NovelToon NovelToon
Jodoh Tak Terduga D & D

Jodoh Tak Terduga D & D

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Tamat
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8

 Di hari ketiga..

Proyek mulai mendekati tahap akhir. Dewi, yang baru selesai print laporan desain, berjalan keluar ruang meeting dengan tangan penuh dokumen. Ia tidak melihat genangan air kecil di lantai marmer. Dan—BRUK!

Dewi terpeleset.

Tapi sebelum tubuhnya menyentuh lantai, sepasang tangan kokoh langsung menangkapnya.

Dewa.

“Ya ampun...”

Tangannya menahan punggung dan pinggang Dewi erat. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Napas mereka bertaut. Mata mereka saling bertemu.

Dewi bisa mencium wangi khas Dewa—maskulin dan bersih. Dan Dewa... bisa melihat dengan jelas gugup yang bersembunyi di balik keberanian Dewi.

“Maaf,” bisik Dewi nyaris tak terdengar.

“Tak perlu minta maaf,” balas Dewa pelan. “Sudah tugas saya jaga kamu.”

 

Dari kejauhan, Nadine melihat semua itu.

Dengan tangan mengepal dan rahang mengeras, ia membuka ponselnya dan mengetik cepat.

Nadine (chat ke rekan konsultan):

Cari cara untuk singkirkan Dewi dari proyek. Apa pun alasannya. Aku akan kirim datanya nanti.

 

Malamnya, di rumah Naya…

“AKU JATUH!” Dewi berseru sambil menjatuhkan diri ke kasur.

“Terus? Biasa aja dong, kamu kan sering jatuh. Bahkan dari tangga aja kamu anggap olahraga.”

“BEDA. Aku jatuh... terus Dewa nangkep.”

Naya melempar bantal. “KAYAK DRAMA KOREA!”

“Beneran. Aku nggak bohong. Dia nangkep aku kayak adegan slow motion. Terus dia bilang... dia jaga aku.”

Naya melongo. “Ningrat... kamu... beneran jatuh. Bukan cuma fisik. kamu jatuh cinta.”

Dewi menutup wajah dengan bantal. “Dan aku nggak tahu itu... bahaya atau anugerah.”

 

Di sisi lain kota, Dewa duduk di ruang kerjanya yang sepi. Ia membuka ponsel, melihat dua notifikasi.

Satu dari Nadine:

“Kita harus bicara. Ini tentang gadis itu.”

Satu lagi dari folder khusus bernama:

"Dewi"

Foto: Dewi tertawa di pantry.

Catatan: Jangan terlalu dekat, jangan terlalu jauh. Tapi... jaga dia.

Dewa menatap lama.

“Kalau aku tak bisa jadi jodoh yang dipilih orangtuanya…

mungkin aku bisa jadi pilihan yang ia tentukan sendiri.”

Senin pagi. Langit Jakarta mendung. Tapi di kantor tempat Dewi bekerja, suasananya justru lebih mendung lagi.

Semua dimulai sejak beberapa pesan broadcast misterius menyebar diam-diam di antara para karyawan:

“Katanya, si staf baru itu deket sama bos...”

“Kok bisa ya, langsung dapat proyek besar?”

“Siapa sih cewek yang dari keluarga mana itu?”

“Gaya biasa aja, tapi dideketin Pak Dewa? Aneh nggak sih?”

Dewi tidak bodoh. Ia tahu, bisikan-bisikan itu merujuk padanya. Tatapan yang berubah, senyum yang terasa palsu, bahkan beberapa rekan kerja tiba-tiba menjaga jarak—semuanya terlalu jelas untuk diabaikan.

Dan yang lebih menyakitkan… semua itu bermula dari satu nama: Nadine.

 

Di pantry, Dewi membuka kotak teh. Tapi isi rak sudah kosong. Semua teh yang biasa ia minum... hilang.

Ia menatap sekeliling.

Salah satu rekan wanita, Rina, tertawa kecil sambil berkata, “Kalau suka minuman manis, langsung aja ke ruang Pak Dewa. Siapa tahu udah disiapin khusus.”

Beberapa orang ikut tertawa. Dewi menoleh perlahan.

“Lucu,” katanya pelan, “tapi terlalu hambar untuk disebut sindiran. Gagal total.”

