Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 1
Hujan baru saja reda ketika Aruna berdiri di beranda, menatap hamparan kebun yang hijau, basah oleh sisa gerimis. Butiran air masih menetes dari ujung daun, jatuh satu per satu ke tanah yang gembur.
Angin berembus lembut, mengibaskan rambut panjangnya yang mulai memutih di beberapa helai. Di kejauhan, suara burung-burung kembali ramai, seolah merayakan berakhirnya badai.
Namun, di dalam hati Aruna, badai itu belum pernah benar-benar pergi.
Bagas, suaminya, selalu pergi lebih lama dari yang dijanjikan. Dari satu rimba ke rimba lain, dari lembah tersembunyi hingga puncak gunung berkabut, memburu cahaya matahari yang terbenam di antara pepohonan, membekukan keindahan liar dalam jepretan kameranya. Tapi, di balik setiap foto yang ia kirimkan melalui email, tak ada sepatah kata hangat yang menyertai.
"Apakah kau masih ingat bagaimana caranya pulang, Bagas?" bisik Aruna, lebih pada dirinya sendiri. Kalimat itu lenyap disapu angin, sama seperti kehangatan pernikahan mereka.
Aruna menarik napas dalam-dalam, aroma tanah basah dan dedaunan segar meresap ke dalam dadanya. Inilah duniaku, pikirnya, kebun yang subur namun sunyi. Tempat di mana ia belajar merawat sesuatu yang tumbuh kecuali cinta dalam pernikahannya.
Dan di tengah keheningan itu, sebuah ketukan pintu menggema. Aruna berbalik, melihat seorang pria muda berdiri di depan pagar kayu. Raka, peneliti tanaman yang dijanjikan datang hari ini.
"Selamat pagi, Ibu Aruna?" sapa pria itu, suaranya tenang. "Saya Raka. Ini CV saya, Ibu. Saya diminta oleh Pak Sugeng untuk membantu meneliti kerusakan tanaman sayuran di perkebunan Ibu."
Aruna menerima CV itu. Raka, Sarjana Pertanian, lulus lima tahun lalu. Masih single. Bekerja sebagai peneliti tanaman. Dan Sugeng sahabat lama Aruna, ahli pertanian yang sering membantunya.
"Terima kasih sudah datang, Raka. Silakan masuk," ucap Aruna, mencoba menyembunyikan debaran halus di dadanya.
Raka tersenyum lagi, berjalan masuk. Ada ketenangan dalam caranya melangkah, sikapnya yang sopan, dan tatapan mata yang penuh perhatian saat mendengarkan. Aruna memperhatikan, mencoba menyangkal kekaguman yang perlahan tumbuh di hatinya.
Raka mulai menjelaskan rencana penelitiannya, tangannya yang cekatan menunjukkan grafik dan data yang ia bawa. Aruna mendengarkan, namun sebagian hatinya tersesat, terpikat pada sosok muda yang penuh semangat itu. Ketika sesekali Raka menoleh dan tersenyum, Aruna merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Kata Pak Sugeng, Ibu juga lulusan Pertanian, Ibu Aruna dari universitas mana, jika boleh tahu?" tanya Raka sambil memeriksa tanaman.
"Universitas yang sama denganmu," jawab Aruna sambil tersenyum.
"Wah, angkatan berapa, Bu?" Raka penasaran.
Aruna tersenyum lebih lebar. "Ah, jangan ditanya. Dari penampilanku yang sekarang, kau pasti sudah tahu aku angkatan jadul."
Raka terkekeh. "Jangan bercanda, Bu. Ibu masih terlihat muda, kok. Saya bahkan tidak menyangka..."
Kalimat sederhana itu membuat Aruna tersanjung. Ada sesuatu dalam nada suara Raka, dalam tatapannya, yang membuatnya merasa dilihat bukan sebagai istri yang ditinggal suami, tapi sebagai wanita.
Getaran halus mulai terasa di dada Aruna. Perasaan yang sudah lama terkubur. Selama ini, ia hanya tahu kesepian, merawat kebun, dan sesekali menyalurkan hasratnya yang tak tersalurkan dengan suaminya melalui caranya sendiri mast****si dalam sunyi.
Namun kini, kehadiran Raka seolah membangkitkan gairah yang telah lama mati.
"Kalau hujan sudah reda, bolehkah Ibu menunjukkan perkebunan sayur yang akan saya teliti?" tanya Raka.
