Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 3
“Ethan, bukankah kamu ingin membawa Vivi dan Nathan ke rumah sakit?” tanya Leo heran dari samping. Ia tahu betul antusiasme Ethan sebelumnya. Tapi sekarang, pria itu justru tampak mengurungkan niat.
Ethan menatap kedua anak itu sejenak, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Dan mungkin... ini memang keputusan yang lebih baik.”
Ia kembali menatap Vivi dan Nathan, mencoba tersenyum meski ada luka yang belum pulih di hatinya. “Vivi, Nathan, kalian mau main sepak bola bersamaku?”
Ketika Ethan kecil, hidupnya begitu sunyi. Ibunya meninggal saat ia berusia tujuh tahun. Ayahnya tenggelam dalam pekerjaan dan segera menikah lagi tak lama setelah itu. Sejak kecil, Ethan merindukan satu hal sederhana, bermain sepak bola bersama sang ayah. Namun keinginan itu tak pernah terwujud.
Sejak saat itu, ia bersumpah, jika suatu hari ia memiliki anak, ia akan selalu ada untuk mereka. Ia akan memberikan masa kecil yang bahagia, penuh tawa dan kehangatan.
Kini, ia berdiri di hadapan dua anak yang entah sejak kapan mengisi hatinya. Ada penyesalan, karena telah melewatkan empat tahun penting dalam hidup mereka. Tapi juga ada rasa syukur, karena mereka tumbuh bahagia tanpa dirinya.
Vivi dan Nathan saling berpandangan. Setelah ragu sejenak, Nathan mengangguk dan menggenggam tangan saudara perempuannya. “Baiklah. Karena Paman sudah berjanji, kami akan bermain.”
Senyum lebar merekah di wajah Ethan. Ia meraih tangan kecil mereka dengan hati-hati dan menggandeng mereka keluar.
Sementara itu, di rumah sakit terbaik kota itu...
Lorong rumah sakit dipenuhi bau disinfektan yang menyengat. Pasien datang dan pergi, para perawat tampak terburu-buru, dan waktu seakan berjalan lebih lambat.
Yunita tertidur dalam posisi membungkuk di kursi tunggu. Di sisi kirinya, Jeremy asyik dengan ponsel, membalas pesan-pesan masuk. Di sisi lainnya, Jessi duduk tegang, tatapannya terus mengarah ke ruang dokter.
Setelah bujukan panjang dari Jessi, Jeremy akhirnya membawa ibunya menjalani pemeriksaan kesehatan. Semua tes telah selesai, dan kini mereka hanya menanti hasil.
Jessi menoleh memandangi tubuh Yunita yang tampak semakin kurus. Perasaannya tak tenang. Ia berharap semua ini hanya kekhawatiran berlebih.
“Keluarga Ibu Yunita, silakan masuk.” Suara seorang perawat memecah keheningan.
“Kami!” Jessi segera berdiri dan menepuk bahu Jeremy. “Jeremy, hentikan main HP-nya. Hasil tes ibu sudah keluar.”
Jeremy buru-buru menyimpan ponselnya. Namun tiba-tiba, teleponnya kembali berdering. Ia melirik layar, dan wajahnya seketika berubah.
“Bosku menelepon,” katanya tergesa. “Kamu masuk duluan saja, aku susul nanti.”
Sebelum Jessi sempat menjawab, Jeremy sudah melangkah cepat ke arah toilet.
“Jeremy! Hei, Jeremy!” panggil Jessi, tapi tak dihiraukan. Dengan berat hati, ia mengikuti perawat masuk ke ruang dokter.
Di dalam, dokter menyambutnya dengan ekspresi serius. “Nona, Anda siapa dari pasien?”
“Saya menantunya,” jawab Jessi pelan.
Dokter menghela napas, lalu mulai menjelaskan. “Kondisi ibu mertua Anda cukup serius. Gejala yang muncul, seperti sesak napas, nyeri dada, dan batuk berdarah, semua mengarah pada masalah paru-paru. Hasil tes menunjukkan adanya lesi dan kerusakan jaringan di paru-paru yang telah menyebar.”
Jessi menggenggam tangannya erat. “Apa maksudnya, Dokter? Bisa bicara lebih langsung?”
“Ibu Yunita menderita kanker paru stadium lanjut,” kata sang dokter akhirnya.
Jessi membeku di tempat duduknya.
“Saat ini, yang paling penting adalah menjaga kondisi mental dan fisik pasien. Membuatnya merasa nyaman dan tidak stres.”
Dengan kata lain, tidak ada banyak harapan untuk pengobatan.
Namun Jessi menggeleng kuat. “Tidak! Kami tidak akan menyerah! Ada pengobatan lain, kan?”
Dokter memandang Jessi dengan simpati. “Kami memiliki pilihan pengobatan terbaik, operasi, kemoterapi, radioterapi, hingga pengobatan alternatif. Tapi pada stadium ini, efektivitasnya terbatas dan justru bisa memperparah kondisi tubuh pasien.”
Ucapan itu mematahkan harapan terakhir Jessi. Ia menunduk, matanya berkaca-kaca. Meski hubungan mereka tak selalu harmonis, Yunita tetaplah ibunya. Orang yang membesarkan Aiden.
Tanpa sadar, air mata menetes dari sudut matanya. Ia keluar dari ruangan dokter dengan langkah lemas, lalu kembali ke tempat Yunita duduk.
Ia berjongkok pelan, menyentuh tangan wanita yang selama ini bersikap kasar padanya, "Ibu, ibu cepat sehat ya...”
gemessaa lihatnya