NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

“Dok, ini yang nomor tujuh belum mau minum obatnya. Ibunya bilang dia rewel terus dari pagi.”

Hanif menoleh ke perawat yang menyusul langkahnya ke lorong ruang rawat anak. Wajahnya tetap tenang, seperti biasa. Tapi matanya langsung bergerak cepat ke nama pasien di daftar. Arya, empat tahun. Dirawat karena pneumonia ringan. Sudah tiga hari di ruang isolasi.

Ia membuka pintu perlahan. Di dalam, anak laki-laki kecil itu meringkuk di pojokan ranjang, mukanya sembab, rambutnya acak-acakan. Ibunya berdiri di samping tempat tidur, wajah cemas bercampur lelah.

“Dok...,” sapa Ibu itu.

Hanif mengangguk, mengulum segaris senyum ramah sebelum akhirnya mendudukkan diri di tepi brankar, merendahkan diri sejajar dengan pandangan bocah itu.

“Pagi, Arya.” Suara Hanif bergumam pelan. Tapi anak itu tak menoleh. Maka Hanif pun mengusap puncak kepalanya pelan.

“Kamu udah makan belum, hmm?”

Arya tidak menjawab. Ia memeluk bantalnya makin erat, kepala menggeleng pelan. Suaranya masih serak karena batuk.

“Dengar-dengar kamu suka robot? Kemarin dokter Hanif liat kamu mainin robot dinosaurus, ya?”

Anak itu menoleh sedikit. Masih cemberut, tapi rasa penasaran sudah muncul di matanya. Hanif tersenyum, lalu mengeluarkan satu stiker hologram kecil dari saku jasnya. Bergambar robot biru menyala.

“Kalau Arya bisa minum obat sirupnya sampai habis, stiker ini punya kamu. Deal?”

Arya menatap ragu, tapi matanya berkaca-kaca.

“Serius?”

Hanif mengangguk. “Tentu. Nggak cuma kali ini. Besok kalau dokter dapat laporan kamu minum obatnya yang rajin, dokter bawain mainan yang lebih banyak. Setuju?”

Arya akhirnya mengangguk. Pelan, tapi pasti. Hanif menyuapkan obatnya sendiri, sabar menunggu sampai setetes terakhir tertelan.

“Good job!” serunya pelan sambil menepuk kepala Arya. Ia tempelkan stikernya di ujung tempat tidur, membuat anak itu tersenyum kecil untuk pertama kalinya hari itu.

Ibunya mengusap air mata. “Terima kasih, Dok. Andai semua dokter sepeduli ini…”

Hanif hanya mengangguk pelan. “Anak-anak cuma perlu diajak ngobrol. Kadang mereka lebih peka dari kita.”

Dan setelahnya dia memeriksa kondisi Arya, lantas meresepkan obat pada perawat yang bertugas. Sebelum ia keluar dari ruangan itu, Arya memegangi tangannya.

“Terima kasih, Pak Dokter,” cicit Arya malu-malu.

Hanif tersenyum tulus. Dia usap puncak kepala Arya sambil berkata, “sama-sama, anak manis. Jangan lupa minum obatnya. Besok kita ketemu lagi.”

“Bawain aku mainan, ya!”

“Arya,” tegur sang ibu.

Hanif menoleh sambil mengangguk ringan, “biar aja Bu, nggak apa-apa. Asal dek Arya cepat sembuh.”

“Sekali lagi makasih ya, Dok. Maaf jadi ngerepotin.”

“Nggak masalah.”

Begitu keluar dari ruangan, langkah Hanif melambat. Senyumnya memudar.

Ia sudah terbiasa menenangkan anak-anak. Mengusap punggung yang kecil. Menyeka air mata mungil. Tapi ia belum pernah tahu cara menyembuhkan dirinya sendiri.

Hanif, anak pertama. Cucu pertama. Harapan pertama.

Sejak kecil, ia ditanamkan banyak hal: harus pintar, harus tenang, harus bisa jaga nama baik keluarga. Kalau adik salah, kakak yang diminta mengalah. Kalau nilai turun sedikit, langsung dibandingkan. Dan ketika tumbuh dewasa, tekanan itu berubah jadi tuntutan lain: harus jadi panutan, harus sukses, harus punya keluarga yang harmonis.

Tapi sampai hari ini, Hanif masih sendiri.

Tiap melihat anak-anak, ia juga teringat dengan mimpi-mimpinya dengan Yuna—sang mantan kekasih—yang terpaksa harus dikubur dalam-dalam.

Tinggal selangkah lagi menuju pelaminan, Yuna malah memilih karir dan pendidikannya. Yang membuat dirinya sadar mereka berbeda prinsip, dan mau tak mau harus ia lepas demi kebaikan mereka berdua.

