Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30.Cahaya Rahasia
Langit Puncak tampak kelabu, seolah awan-awan itu turut menyimpan rahasia yang belum sempat diucapkan dunia. Udara dingin menampar pipi Aurora saat ia turun dari mobil, mengencangkan jaketnya. Di sampingnya, Tristan mengangguk pada penjaga gerbang tua yang kini membuka pagar berderit menuju vila tua di lereng bukit. Sudah bertahun-tahun tempat ini dibiarkan kosong, hanya sesekali dikunjungi pengurus untuk memastikan bangunannya tidak ditelan lumut dan kabut.
Aurora menatap sekeliling. Tanah lembap, dedaunan basah, suara serangga menggema samar dari balik pepohonan. Tapi matanya tertuju pada kebun kecil di belakang vila. Tanah itu tak berpagar, dibiarkan liar oleh waktu. Di sanalah, menurut peta ibunya, "cahaya" seharusnya disembunyikan.
Mereka berjalan perlahan menembus kebun, tanahnya becek dan berakar. Hujan tadi malam membuat jalannya licin. Tristan berhenti di tengah, menatap satu pohon jambu biji besar yang tampak lebih tua dari yang lain. Di akarnya, sebuah batu kecil mencuat, tampak tak wajar di antara rerumputan.
"Di sini," bisik Tristan.
Aurora berjongkok, menyentuh batu itu. Tangannya menggali perlahan, mencabut tanah basah dengan telapak telanjang. Jemarinya menyentuh sesuatu. Sebuah kotak kayu kecil, terkunci, lapuk dimakan cuaca. Tristan mengangkatnya perlahan, memeluknya sejenak, lalu membawanya ke beranda vila.
Dengan kunci kecil yang disimpan Dira Maresya Suryani di antara dokumen warisan, kotak itu terbuka. Isinya: secarik surat, kaset pita tua, dan liontin emas kecil berbentuk matahari.
Aurora mengambil surat itu. Tulisan tangan ibunda Tristan tampak bergetar, namun masih anggun:
Untuk anakku, yang mungkin akan menemukan ini saat aku tak lagi bisa menjelaskan secara langsung. Di dunia ini, kebenaran sering disimpan bukan karena takut, tapi karena ingin melindungi. Aku tidak ingin kau hidup dengan marah. Aku ingin kau hidup dengan tahu. Dengan utuh.
Tristan menggigit bibirnya, napasnya memburu. Ia mengambil kaset itu. "Ini... suaranya. Suara Ibu."
Mereka menatap satu sama lain. Tak perlu kata. Hanya isyarat bahwa malam ini, mereka akan memutar suara yang lama dikubur, mendengarkan perempuan yang telah membentuk banyak luka dan harapan dalam hidup mereka.
$$$$
Sementara itu, di Jakarta, sore turun pelan di jendela apartemen Kalea. Hujan menyapu kaca dengan irama lambat. Arya duduk di lantai, membaca novel yang entah sudah ia buka atau tidak. Fokusnya pecah ketika Kalea keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus putih tipis dan celana katun longgar. Rambutnya masih basah, wajahnya bersih tanpa riasan.
"Apa aku terlalu nyaman sekarang?" tanya Kalea sambil duduk di hadapan Arya.
Arya meletakkan bukunya, menatapnya penuh. "Tidak. Kau terlihat seperti rumah."
Kalea mengangkat alis. "Rumah bisa kosong."
"Tapi kau tidak," jawab Arya. "Kau penuh. Dengan luka, dengan tawa, dengan ingatan. Aku ingin tinggal di rumah itu, meski listriknya sering padam."
Kalea menahan tawa. Tapi matanya memerah. "Aku belum tahu bagaimana caranya menyambut orang tinggal."
Arya menggeser tubuh, meraih tangan Kalea. "Kita bisa belajar. Kau buka jendelanya dulu. Biarkan cahaya masuk. Biar nanti aku bantu nyalakan lampunya."
Mereka berpelukan, lama. Namun saat keheningan menjadi lebih padat, Kalea bersandar di dada Arya. Napasnya menggantung, seperti ingin mengatakan sesuatu yang belum berani diucapkan.
"Arya... kalau aku kehilangan kendali, kalau aku panik dan ingin kabur, tolong... tahan aku. Jangan biarkan aku pergi tanpa kau tahu kenapa."
Arya memegang kedua sisi wajah Kalea. "Kalau kau lari, aku akan ikut. Kalau kau jatuh, aku akan ikut jatuh. Aku tak datang untuk jadi pahlawan. Aku datang untuk tetap tinggal."
Kalea mencium bibirnya—pelan, ragu, lalu dalam dan penuh. Bukan hanya cinta yang bicara, tapi ketakutan, luka, dan harapan yang selama ini mereka sembunyikan. Arya menjawab ciuman itu dengan sabar, tangannya menyusuri rambut Kalea, lalu memeluknya erat. Mereka rebah perlahan di sofa, tubuh mereka menyatu dalam gerakan yang perlahan dan saling memahami.
Kalea berbisik di antara ciuman, "Aku tak sempurna... aku rusak."
"Kau nyata," jawab Arya, matanya hangat. "Dan hanya itu yang kubutuhkan malam ini."
Dalam malam yang diselingi hujan, kulit bersentuhan dengan kulit, tapi yang mereka bawa adalah jiwanya masing-masing. Mereka tak bicara banyak setelahnya. Tapi dalam diam, mereka tahu: malam ini, mereka telah saling membuka pintu yang selama ini hanya diketuk diam-diam dari luar.
$$$$$
Malam itu, di dalam vila tua, Tristan dan Aurora duduk di depan tape recorder tua yang mereka temukan di ruang belakang. Pita kaset sudah dimasukkan, dan dengan sedikit gemetar, Tristan menekan tombol putar.
Suara desis mengisi ruang, lalu suara perempuan—lembut, sabar, seperti suara angin yang menyebut nama.
Tristan, jika kau mendengar ini, artinya aku tidak sempat menjelaskan padamu secara langsung. Tapi aku ingin kau tahu: kau adalah cahaya yang aku titipkan kepada dunia. Aku mencintaimu. Dan aku menyesal tidak pernah cukup kuat untuk melindungimu dari semua gelap itu. Tapi aku percaya, suatu hari, kau akan punya cukup cahaya sendiri untuk menerangi hidupmu... dan seseorang yang kau cintai.
Tristan menunduk, bahunya bergetar. Aurora memeluknya dari samping, membiarkan tangis itu jatuh tanpa terbendung.
"Aku di sini, Tristan," bisiknya. "Dan aku akan tetap di sini. Bahkan saat rekaman ini berakhir, bahkan saat semua terang dan gelap berganti."
Tristan mengangkat wajahnya. "Aku ingin hidup... bukan karena ingin membalas. Tapi karena ingin mencintai."
Aurora menyentuh dadanya. "Dan kau sudah memulainya. Hari ini. Di sini."
Malam itu, cahaya benar-benar datang. Bukan dari lampu. Tapi dari kejujuran, air mata, dan suara yang melintasi kematian untuk menjangkau mereka yang ditinggal.
Dan untuk pertama kalinya, Tristan merasa... tidak sendiri.
.
.
.
Bersambung