Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak bisa kabur
Nathan dan Jema sampai di sebuah bengkel yang sudah tutup. Tempat itu biasa dijadikan basecamp anak-anak motor—Nathan, Tian, dan Raka. Nathan membuka pintu samping yang tidak terkunci, lalu mengajak Jema masuk. Mereka melewati lorong sempit hingga tiba di sebuah ruangan kecil. Di dalamnya ada kasur tipis di sudut ruangan, sofa yang sudah usang, beberapa kursi plastik, serta meja kayu dengan permukaan terkelupas. Lampunya redup, membuat suasana terasa asing dan sedikit menyeramkan.
“Lo bisa tidur di situ,” ucap Nathan sambil menunjuk kasur di sudut ruangan.
“Di situ?” Jema memastikan, suaranya ragu.
“Iya. Jadi mau tidur di mana? Di lantai?” jawab Nathan datar.
Jujur saja, Jema merasa tidak nyaman. Ia menatap sekeliling ruangan sekali lagi.
“Yaudah, Lo tidur di sini dulu. Gue mau pulang,” lanjut Nathan.
“Apa?” Jema menatapnya kaget. “Lo mau pulang?”
“Ya terus? Gue ngapain lagi? Gue udah cariin Lo tempat tinggal.”
“Lo mau ninggalin gue di sini? Sendirian?”
“Lo nggak berani? Di sini aman kok. Nggak ada apa-apa.”
Tiba-tiba Jema menangis. Nathan terkejut, refleks menoleh cepat ke arahnya.
“Kok Lo malah nangis sih?”
“Masa Lo mau ninggalin gue di sini sih?” suara Jema bergetar. “Kenapa Lo nggak bawa gue ke rumah Lo, Nathan? Gue nggak mau di sini sendirian. Kalau ada maling gimana? Kalau ada orang jahat gimana? Gue takut. Kok Lo tega banget ninggalin cewek di sini sendirian? Gue nggak mau…”
Tangisannya semakin keras. Nathan panik. Ia langsung menghampiri Jema yang duduk di atas kasur, bahunya bergetar hebat.
Nathan bingung harus ngapain. Ia ingin menyentuh Jema, tapi ragu. Tangannya bergerak tak karuan, lalu ia menggaruk kepalanya frustasi.
Jema masih menangis.
“Hei…” Nathan menoel lengan Jema dengan satu jarinya. Gadis itu tetap menutupi wajahnya.
“Gue tau Lo benci sama gue,” ucap Jema di sela tangisnya, “tapi jangan tinggalin gue di sini. Lo mau bunuh gue ya, Than? Lo mau nyerahin gue ke para preman ya?”
Nathan memijat pelipisnya. “Gue nggak punya pikiran kayak gitu, Jema. Kenapa pikiran Lo jauh banget?”
“Tapi Lo bawa gue ke sini, terus Lo mau pulang. Apa namanya kalau bukan jahatin gue?”
Tangan Nathan terangkat, lalu menyentuh kepala Jema pelan.
“Terus Lo maunya gue gimana?” tanyanya akhirnya.
“Ya Lo jangan pulang,” jawab Jema lirih. “Bisa nggak sih gitu aja, nggak usah gue bilang lagi?”
Jema mengangkat kepalanya dan menatap Nathan, matanya merah dan basah oleh air mata.
Nathan terdiam beberapa detik, menatap mata Jema yang memerah dan basah oleh air mata. Untuk pertama kalinya, gadis itu tidak terlihat galak, tidak juga nyebelin. Yang ada hanya ketakutan—polos dan jujur.
“Lo tuh…” Nathan menghela napas panjang. “Nyusahin gue tau nggak sih?”
Jema menunduk, air matanya terus jatuh.
Nathan mendecakkan lidah, lalu menjauh selangkah. Ia kembali mengacak rambutnya frustasi. “Gue ajak Lo kesini, karena cuma ini tempat yang aman Jema. Meskipun Lo lihat kondisi tempat ini memang agak kumuh, tapi setidaknya Lo bisa istirahat disini. Gue akui, gue emang sering jahilin Lo, gangguin Lo, tapi bukan berarti gue bertindak sejauh itu buat nyakitin Lo. Pikiran Lo terlalu jauh tentang gue... gue nggak sejahat itu..."