Dan Jenar...

Perempuan yang dulu sering hadir, tapi tak pernah benar-benar dilihat. Sampai akhirnya ia pergi. Jenar—perempuan yang sering ke rumahnya karena berteman dengan Hana, adiknya. Hanif tahu gadis itu sering mencuri-curi pandang padanya, atau sekedar membahas sesuatu yang membuatnya ikut menimbrung. Kadang terdengar pula suara berisik mereka berdua. Seperti;

“Itu Mas gue di kamar. Lo nanya-nanya apa, kek, gitu, tentang kesehatan anak! Buruan!”

“Nggak, ah. Gue malu, Han.”

Hanif menyadarinya terlambat—setelah Yuna pergi. Ia biarkan air mata Jenar jatuh beberapa kali karena dirinya. Sampai akhirnya perempuan itu menemukan tambatan hati, pria yang tulus mencintainya dan membawanya ke jenjang pernikahan.

Sekarang, Hanif tak punya siapa-siapa. Kecuali pekerjaannya. Dan adiknya, Hana, yang baru tadi pagi mengirim pesan:

[Mas, aku nikah tiga bulan lagi. Tolong bawa pasangan ya. Masa datang sendiri?]

Hanif tidak membalas. Tidak tahu harus bilang apa.

Ia memasuki ruang istirahat dokter. Sepi. Hanya ada bunyi jam dinding dan kulkas kecil di pojok. Bekalnya masih utuh, belum tersentuh sejak pagi. Ia duduk. Menunduk. Diam. Pergerakannya cukup tenang membuka kotak bekal itu.

Tak lama, suara baki logam menabrak meja membuatnya mendongak.

“Lo masih manusia ternyata,” suara Joe, temannya dari bagian anestesi.

Hanif tersenyum setengah. “Laper juga, Jo.”

Joe duduk, membuka bungkusan nasi padangnya.

“Gue kira lo lagi puasa batin kayak biasa.”

“Lo datang cuma buat ngejek gue?”

“Enggak. Tapi serius, lo makin kelihatan sendirian, Han. Mana bentar lagi Hana nikah, ya? Wah, harus cari pasangan sih, lo. Masa adik lo duluan yang nikah dan lo masih jomblo-jomblo aja?”

Hanif tidak menjawab. Tangannya cuma memutar sendok. Tapi Joe cukup paham. Maka ia ganti topik. Ya, bukan gimana-gimana. Hanif kalau marah bahaya juga. Mainnya silent treatment. Joe sudah dua kali menjadi samsak amukan lelaki itu. Dan bujuknya? Susah minta ampun.

“Eh, lo udah pernah ketemu kepala farmasi baru itu belum?”

Hanif melirik. “Belum.”

“Namanya Sekar. Sekar Pratiwi. Pindahan dari luar. Pintar, cantik, dingin banget. Gue banyak dapat laporan dari perawat sama staf farmasi. Nggak ada yang betah bergaul sama perempuan itu.”

Hanif mengerutkan kening. “Kenapa?”

“Gaya kerjanya kaku. Langsung ganti-ganti obat tanpa konfirmasi. Tegas, tajam, nggak suka basa-basi. Semua orang kayak... takut sama dia.”

Hanif diam. Sekar. Nama yang belum pernah ia dengar, tapi sekarang menempel di kepalanya.

“Lo jangan-jangan penasaran?” Joe menyipitkan mata, menahan tawa.

Hanif tersenyum samar.

“Nggak. Gue cuma... pengen tahu aja. Orang yang semua orang hindari... biasanya punya cerita yang gak semua orang bisa pahami.”

“Hati-hati, lho. Ntar lo jatuh cinta lagi sama dia.” Joe segera menggeleng. “Nggak ah. Gue rasa lo nggak akan segila itu jatuh cinta sama tipe-tipe kayak dia. Mantan lo aja spek Yuna. Cewek lemah lembut yang keibuan. Jangan sampai deh lo sama kulkas dingin kayak gitu,” kata Joe, pura-pura mengedikkan bahu seakan-akan terlihat ilfeel.

Hanif mengangguk yakin. “Gue juga nggak berminat buka hati lagi. Ya mungkin gue nggak ditakdirkan sama Tuhan buat punya keluarga kecil. Lagian ngelihatin anak-anak setiap hari udah lebih dari cukup, kok.”

Lalu meneguk air mineral yang ada di mejanya.

Joe hanya mengerutkan dahi, makin tak paham dengan jalan pikiran Hanif.

“Terus soal pernikahan Hana? Lo datang sama siapa nanti?”

Sendiri.” Hanif menjawab tenang, tapi yakin. “Nggak ada yang salah dengan datang ke sana sendirian, kan?”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!