Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1
Hola!
Karya ini diupload ulang dengan beberapa bagian yang diubah.
Selamat membaca!
Hari yang cerah untuk memulai petualangan baru. Barangkali itulah yang Michelle pikirkan sehingga gadis itu meneleponnya berkali-kali sejak pagi—hanya untuk mendorongnya keluar, menghadiri sebuah pertemuan. Katanya, sudah diatur sedemikian rupa.
“Sumpah, kalau sampai zonk, lo bakal gue gantung di pohon Flamboyan depan kantor redaksi.” Kayanara mengomel pada Michelle melalui sambungan telepon. Gadis itu masih memandunya dari belahan bumi yang lain, memastikan dirinya tidak punya alasan untuk mangkir dari pertemuan.
“Lo udah lihat fotonya, kan? Ganteng gila! Lagian, sebagai freelance writer yang doyan ngubek-ngubek isi dunia, nggak susah buat lo nyari tahu tentang background si Janu. Semua tentang dia ada di internet, terpampang nyata kayak buku cerita yang bisa dibaca sama siapa aja.” Di seberang, Michelle merepet. Nadanya mirip emak-emak yang sedang berjuang menawar cabai di pasar.
“Siapa tahu dia ternyata bau badan?” celetuk Kayanara asal.
“Nggak mungkin, lah! Kalaupun iya, pasti udah ramai gosipnya di sosial media!”
Kayanara berhenti melangkah. Kepalanya terangkat, menatap bangunan kafe dua lantai tempatnya akan bertemu dengan lelaki kenalan Michelle. Namanya Atma Janu Sukmajaya, duda anak dua pemilik perusahaan entertainment terbesar di Indonesia: Dash Entertainment.
Bangunan kafe itu didominasi kaca, membuat Kayanara bisa mengintip sedikit kondisi di dalamnya. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat seorang pria duduk sendirian di meja dekat jendela. Dari kejauhan, pria itu sudah tampak menawan. Setelan kasual yang dikenakan mampu menyamarkan usia aslinya yang hampir kepala lima.
“Pokoknya, kalau sampai zonk, gue bakal bikin perhitungan sama lo.” Dia mengancam, masih sambil memperhatikan Janu yang tampak sibuk dengan tab di tangan.
“Nggak akan zonk, Kay. Ko Daniel nggak mungkin kasih yang zonk ke lo. Sekali aja deh, percaya sama gue.”
Kayanara menghela napas rendah. “Ya, ya. Kita lihat aja nanti.” Pungkasnya. Terlalu malas mendebat Michelle lebih jauh karena gadis itu selalu punya seribu satu alibi.
Telepon baru diputus ketika seseorang tiba-tiba saja menabrak Kayanara dari belakang, membuat ponsel yang masih menempel di telinganya terlempar sebelum akhirnya mendarat mengenaskan di aspal.
“God!” Kayanara memekik heboh. Serabutan tangannya terulur menyambar benda pipih malang itu dan segera mengecek kondisinya. Dia berdecak sebal tatkala menemukan bagian layarnya retak seperti habis diketuk palu kuat-kuat. Beruntung sudah sempat dipasang screen protector yang cukup tebal. Kalau tidak, bisa repot urusan.
Selesai dengan urusan ponsel, Kayanara beralih menatap nyalang si pelaku penabrakan. Seorang pemuda sekitar usia 20-an berdiri congkak di depannya. Wajahnya datar, penampilannya urakan—celana jeans robek-robek, jaket belel, dan kaus hitam dengan motif sablon yang norak.
“Lain kali hati-hati, dong! Nggak lihat ada orang segede ini?” ocehnya.
“Bukan salah gue. Lo yang berdiri di tengah jalan.” Si pemuda menyahut santai. Seketika, dua tanduk iblis berwarna merah muncul di kedua sisi kepala Kayanara.
“Bukan salah lo? Gimana bisa itu bukan salah lo? Jelas-jelas gue lagi diem aja dan lo tahu-tahu nabrak gue sampai bikin hape gue jatuh!” semprotnya. Seraya mengacungkan ponsel yang retak untuk menunjuk-nunjuk wajah tengil si pemuda.
Yang lebih menyebalkannya lagi, si pemuda sama sekali tidak tampak terusik. Padahal Kayanara sudah mencak-mencak, garang pol seperti bisa menelannya hidup-hidup tetapi, si pemuda masih saja memasang wajah datar dan malah mengedik abai.
“Keriput lo tuh di mana-mana. Saran gue, kurang-kurangin deh marah-marah.” Enteng sekali mulutnya mencibir. Sehabis itu pun, pemuda berambut ikal kecokelatan itu berbalik dan melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan Kayanara dengan bibir terbuka lebar—cengo.
“Yak! Dasar bocah zaman sekarang, nggak ada sopan-sopannya sama orang tua!” teriak Kayanara kesetanan ketika si pemuda sudah terlampau jauh pergi.
“Gue tandain muka lo, ya! Awas kalau kalau sampai kita ketemu lagi, bakal gue kasih pelajaran biar ngerti tata krama!” kutuknya sungguh-sungguh.
God, kalau sudah begini, apanya yang cerah? Kayanara merasa harinya baru saja berubah mendung, dirundung awan kelabu.
...🌼🌼🌼🌼🌼
...
Setelah melalui drama menyebalkan dengan si pemuda tidak sopan, Kayanara akhirnya bisa menampakkan diri di depan Janu. Tak sulit baginya untuk menyetel senyum karier demi membangun image yang baik pada pertemuan pertama mereka hari ini. Walaupun sebenarnya, dia juga mau-tidak-mau datang ke sini.
“Silakan duduk.” Janu mempersilakan. Dengan sopan, lelaki itu menarik kursi agar Kayanara bisa duduk.
Kayanara tersenyum tipis. “Terima kasih,” ucapnya, lantas menduduki kursi yang telah Janu siapkan untuknya.
“My pleasure.” Janu menanggapi seraya duduk di kursinya lagi.
Tak lama berselang, seorang pelayan perempuan datang membawakan satu gelas Ice Matcha Latte dan satu gelas Ice Americano. Dengan sigap, Janu membantu pelayanan tadi menggeser gelas Ice Matcha Latte ke depan Kayanara, sementara Ice Americano dia tarik ke hadapannya.
“Terima kasih,” ucap Janu. Si pelayan menyahut singkat sambil tersenyum, lalu pergi undur diri. Meninggalkan meja Janu dan Kayanara yang diliputi hening selama beberapa saat.
Kayanara terpaku sejenak. Menatap gelas Ice Matcha Latte di hadapannya dengan terheran-heran. Pasalnya, tidak banyak yang tahu kalau dirinya suka minuman yang satu itu. Kebanyakan orang tahunya dia suka Caramel Macchiato. Karena kalau pergi hangout, dia lebih suka memesan menu itu.
“Saya tanya sama Michelle apa yang kamu suka, biar nggak salah pesan.”
Informasi yang Janu berikan itu berhasil membuat Kayanara menaikkan lagi pandangannya. Netranya gantian terpaku pada manik kelam sang pria, cukup merasa tersentuh atas effort yang dikeluarkan oleh si duda anak dua.
Iya, iya. Itu bare minimum, Kayanara tahu. Tapi zaman sekarang, susah sekali mencari seseorang yang seniat itu mencari tahu tentang apa yang kita suka dan yang tidak. Sekalinya mau, kadang mereka malah menggunakan hal tersebut untuk membuat kita mengikuti seleranya, kalau dirasa selera kita tidak sesuai dengan standar miliknya.
Maka, bukankah wajar jika Kayanara memberikan apresiasi atas usaha Janu kali ini?
Oke, satu poin plus.
“Thank you, I appreciate it.”
“Not a big deal.” Janu menjawab sambil menyunggingkan senyum. Kemudian, dia lebih dulu menyambut Ice Americano miliknya sebelum mengisyaratkan kepada Kayanara untuk melakukan hal serupa.
Kayanara pun turut mengambil Ice Matcha Latte miliknya. Menyedot cairan hijau yang kata orang-orang rasanya mirip rumput itu secara perlahan. Menyesapi rasa uniknya yang menari-nari di lidah. Meninggalkan sensasi pahit—tapi nikmat—yang muncul di akhir.
Baru saja akan memulai pembicaraan setelah meletakkan kembali gelasnya, Kayanara dan Janu dibuat menoleh serempak ketika sebuah suara datang menyapa dari sisi meja.
“Ayah....”
Bersambung....