kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
paket misterius..
Fajar menyingsing, membiaskan cahaya jingga di balik tirai mansion. Suasana pagi yang seharusnya tenang terasa tegang, terutama bagi Axel yang semalaman tidak bisa tidur.
Saat Dokter Mark baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu, Axel langsung menyongsongnya dengan wajah tegang.
"Mark, kenapa lama sekali?" suara Axel terdengar menusuk, tak sabar. "Cepat periksa Rara! Semalaman suhu badannya naik."
Mark mendesah kecil, tahu betul sifat sahabatnya yang tak sabar. "Huft, baiklah," jawabnya seraya mengayunkan tas dokternya. Ia melangkah cepat menuju kamar Rara.
Sepuluh menit kemudian, Mark keluar dengan ekspresi serius. Setelah menuliskan resep di sebuah kertas kecil, ia menatap Axel.
"Traumanya tidak sepenuhnya kembali, xel. Dia hanya dehidrasi dan syok berat akibat kekerasan yang dialaminya. Tubuhnya memang lemah, tapi syukurlah tidak ada cedera fatal."
Rahang Axel mengeras, matanya menatap kosong ke depan. Dalam benaknya, bayangan Rara yang tak berdaya berkelebat.
"Bram, kau akan menerima mayat anakmu," desisnya dalam hati, penuh kebencian yang mendalam. "Karena kau telah berani menyentuh milikku, kau akan membayar dengan darah."
"Rico!" panggil Axel dengan suara rendah namun tajam. "Tebus obat ini. Jangan sampai ada keterlambatan sedikit pun!"
"Iya, Tuan," sahut Rico sigap, segera mengambil resep itu dan bergegas pergi dari mansion. Begitu berada di dalam mobil, Rico menggerutu pelan.
"Untung gajinya gede. Kalau tidak, sudah kutinggal pergi bos seenak jidatnya begini." Ia melaju membelah jalanan, cepat dan cekatan.
"tidak ada niatan memberiku sarapan xel,"celetuk mark,mengusap peruty yang keroncongan."laper tahu".
Axel menoleh pada salah satu maid,"Bi tolong siapkan sarapan buat dokter mark"
"sudah dsiapakan tuan"jawab maid itu dengan sopan.
Mereka berdua akhirnya turun untuk sarapan di meja makan utama.Baru saja suapan pertama masuk ke mulut,sebuah teriakan histeris memecah keheningan dilantai atas.
"mas Axel tolong Rara,aku takut"ucapnya parau.
Axel sontak berdiri, menjatuhkan sendoknya. Tanpa memedulikan Mark yang terkejut, ia berlari sekencang mungkin menuju kamar. Ia menemukan Rara meringkuk di sudut tempat tidur, gemetar hebat, air mata membasahi pipinya.
"Hey, Sayang! Ini Mas, Rara aman sekarang," ucap Axel lembut, segera memeluk tubuh rapuh itu. Ia mengusap-usap punggung Rara berulang kali, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu liar.
Perlahan, Rara mulai tenang. Ia melepaskan pelukan Axel, menatap intens wajah kekasihnya dengan mata sembab. "Jangan tinggalin Rara di sini, Mas... Rara takut," suaranya parau dan bergetar. "Mereka jahat, Mas... Mereka membunuh Pak Sopir di depan Rara..."
"Kak Maya... Kak Maya!" Rara kembali terisak, memanggil nama itu berulang kali.
Axel menatap Rara, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. "Sayang, tenang dulu. Kak Maya sedang istirahat. Sekarang, kamu makan dulu, ya?" Ia mengusap lembut pipi Rara.
Dengan telaten, Axel menyuapi Rara satu per satu suapan bubur. Ruangan kembali hening, hanya ada suara sendok yang beradu dengan mangkuk, dan isakan samar Rara.
Setelah Rara selesai makan, pintu terbuka dan Rico masuk membawa sekantong obat. Rara meminum obat itu, dan tak lama kemudian, matanya perlahan terpejam, kembali terlelap dalam tidurnya.
"Mark," ucap Axel, suaranya kini kembali dingin dan tegas. "Tolong jaga Rara sebentar. Aku harus ke markas." Ia melirik Rico. "Kau ikut aku."
