Rania.
“Aww! Sorry…” jeritnya lembut, terlalu lembut hingga membuat Rania mual. Semua orang yang ada di sana sontak melirik.
Sierra mengelus pundak Rania dengan hati-hati, senyumnya lebar di setting agar terlihat sangat tulus—mengambil perhatian para karyawan.
“Masih punya muka? Masih berani datang ke sini?” bisiknya pelan, dengan nada ejekan.
*
Terima kasih sudah membaca novel ini, temukan kejutan lain di bab selanjtnya. Setiap komentar, like, bintang dan Vote dari kamu, adalah sesuatu yang sangat berharga bagi author. Memberi semangat untuk terus menulis, memberi cahaya agar cerita ini sampai ke hati lebih banyak orang.
Jangan lupa Follow ya! Dan baca juga novel author yang berjudul: Istri ke-101 ( Sudah tamat)
Terimakasih & salam hangat.
Penulis yang selalu bersyukur karena ada kalian. Dukung terus karyaku ya kesayangan…
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu