Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan yang sebenarnya
Rehan sengaja menyempatkan waktunya untuk mengantar Amelia menonton pertandingan Gunawan. Rehan tahu jika adiknya ingin sekali bertemu dengannya.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan. Suasananya terlihat cukup ramai. Rehan menggandeng tangan Amelia untuk masuk menuju lapangan. Dia memang sudah tidak asing lagi dengan seolah itu karena itu merupakan tempatnya bersekolah dulu.
“Pak.” Rehan menyapa salah satu guru yang kebetulan lewat.
“Eh, Rehan bukan?” Tanyanya sambil melepas kacamatanya.
Rehan salim. “Iya, Pak. Bapak apa kabar?”
“Hahaha. Baik, baik. Kamu udah wisuda belum? Kuliah ambil jurusan apa?”
“Alhamdulillah udah, Pak. Ambil jurusan manajemen akuntansi.”
“Kerja di bank mana?”
Rehan tersenyum tipis. Mungkin lulusan management akuntansi banyak melamar di perbankan, hanya saja Alex melarang anaknya kerja di sana.
“Nerusin usaha orang tua, Pak.”
“Wah, bagus itu,” ujarnya sambil menepuk pundak Rehan. “Lebih baik usaha sendiri, gak di setir orang. Alhamdulillah karena kamu sudah ada usaha orang tua, jadi tinggal meneruskan dan membuatnya jadi lebih baik.”
“Iya, Pak.”
“Bapak lanjut ya, mau ada perlu sama kepala sekolah.”
“Monggo, Pak.”
Pria dengan usia yang jauh lebih tua dari Alex itu melenggang pergi.
“Siapa, Bang?”
“Wali kelas.”
“Owalah, pantesan masih kenal.”
Rehan dan Amelia kembali melanjutkan langkah mereka menuju lapangan. Di sana seseorang melambaikan tangan pada mereka. Salah satu panitia penyelenggaranya adalah alumni yang juga teman Rehan.
“Brooo, apa kabar lo? Gue turut prihatin sama toko bapak lo.”
“Musibah, bro. Makasih ya.”
“Ini adek lo? Wah, udah gede ya sekarang. Dulu sih masih kecil, suka lari-larian pake kaos dalem sama celana dalem doang.”
Amelia merasa wajahnya sangat panas karena menahan malu.
“Eh, adek gue udah gede. Malu dia, brooo.”
“Hahaha. Sorry, habisnya pangling banget ya. Dulu waktu kecil sih gemoy. Sekarang langsing dan cantik. Udah punya pacara belum, dek?”
“Udah. Nanti ikut tanding juga,” jawab Rehan.
“Masa? Club apa?”
“Dari Bandung.”
“Iya Bandung nya mana. Kan ada empat club yang main.”
Rehan menoleh, meminta jawaban atas pertanyaan dari teman nya itu. Amelia menggelengkan kepala.
“Gimana sih, katanya pacar. Kok gak tau nama club basket nya apa?”
“Warrior Van Java.”
Amelia langsung menoleh ke belakang. Di sana sudah ada Gunawan yang berdiri bersama temannya yang lain.
Henti nafas sesaat itu memang sangat tidak nyaman. Sesak dan sakit. Amelia merasa gugup saat mereka bertemu pandang.
Gunawan mendekat. “Apa kabar, Mel?”
Mendengar Gunawan menyebut namanya, ada hal yang aneh dan terasa hilang baginya.
Gunawan tersenyum melihat mimik wajah Amelia.
“Sehat lo?” Tanya Rehan sambil menyodorkan tangannya. Mereka bersalaman lalu adu tinju.
“Sehat, Bang. Gimana? Masih sering kumpul gak sama yang lain?”
Rehan menggelengkan kepala. “Yah lo tau sendiri kan gimana situasinya sekarang. Gue udah gak bisa kayak dulu lagi. Mendadak banget gue jadi kepala rumah tangga.”
“Gue percaya lo bisa, bang. Gue mau ambil salah satu beban hidup lo, tapi gue juga masih jadi beban keluarga,” ujarnya sambil melirik Amelia.
“Gak usah mikir ke sana. Sekolah dulu, kuliah, baru pikirin masalah ambil beban gue.”
“Tunggu, kok terdengar seperti restu sih di telinga gue, Bang.”
Rehan memukul lengan Gunawan.
“Jadi ini cewek yang sering lo ceritain?” Tanya salah satu teman nya.
“Hai, gue Aldo, teman Gunawan.” Aldo mengulurkan tangan pada Amelia.
“Amelia.”
“Gue Ronald.”
Ada Adam, Bam, Ozan, Rey, Kianu, Nizam, Samuel, Rizki dan Marsel.
“Diberitahukan kepada seluruh peserta untuk segera masuk ke aula untuk mendapatkan pengarah dan sambutan dari pihak penyelenggara.
Terdenger pengumuman dari pengeras suara.
“Aku pergi dulu ya.” Gunawan menepuk lembut bahu Amelia. Gadis itu mengangguk.
Rehan dan Amelia duduk bersama Farhan, teman Rehan yang menjadi panitia. Amelia hanya mendengarkan obrolan dua orang teman yang seperi sedang reunian tanpa sengaja itu.
“Pertandingannya selama tiga hari. Jadi nanti dibagi kelas. Gak semuanya tanding hari ini,” ujar Farhan.
“Berarti kita gak tau Gunawan tanding hari ini apa besok, gitu bang?”
“Iya. Kalau menang, ya sampai tiga hari di sini. Nanti sih buat final. Makanya mereka pada nyari kontrakan di daerah sini.”
Amelia mengangguk pelan mendengar penjelasan dari Farhan.
Semoga Gunawan tandingnya buka hari ini, dan semoga dia juga menang.
“Kenapa senyum-senyum?” Tanya Rehan sambil menyikut adiknya.
“Nggak, kenapa emang?”
“Senenga ya Gunawan di sini bakalan lama.”
“Gak jelas!”
Amelia menyandarkan kepalanya pada lengan Rehan. Dia menarik nafas lega. Entah karena alasan apa dia begitu merasa tenang.
Hampir setengah jam Amelia dan Rehan menunggu, namun tidak terasa sama sekali karena mereka asik berbincang sang Farhan dan yang lainnya.
“Bang.”
Amelia dan Rehan menoleh. Gunawan dan yang lainnya datang menghampiri.
“Gimana? Tanding hari apa?”
“Besok siang.”
Amelia merasa senang karena itu artinya dia masih punya banyak waktu untuk bisa bersama dengan Gunawan.
“Teru, kalian nginep di mana nanti?”
“Rumah gue aja lah, bang. Biar gak usah bayar.”
“Lumayan jauh tapi ya, Gun.”
“Paling pinjem mobil ayah nanti. Oh, iya, gue sama yang lain mau makan dulu. Ikut gak, bang?”
“Nggak lah, gue di sini aja sama Farhan.”
“Kamu aja ya.” Ucap Gunawan pada Amelia. “Boleh gak gue bawa adik lo makan?” Tanya Gunawan pada Rehan.
“Jangan jauh-jauh tapi makannya.”
“Di ayam geprek depan.”
“Oke.”
Gunawan mengulurkan tangannya pada Amelia yang sedang duduk di bawah bersama Rehan. Gadis itu menyambutnya.
Saat sudah bersisir, Gunawan masih tidak melepaskan genggaman tangannya sampai mereka berjalan, Gunawan masih menggenggam erat tangan Amelia.
“Itu tangan tolong kondisikan.” Rehan berteriak. Gunawan membalasnya dengan lambaian tangan tanpa melepaskan genggaman tangannya.
Di tempat makan, Gunawan ijin pada teman-temannya untuk pisah meja. Dia takut Amelia merasa tidak nyaman.
“Mau pesen apa, sayang?”
Mata Amelia terbuka lebih lebar saat mendengar Gunawan memanggilnya. Dalam hatinya Amelia merasa senang, namun dia berusaha untuk tidak terlalu memperlihatkan perasaan itu pada Gunawan.
“Mulai iseng lagi kan.”
“Tapi kamu bete tadi pas aku manggil nama kamu.”
Sekali lagi Amelia dibuat tertegun dan terdiam tanpa bisa berkutik.
“Kamu sendiri yang bilang jangan panggil sayang di depan orang banyak. Sekarang kita cuma berdua.” Gunawan menatap lekat mata Amelia. Seolah ada gundukan rindu yang begitu besar yang siap berlari menuju Amelia.
“Aku pikir kamu akan menyerah setelah semua yang terjadi.”
“Ayah bukan melarang kita dekat, dia hanya tidak suka pada kedekatan kita yang salah. Juga karena ayah memang pindah kerja, makanya aku ikut pindah.”
Amelia merasa sangat bersyukur dan senang mendengar alasan kenapa Gunawan sampai pindah sekolah. Setidaknya ucapan Tuti tidak sepenuhnya benar. Amelia bukan anak pembawa sial.