Tanpa menunggu jawaban, Axel dan Rico segera meninggalkan mansion, bergegas menuju markas rahasia mereka. Sesampainya di sana, beberapa anak buah menyambut mereka dengan hormat, merasakan aura tegang dari pemimpin mereka.
Axel langsung menuju ke sel Calvin. Di balik jeruji besi, Calvin duduk meringkuk, tampak ketakutan. Tanpa sepatah kata atau peringatan, Axel mengangkat pistolnya. DOR! Suara tembakan memekakkan telinga. Peluru menembus paha Calvin. Pria itu menjerit, roboh ke lantai, memegangi lukanya yang langsung menyemburkan darah segar
"Akkkhhhh! S-sakit!" teriak Calvin, gemetar dan air mata bercampur peluh membasahi wajahnya.
Axel mendekat ke jeruji, seringai dingin terukir di bibirnya. Matanya menatap Calvin yang kesakitan dengan kebencian tak terbatas. "Ini belum seberapa," desisnya rendah, suaranya mengandung ancaman yang menusuk tulang. "Ini baru permulaan."
😍
Setelah puas melihat Calvin menjerit dan berguling-guling dalam penderitaan, Axel memberi isyarat. Seorang anak buah segera menyodorkan pedang samurai kesayangannya. Bilah baja itu berkilauan memantulkan cahaya redup sel, gagangnya terasa dingin di genggaman Axel.
Tanpa ragu, tanpa aba-aba, ia mengayunkan pedang itu ke leher Calvin. Ssstt! Bruk! Kepala Calvin terlepas dari badannya, menggelinding di lantai beton yang kini tergenang darah segar.
Tubuh Calvin kejang sesaat sebelum akhirnya diam tak bergerak, genangan darah semakin membesar.
Axel membersihkan sedikit darah dari bilah pedangnya dengan kain, lalu menatap Rico.
"Rico, antar kepalanya ini ke Bram," perintahnya, suaranya sedingin es. "Pastikan dia menerima 'paket' ini secara langsung."
Rico menelan ludah, wajahnya memucat, namun ia tetap menjawab tegas, "Baik, Tuan."
Axel berbalik, meninggalkan pemandangan mengerikan itu dengan langkah tenang, seolah baru saja menyelesaikan tugas rutin. Ia melangkah pergi untuk membersihkan diri, menghilangkan noda darah yang mungkin menempel.
Sementara itu, Rico, dengan perut mual dan napas tertahan, menjalankan perintah. Ia bergidik ngeri membayangkan kebrutalan yang baru saja disaksikannya. Dengan tangan gemetar, ia membungkus kepala Calvin ke dalam sebuah kotak, berusaha agar tidak terlihat.
Selesai membungkus, Rico menyuruh anak buahnya yang lain untuk mengantar 'paket' itu ke alamat yang tertera, dengan menyamar sebagai kurir pengantar barang. Sebuah cara yang paling tidak mencurigakan.
Tak lama kemudian, ponsel Rico berdering. Itu adalah panggilan dari bodyguard yang ditugaskan menjaga Suster Maya.
"Maaf, Tuan," suara di seberang terdengar terburu-buru, "Suster Maya sudah sadar dari komanya!"
Mata Rico melebar sedikit. "Oke, kita segera ke sana," jawabnya, segera mematikan panggilan.
Rico bergegas menuju kamar mandi tempat Axel membersihkan diri. Ia mengetuk pintu. "Permisi, Tuan,Saya baru saja mendapat kabar kalau Suster Maya sudah sadar."
Axel hanya mendeham, namun Rico bisa melihat sekelebat emosi yang sulit diartikan di mata dingin bosnya. Mungkin itu kejutan, mungkin kelegaan, atau mungkin sesuatu yang lebih kompleks.
Rencananya, setelah meninggalkan markas, mereka akan langsung menuju rumah sakit untuk menjenguk Maya. Namun, di tengah perjalanan, ponsel Axel bergetar. Sebuah pesan dari Mark:
"Rara mencarimu, dia terlihat gelisah sekali, Xel."
Axel menghela napas. Urusan Rara lebih mendesak. "Rico, putar balik," perintahnya tegas. "Kita kembali ke mansion.
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu