Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 04 Manusia?
Dzaka menghentikan motornya di depan pagar hitam yang menjulang tinggi. Tak lama seorang petugas keluar dari pintu yang terletak di samping pagar.
Setelah melihat Dzaka, petugas itu menyampaikan laporan pada tuannya lewat alat komunikasi.
Pagar itu perlahan terbuka dan Dzaka menghidukan motornya kembali untuk memasuki pelataran bangunan bak istana itu.
Setelah memarkirkan motornya, Dzaka melangkah masuk disambut seorang petugas yang mengantarkannya menuju ruang yang akan dituju.
“Wah, udah lama gak ketemu ya? Ada apa gerangan sepupu tercintaku ini sampai di rumah ini?” Sadar dengan ucapannya sendiri, sosok itu melanjutkan pertanyaannya, "Ada masalah apa?" tanya cowok itu dengan nada khawatir.
Dzaka mengalihkan pandangan ke arah lain dengan malas. Entah mengapa Dzaka tak suka ditatap khawatir seperti itu oleh manusia satu ini. Dzaka memilih melanjutkan langkahnya tanpa membalas ucapan cowok itu.
Sampai di depan pintu ruang yang dituju, petugas itu masuk duluan dan keluar tak lama.
“Tuan Muda! sudah ditunggu oleh tuan di dalam,” ujarnya membukakan pintu untuk Dzaka.
Dzaka mengangguk pelan dan melangkah masuk ke dalam ruang besar itu. Baru masuk saja Dzaka sudah merasakan aura mencekam dari ruangan ini. Bukan karena suasana horor atau sebagainya, tapi aura kewibawaan sosok yang kini berdiri membelakanginya.
“Kamu tahu alasan saya memanggil kamu ke sini?” tanya sosok itu seraya membalikkan badannya menghadap Dzaka.
Dzaka hanya mengangguk pelan seraya terus menunduk. Ia tak berani menatap sosok itu mengingat apa yang ia lakukan semalam. Harusnya Dzaka tidak bersikap gegabah seperti itu.
“Lantas apa alasan kamu sampai tidak ikut serta dalam olimpiade sains kemarin?” Pertanyaan itu sukses membuat Dzaka mengangkat kepalanya menatap sosok itu heran. Dzaka bahkan tidak tahu ada olimpiade sains.
“Tidak ada olimpiade sains beberapa waktu belakang,” jawabnya sedikit terbata lantaran gugup.
Jawaban Dzaka membuat rahang sosok itu mengeras. “Bagaimana mungkin kamu tidak tahu?! Apakah kamu tidak mengikuti pelatihan olimpiade sains lagi?!”
“Dua minggu belakangan memang tidak ada pelatihan olimpiade sains.”
Dzaka juga sempat berpikir bahwa ini aneh sekali. Tumben pelatihan olimpiade ditiadakan. Biasanya hal itu terjadi jika utusan yang akan dikirim untuk olimpiade sudah diputuskan.
“Lantas apa kamu tidak menaruh curiga? Kenapa kamu terima begitu saja, hah?!”
Nyali Dzaka menciut mendengar nada suara sosok itu yang meninggi. Ya, seharusnya Dzaka menaruh curiga akan keadaan yang tidak biasa ini.
Namun, Dzaka memilih abai dan malah bernapas lega dengan berkurangnya beban yang dia tanggung.
Sosok itu tampak mencoba menghubungi seseorang. Bahkan dengan melihat raut wajahnya saja Dzaka tahu, ‘orang itu’ benar-benar marah saat ini. Nada suaranya saat berbicara memang datar, tapi penuh penekanan.
“Kamu boleh pergi! Saya yang akan mengurus semua ini. Kamu tinggal menjalankan apa yang sudah saya atur untuk kamu dengan baik. Mengerti?!”
Dzaka mengangguk patah-patah kemudian berbalik menuju pintu dan diantar kembali ke luar rumah untuk mengambil motornya. Setelahnya Dzaka bergerak meninggalkan pelataran rumah yang luas itu menuju rumahnya.
...----------------...
“Gak usah, Bi. Saya nunggu Dzakanya di sini aja. Paling bentar lagi juga pu—”
Suara deru motor Dzaka menghentikan ucapan cowok itu dan menghadirkan senyuman di wajahnya.
“Nah bener, kan, Bi? Ikatan batin saya sama Dzaka itu udah erat banget. Haha.” Raffa tertawa renyah.
Dzaka langsung ber-tos dengan Raffa dan berjalan bersisian meninggalkan Bi Edah yang tersenyum melihat kepergian mereka.
Mereka langsung menuju kamar Dzaka di lantai dua. Karpet beludru itu kini sudah menjadi wilayah kekuasaan Raffa. Cowok itu dengan santainya rebahan menunggu Dzaka berganti pakaian.
“Ka, dari mana?” tanya Raffa setelah Dzaka keluar dari kamar mandi.
“Istana sultan,” balas Dzaka cuek seraya menghubungkan charger ke ponselnya.
Raffa mengangguk singkat. “Soal semalam, ya?” lanjutnya penasaran.
Dzaka menggeleng singkat. “Olimpiade sains, Fa.”
Dzaka mengambil beberapa camilan dari lemari khusus camilan dan teh kotak dari kulkas kecil di sudut kamar.
“Lah, kapan? Bukannya kalau mau olimpiade itu lo sibuk seleksi, ya? Tapi, kan, dua minggu ini lo libur latihan.” Raffa menyobek kemasan keripik di depannya dan langsung memakannya.
“Udah selesai. Gue yang gak dapat info,” balas Dzaka seadanya membuat Raffa terkekeh pelan.
“Itu guru sok-sokan emang. Gak tau aja kalau berurusan sama cucu sultan satu ini sama aja cari mati. Ck ... ck ... ck.” Raffa berdecak tak percaya dengan tindakan gegabah dan sia-sia yang dilakukan guru itu.
Dzaka hanya mengedikkan bahu tak peduli. Toh, nanti juga semua akan diselesaikan oleh ‘orang itu’ dengan kekuasaannya.
“Main PS di bawah, kuy! Mumpung gue ada waktu,” ajak Dzaka seraya bangkit terlebih dahulu meninggalkan Raffa yang masih menghabiskan keripik kentangnya.
“Ka!” Raffa mencoba memulai percakapan yang serius meski ia tetap sibuk bermain.
Dzaka berdehem sebagai jawaban. Raffa terdiam sejenak menimbang-nimbang kata-kata yang harus ia gunakan agar tidak menyinggung perasaan Dzaka.
“Sampai kapan lo mau kayak gini? Didikte dari a sampai z dalam kehidupan lo dan harus berjalan sesuai jalur yang udah ditentuin.”
Ya, akhirnya Raffa mampu menyampaikan uneg-unegnya.
Dzaka terdiam, bahkan membiarkan ia dikalahkan oleh Raffa. Hal itu tentu membuat Raffa menoleh dan mendapati wajah sendu dari sahabatnya itu.
“Sampai kapan, ya .... Sampai gue punya kekuasaan untuk menggerakkan diri gue sendiri, Fa. Sampai gue ... punya sesuatu yang bisa menjamin diri gue untuk bisa hidup sebagai manusia,” balas Dzaka dengan senyuman yang membuat Raffa merasa sesak.
Dzaka terkekeh pelan dengan mata menyorot kosong ke depan. “Aneh, ya, Fa. Bisa-bisanya gue hidup dalam dua wujud. Dari 24/7, gue bisa hidup sebagai manusia boneka. Haha.”
Tawa itu terdengar menyakitkan. Bahkan Raffa mampu merasakan betapa beratnya beban dari tawa itu. Tangan Raffa menepuk pelan pundak Dzaka mencoba memberi kekuatan pada tonggak rapuh itu.
Dzaka menoleh ke arah Raffa masih dengan senyum sendu yang menghiasi wajahnya.
Raffa mengepalkan tangannya menahan emosi yang membuncah. Bagaimana mungkin Dzaka menganggap dirinya sendiri sebagai boneka. Sahabatnya itu manusia. Bukan boneka.
“Berhenti bilang kalau diri lo itu boneka, Ka! Lo itu manusia, Ka! MANUSIA!” ujar Raffa penuh penekanan.
Dzaka menunduk. “Tapi gak ada yang memanusiakan gue, Fa.” Genangan air di sudut matanya semakin sulit untuk dibendung.
“Lo cuma perlu berusaha lebih keras, Ka. Sampai ‘orang itu’, orang yang udah semena-mena mendikte hidup lo, sadar. Kalau lo itu sangat-sangat berharga.” Raffa menatap tepat pada kedua bola mata Dzaka yang kini sudah basah karena air mata.
Raffa pun tak mampu menahan derai air matanya. “Ck .... Ini mata pake acara nangis segala lagi,” ujarnya seraya mengusap air mata yang meluruh di pipinya.
“Kalau Pak Ahmad tau nih, ya, jatuh harga diri gue.” Ucapan Raffa mampu membuat Dzaka tergelak. Dzaka mampu membayangkan bagaimana reaksi Pak Ahmad—ayah Raffa—melihat Raffa menangis seperti ini.
“Haha .... Langsung dicoret lo dari data anggota pelatihan Geng River. Haha.”
Dzaka membiarkan tawanya terdengar lepas di telinga Raffa, agar sahabatnya itu berhenti mengkhawatirkannya. Apa yang dirasakannya cukup menjadi bebannya. Dzaka hanya ingin orang-orang melihat sisi bahagianya--sisi yang selalu ia perlihatkan pada semua orang selama ini.
Lo pasti bisa mengambil kembali hak atas diri dan hidup lo dari orang itu, Ka. Pasti, batin Raffa.