Ia berbalik dan pergi sebelum siapa pun sempat membalas. Tapi dalam hatinya, ada yang mulai bergolak.

 

Sore hari, Dewa memanggil Dewi ke ruangannya.

“Duduklah.”

Dewi menurut, walau ada gurat lelah dan kesal yang tak ia sembunyikan lagi.

“Ada yang ingin kamu ceritakan padaku?” tanya Dewa.

Dewi menatap langsung ke matanya. “Kalau maksudnya soal rumor... saya nggak akan minta maaf atas sesuatu yang nggak pernah saya lakukan.”

Dewa menghela napas. “Saya tahu ini bukan salah kamu. Tapi saya juga tahu siapa yang memulainya.”

“Kenapa diam saja, Pak?” tanya Dewi

“Karena saya sedang menimbang.” jawab Dewa

“Nimbang apa?”tanya Dewi lagi

Dewa berdiri, membelakangi Dewi. “Apakah saya harus tetap bersikap netral... atau mulai mengambil sikap.”

Dewi diam sejenak. Lalu berdiri juga.

“Kalau Anda terlalu sibuk menimbang, maka saya akan memutuskan sendiri: saya akan keluar dari proyek ini.”

Dewa menoleh cepat. “Apa?”

“Saya tidak butuh pembelaan. Tapi saya juga tidak akan diam saat harga diri saya diinjak. Saya bukan boneka yang bisa ditempatkan di proyek, lalu dijadikan bahan gosip, hanya karena saya perempuan dan dekat dengan bos.”

Dewa terdiam.

“Maaf, Pak. Tapi saya harus jaga diri saya sendiri.”

Dewi berbalik dan pergi, meninggalkan ruangan itu dalam keheningan.

 

Di rumah Naya...

“KAMU KELUAR DARI PROYEKNYA?!” Naya nyaris menjatuhkan gelasnya.

“Aku nggak mau diseret ke drama murahan di kantor. Kalau dia nggak bisa berdiri buat aku, ngapain aku harus tahan semua omongan orang?”

Naya terdiam.

“Tapi... kamu suka sama dia,” katanya pelan.

“Iya,” jawab Dewi, nyaris berbisik. “Dan justru karena itu, aku gak mau dihina karena perasaan sendiri.”

 

Di waktu yang sama, Dewa duduk di meja makan rumah besarnya. Di depannya, duduk ibunya nyonya Wicaksono yang anggun dan sangat menjaga kehormatan keluarga.

“Dewa,” katanya dingin, “rumor tentang kamu dan gadis itu sudah sampai ke telinga pemegang saham.”

Dewa menatap ibunya.

“Kami tidak mempermasalahkan kalau kamu jatuh cinta. Tapi jangan lupakan: kamu adalah wajah dari perusahaan. Dan kamu juga tahu, tunanganmu yang asli... masih dalam rencana.”

Dewa mengepalkan tangan.

“Perjodohan itu tidak lebih dari transaksi bisnis, Bu.”

“Dan cinta yang tidak kamu jaga, hanya akan jadi skandal.”

Dewa berdiri, menatap lurus ke ibunya.

“Kalau harus memilih... saya akan pilih Dewi.”

Sang ibu membeku. “Kamu rela melepas perusahaanmu demi perempuan yang bahkan tidak kamu kenal cukup lama?”

Dewa hanya menjawab satu kalimat:

“Justru karena saya ingin mengenalnya lebih lama. Bukan karena nama. Tapi karena pilihan saya sendiri.”

 

Malam itu, Dewi duduk di teras rumah Naya, menatap langit yang gelap tapi jujur.

Hidupnya pernah dipaksa, dijodohkan, dan ia kabur. Tapi sekarang... apakah ia akan lari lagi? Atau justru... tetap berdiri?

Ponselnya berbunyi. Pesan masuk dari nomor yang tak pernah dia hapus:

Dewa:

Aku akan bicara jujur. Semuanya. Tentang masa lalu, tentang rencana perjodohan, tentang kita.

Kalau kamu masih mau dengar... temui aku besok.

Dewi menatap layar ponsel lama sekali.

Lalu, tanpa ragu, ia mengetik balasan:

Dewi:

Besok. Jam berapa?

Hari itu, Jakarta diselimuti mendung yang menggantung seperti hati Dewi. Ia mengenakan atasan putih sederhana dan celana jeans favoritnya—bukan untuk tampil cantik, tapi untuk tetap jadi diri sendiri.

Ia duduk di sebuah kafe kecil di pinggir taman kota. Tempat yang Dewa pilih sendiri. Jauh dari kantor. Jauh dari mata-mata dan bisikan orang. Hanya mereka.

Dewa datang lima menit setelahnya. Seperti biasa, rapi. Dingin. Tapi hari ini... ada yang berbeda dari sorot matanya. Lebih jujur, lebih terbuka, lebih lelah.

Dewi duduk diam. Tidak menyapa. Tidak tersenyum. Hanya menatap. Menunggu.

Dewa menarik kursi, duduk di hadapannya.

Beberapa detik hening.

Lalu, akhirnya...

“Aku tahu kamu kabur dari perjodohan.” ujar Dewa

Dewi menahan napas. Tapi ia tidak bicara. Tidak menyangkal.

Dewa melanjutkan, “Aku tahu kamu mengira calon suamimu pria tua bau tanah. Dan aku tahu kamu lari... karena ingin bebas.”

Dewi mengerutkan kening. “Dari mana kamu tahu semua itu?”

Dewa menatap matanya, penuh ketegasan.

“Karena akulah... pria itu.” jawab Dewa

Semuanya diam. Bahkan angin pun seperti berhenti.

Dewi membeku. Matanya menatap Dewa dengan campuran syok, bingung, dan… terluka.

“Apa?” seru Dewi

“Aku Dewa Satria Wicaksono. Putra rekan bisnis ayahmu. Pria yang dijodohkan dengan kamu sejak kamu berusia tujuh belas. Tapi aku... nggak pernah ingin kamu menikah denganku karena paksaan.”

Dewi berdiri dari kursi.

“Jadi kamu tahu selama ini? Kamu tahu siapa aku? Tapi kamu diam? Kamu biarin aku kerja di bawah kamu tanpa kasih tahu kebenaran?”

“Karena aku ingin kenal kamu sebagai... Dewi Ayu. Bukan sebagai calon istri yang lari dariku.” jelas Dewa

Dewi tertawa sinis, getir. “Luar biasa. Manipulatif banget, Pak Dewa. Nggak cukup jadi bos, kamu juga pengatur hidup orang?”

Dewa berdiri juga. “Bukan begitu, Dewi. Aku cuma—”

“Kamu tahu apa rasanya jadi aku? Jadi orang yang hidupnya ditentukan dari kecil? Jadi perempuan yang lari dari nama, dari gelar, dari perjodohan... cuma buat nemuin kebebasan? Dan sekarang, kebebasan itu bohong karena kamu diam-diam nyetir semua ini dari belakang?”

Dewa menatapnya, wajahnya tegang, tapi tenang.

“Aku jatuh cinta padamu bukan karena perjodohan, Dewi. Tapi karena kamu. Karena kamu berani, kamu jujur, kamu beda dari semua yang pernah aku kenal.”

Dewi menggeleng, matanya berkaca-kaca, tapi ia menolak menangis. “Dan kamu pikir pengakuan itu cukup? Cukup buat hilangin kebohongan yang kamu pelihara berbulan-bulan bahkan ini sudah masuk satu tahun?”

Dewa diam. Tak ada pembelaan.

“Jangan kejar aku lagi,” ucap Dewi pelan. “Aku nggak lari dari kamu... aku cuma ingin tahu, apakah kamu pernah jujur padaku tanpa niat tersembunyi?”

Ia berbalik, meninggalkan Dewa sendirian di sana.

Langkahnya cepat. Tegas. Tapi dadanya terasa berat.

Sakit.

Bukan karena ia membenci Dewa...

Tapi karena ia sempat percaya.

Dan hari ini, kepercayaan itu... runtuh.

 

Malam itu di rumah Naya...

Dewi duduk di lantai, memeluk lututnya. Naya duduk di sampingnya, menatap diam.

“Jadi... dia dari awal tahu?” tanya Naya pelan.

Dewi mengangguk.

“Dan dia diem aja?”

“Iya. Bahkan waktu aku cerita soal perjodohan... dia diem.”

Naya menghela napas. “Tapi... apa kamu bener-bener percaya dia gak punya niat buruk?”

Dewi mengangkat wajah. Matanya merah.

“Aku gak tahu, Nay. Yang aku tahu... aku gak siap dikhianatin orang yang aku percaya.”

 

Di tempat lain, Dewa duduk sendirian di balkon apartemennya.

Tangannya memegang buku tua. Buku harian milik Dewi, yang pernah ia selamatkan tanpa sengaja dari tas kerja Dewi yang jatuh. Buku yang berisi tulisan ini:

Katanya, hidupku sudah ditentukan sejak kecil.

Katanya, aku harus menikah demi kehormatan keluarga.

Katanya, pria itu... kaya, sukses, dan berumur.

Kataku? Aku kabur.

Aku nggak butuh gelar, nggak butuh kehormatan...

Aku cuma pengen hidup normal. Dan mungkin... cinta yang nggak dipaksa.

Dewa menutup buku itu pelan.

“Dan aku gagal jadi cinta yang nggak memaksa.”

bersambung

1
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒌𝒆𝒓𝒆𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏 𝑻𝒉𝒐𝒓 𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂𝒎𝒖 𝒏𝒈𝒆𝒏𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕 𝒌𝒆 𝒉𝒂𝒕𝒊 👍👍👍👏👏👏😍😍😍😘😘😘
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒏𝒈𝒆𝒏𝒂 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕 𝒏𝒊𝒉 👍👍👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑨𝒏𝒅𝒊𝒆𝒏 𝒎𝒖𝒔𝒖𝒉 𝒅𝒍𝒎 𝒔𝒆𝒍𝒊𝒎𝒖𝒕 😤😤
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑵𝒂𝒅𝒊𝒓𝒂 𝒈𝒂𝒌 𝒌𝒂𝒍𝒐𝒌
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒅𝒂𝒉 𝒋𝒈 👏👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒄𝒂𝒓𝒊 𝒍𝒂𝒘𝒂𝒏 😏😏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒕𝒆𝒓𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒊𝒕𝒖
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒅𝒂 𝒎𝒂𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒑𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝑮𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒃𝒍𝒎 𝒏𝒊𝒌𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒑 𝒌𝒐𝒌 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒃𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒏𝒚𝒂 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒔𝒖𝒂𝒎𝒊𝒌𝒖 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒐𝒓𝒕𝒖𝒏𝒚𝒂 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒌𝒐𝒌 𝒈𝒂𝒌 𝒏𝒆𝒏𝒈𝒐𝒌 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒔𝒊𝒉 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒈𝒐𝒐𝒅 𝒋𝒐𝒃 𝑫𝒆𝒘𝒊 👍👍👏👏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒚𝒖𝒌𝒖𝒓𝒍𝒂𝒉 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒕𝒐𝒍𝒂𝒌
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒏𝒈𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒆𝒓𝒂𝒉
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂 𝒊𝒃𝒖 𝒌𝒂𝒏𝒅𝒖𝒏𝒈 𝒋𝒂𝒉𝒂𝒕 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂 😏😏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒌𝒆𝒏𝒂𝒑𝒂 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒈𝒂𝒌 𝒏𝒈𝒐𝒎𝒐𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒔 𝒂𝒅𝒂 𝒘𝒂𝒓𝒕𝒂𝒘𝒂𝒏 𝒚𝒂 😏😏 𝒌𝒐𝒌 𝒄𝒖𝒎𝒂 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒂𝒋𝒂 𝒉𝒓𝒔𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒂𝒏 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒋𝒈 𝒏𝒐𝒏𝒈𝒐𝒍
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝑫𝒆𝒘𝒊 😍😍
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒂𝒏𝒕𝒂𝒑 𝑫𝒆𝒘𝒊 𝒌𝒆𝒓𝒆𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏 👍👍👍
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑵𝒂𝒅𝒊𝒏𝒆 𝒍𝒊𝒄𝒊𝒌 𝒋𝒈 𝒚𝒂 😏😏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑳𝑫𝑹 𝒅𝒐𝒏𝒌 😅😅
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒂𝒉𝒂𝒎 𝒏𝒊𝒉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!