Jema masih menangis.
"Ga mungkin kita disini berduaan"
"Kan kita ga ngapa-ngapain Nathan"
"Iya kita emang ga ngapa - ngapain, terus apa kata orang besok pagi kalau lihat kita keluar dari tempat ini?"
"Ya tinggal bilang aja kalau kita adik kakak"
Nathan terdiam. Ia tidak tahu harus merespon apalagi.
Ia menoleh ke kasur kecil di sudut ruangan, lalu ke sofa usang yang sandarannya sudah miring. Lampu remang-remang membuat suasana semakin canggung.
“Gini aja,” ucap Nathan akhirnya. “Lo tidur di kasur.”
“Terus Lo?”
Nathan menunjuk sofa. “Gue disitu.”
Jema mengerjap, seolah memastikan ia tidak salah dengar. “Beneran?”
“Iya. Tapi jangan GR,” sahut Nathan cepat. “Lo juga harus mikirin ke depannya mau tinggal dimana, gue ga bisa terus-terusan nemenin Lo disini.”
Jema menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. Tangisnya mulai mereda, meski bahunya masih naik turun.
“Thank you…” ucapnya lirih.
Nathan mendengus. “Belum apa-apa udah nangis aja.”
Namun ia tetap mengambil selimut tipis dari sudut ruangan dan melemparkannya ke arah Jema. “Pakai itu.”
Jema menangkap selimut itu, lalu berbaring perlahan di kasur kecil. Tangannya masih menggenggam ujung selimut erat, seolah takut Nathan berubah pikiran.
Nathan duduk di sofa usang itu, menyilangkan tangan di dadanya. Pandangannya menatap langit-langit bengkel yang kusam, penuh noda minyak dan sarang laba-laba. Kepalanya terasa berat. Pikirannya kacau.
Kenapa dia harus sejauh ini bantu Jema?
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang canggung, hanya suara malam dan dengungan lampu remang yang menemani.
“Nathan…” panggil Jema pelan dari arah kasur.
“Apa lagi?” jawab Nathan tanpa menoleh.
“Lo… beneran nggak pulang, kan?”
“Nggak, Jema…”
Nada suara Nathan terdengar datar, tapi cukup membuat Jema menghela napas lega.
Gadis itu bangun dari kasur, lalu berdiri menghampiri Nathan yang masih duduk di sofa.
“Mana kunci kereta Lo?” tanya Jema tiba-tiba.
Nathan membuka mata dan terkejut. Jema sudah berdiri tepat di hadapannya.
“Buat apa?”
“Siniin, buruan…”
“Mau ngapain sih?” Nathan mulai waspada.
Tanpa menjawab, Jema langsung merogoh saku celana Nathan. Refleks, Nathan menangkap pergelangan tangannya.
“Eh—”
Gerakan Jema jadi tak terarah, tangannya bergerak ke sana kemari. Nathan akhirnya menahan bahu Jema dengan kedua tangannya agar gadis itu berhenti.
“Gue yang ambil,” ucap Nathan cepat.
Jema menghentikan gerakannya dan menarik tangannya dari saku celana Nathan.
Nathan merogoh saku sendiri, mengambil kunci motor itu, lalu menyerahkannya pada Jema.
Jema langsung mengambilnya.
“Biar Lo nggak kabur,” katanya serius, “dan supaya gue tenang tidurnya. Gue yang simpan kunci motor Lo.”
Ia memasukkan kunci motor itu ke dalam bajunya.
Nathan refleks mengalihkan pandangannya ke arah lain, sedikit tidak nyaman.
“Gini kan aman,” lanjut Jema pelan. “Lo udah boleh tidur…”
Nathan menghembuskan napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa.
Ia benar-benar terjebak sekarang, Nathan menutup matanya perlahan.
Jema tersenyum kecil, lalu mengintip Nathan.
“Good night, Nathan…”
Nathan tidak menjawab.
"Nathan Lo kabur ya?"
"Lo bisa diam gak?"
"Oke Nathan..."