Aruna mengangguk. "Tentu. Tapi kita harus naik mobil. Kebunnya cukup jauh, sekitar tiga kilometer dari sini."
Mereka pun naik ke mobil jeep milik Raka. Sepanjang perjalanan, Raka mengira hamparan hijau dekat rumah Aruna adalah kebun yang akan mereka kunjungi.
"Itu masih kebun saya," jelas Aruna sambil tersenyum. "Tapi khusus tanaman hias dan pohon buah. Tidak seluas yang akan kita lihat sekarang."
Raka mengangguk kagum. "Jadi ada dua kebun? Luar biasa."
"Kebun Yang dekat rumah ini lebih kecil. Yang akan kita kunjungi adalah perkebunan sayur, sumber utama pendapatan saya. Beberapa hektar luasnya," jelas Aruna dengan nada bangga.
Raka mendengarkan penuh perhatian. Sesekali, ia menatap Aruna dan tersenyum, membuat jantung wanita itu kembali berdegup lebih cepat.
Sampailah mereka di perkebunan, sebuah hamparan luas di dekat lereng bukit nan hijau. Pohon-pohon tinggi berjajar di tepian, melindungi kebun dari angin kencang. Teras-teras hijau berjenjang membentang, dipenuhi aneka sayuran yang segar kol yang merekah, cabai merah menyala, dan daun-daun selada yang hijau segar berkilauan oleh sisa embun.
Aliran sungai kecil meliuk di tepi kebun, suaranya gemericik menenangkan. Burung-burung kecil beterbangan di atas, berkicau riang seolah menyambut mereka. Udara segar menyeruak, bercampur aroma tanah basah dan dedaunan. Matahari yang mulai mengintip dari balik awan memancarkan cahaya keemasan, menambah keindahan pemandangan itu.
Raka melangkah keluar dari jeep dengan mata berbinar. "Luar biasa, Bu Aruna. Tempat ini seperti surga kecil. Saya tidak sabar untuk mulai bekerja di sini."
Aruna tersenyum, hatinya terasa hangat melihat antusiasme Raka. Ada rasa bangga yang menjalar, namun juga sesuatu yang lain getaran halus yang sudah lama ia rindukan.
"Semoga kau betah," ucap Aruna, matanya tak lepas dari sosok muda itu. Ia melihat bagaimana Raka memeriksa tanaman, sesekali menyentuh daun, mencium aromanya. Begitu bersemangat.
Aruna menarik napas dalam-dalam. Inilah yang ia butuhkan bukan sekadar perawat tanaman, tapi juga perasaan yang mulai tumbuh dalam sunyi hatinya. Raka tak hanya membawa harapan bagi kebun ini, tapi juga pada gairahnya yang lama terkubur.
Hasrat yang dulu hanya ia redakan dalam kesunyian kamarnya, kini mulai bergejolak setiap kali Raka tersenyum kepadanya.
Raka menoleh ke Aruna. "Tapi, Bu Aruna, dari yang saya lihat, tanaman sayuran di sini tampak segar dan sehat. Sebenarnya, apa keluhan yang terjadi?"
Aruna mengangguk, menunjuk ke arah sektor C, sedikit lebih jauh dari tempat mereka berdiri. "Masalahnya ada di sektor C. Di sana, daun-daun sayur mulai menguning dan mengering di tepinya. Beberapa tanaman bahkan layu sebelum mencapai masa panen."
Raka mendengarkan dengan serius. "Apakah sudah mencoba pestisida atau pupuk tertentu?"
"Sudah. Kami bahkan mengganti pupuk organik, menambah pengairan, tapi masalah tetap ada. Kadang, ada bercak hitam pada daun yang menyebar dengan cepat, dan bagian akarnya juga ada yang busuk."
Raka mengangguk, pikirannya mulai bekerja. "Sepertinya kita perlu memeriksa lebih dekat. Bisa jadi ini penyakit jamur, bakteri, atau mungkin masalah pada kualitas tanah."
"Itulah mengapa aku meminta bantuanmu, Raka. Aku berharap kau bisa menemukan penyebabnya dan menyelamatkan tanaman-tanaman itu," ujar Aruna, nada suaranya penuh harap.
Raka tersenyum meyakinkan. "Saya akan melakukan yang terbaik, Bu."
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor