NovelToon NovelToon
World Imagination

World Imagination

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Epik Petualangan / Akademi Sihir / Kehidupan Tentara / Perperangan / Barat
Popularitas:505
Nilai: 5
Nama Author: LIMS OFFICIAL

Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!

Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tunggu aku!

"Sean, apa kau sudah siap?" tanya seorang pria tua yang sudah rapi mengenakan pakaiannya.

"Sebentar kakek" jawab seorang bocah dari sebuah ruangan di lantai kedua rumah antik itu.

"Sudah kakek. Ayo kita pergi, aku takut sekali kapal akan berlayar tanpa membawa kita" kata bocah itu di anak tangga. Pria itu tertawa kecil mendengar celotehan cucunya itu.

Earnest Colbert adalah nama pria tua dengan mata biru, dan rambut yang sudah abu-abu putih. Tingginya sekitar 174 cm, dan perawakannya seperti pria tua dengan jiwa muda. Usianya 66 tahun, dan dia adalah pensiunan militer dari negara Panzer.

"Pagi komandan, apakah semua sudah siap? Atau masih ada yang tertinggal?" tanya seorang pemuda membantu Earnest mengangkat beberapa tas berisi barang-barang bawaan.

Arie Fedde adalah namanya. Pemuda berusia 26 tahun yang sudah mengikuti Earnest sejak 11 tahun yang lalu.

"Sudah, sekarang waktunya kita pergi ke pelabuhan" jawab Earnest tersenyum.

"Di mana Sean?"

Dialah si tokoh utama. Cucu dari Earnest Colbert. Namanya, Sean Colbert. Usianya 11 tahun, masih sangat muda dan labil. Namun, ia sudah menunjukkan bibit bebet bobot unggul dalam beberapa hal, salah satunya bertarung.

"Dia sudah siap" jawab Earnest tersenyum seraya menoleh ke belakang. Sean menampakkan diri.

"Pagi, Arie. Apa kau sehat?" tanya Sean menyapa pemuda yang tidak asing baginya. "Seperti yang kau lihat tuan muda. Jadi apakah kau sudah siap untuk menjelajah?" tanya Arie tersenyum.

"Tentu saja, aku dan kakek akan menjelajah. Kau juga ikut dengan kami bukan?"

Pertanyaan itu justru membuat Arie bungkam. "Aku akan menjelaskan padanya nanti" kata Earnest mengerti ekspresi Arie.

Arie mengangguk paham. "Memangnya ada apa kakek?" tanya Sean terheran. "Jika kita sudah tiba, aku akan jelaskan semua"

Topik itu seketika menghilang. Mereka memasuki kereta kuda yang disewa Arie, dan berangkat menuju stasiun, sebelum pergi ke pelabuhan.

Bahkan sampai dengan mereka memasuki kereta api, Earnest belum juga menjelaskan semuanya.

Beberapa saat perjalanan, mereka akhirnya sampai di pelabuhan. Ada banyak kapal pendatang yang berukuran besar datang berlabuh. Sebagian dari mereka penumpang konglomerat yang ingin berlibur saja, ada juga pedagang kaya, dan ada juga perantau negara lain.

"Baiklah, Sean. Kakek titipkan sesuatu untukmu" ujar Earnest membungkuk, saat ia melihat beberapa orang sudah memasuki kapal, dan kapal itu juga akan ditumpangi Sean.

Ya, Sean tidak pergi bersama kakek dan ajudan setia kakeknya.

"Apa ini kakek?" tanya Sean terheran ketika Earnest mengalungkan sebuah kalung berliontin biru laut pada leher bocah itu.

"Maafkan, kakek" gumam Earnest memeluk cucunya itu. Sean tentu terkejut. Apalagi saat ia tahu kakeknya menangis.

"Apa aku membuat kesalahan? Kenapa kakek menangis?" tanya Sean seraya mencoba melepas pelukan kakeknya itu perlahan.

"Dengarkan aku, nak. Kau akan berangkat menuju negara Panzer. Nantinya kapal ini akan berlabuh di ibu kota, seorang gadis sudah kuamanahkan untuk menyambutmu. Nama muridku Marito, dia akan menunggumu di pelabuhan. Patuhi perintahnya. Dan kalung ini, aku ingin kau selalu menjaganya" pesan Earnest menatap Sean lekat.

Bocah itu mengangguk-angguk kecil. "Aku pasti akan mengingat pesan kakek" jawab Sean yang masih polos dan belum mengerti.

"Masuklah ke dalam, kapal akan berangkat" perintah Arie seraya tersenyum. Ia menahan tangisnya. Sejak bayi, bocah itu sudah ia besarkan seperti adiknya sendiri.

Sean menurut dan memasuki kapal. "Apa yang kalian tunggu? Ayo" ajak Sean ketika ia melihat Earnest dan Arie hanya diam menatap kepergian bocah itu.

Arie mendekat pada bocah itu. "Sean, kau akan pergi sendirian" ujar Arie berdiri di hadapan bocah itu. Sean terdiam mendengarnya.

"Kalian tidak menyayangiku lagi?"

"Kami sangat menyayangimu"

"Lalu kenapa kalian tidak ikut?"

Arie terdiam. "Aku sudah berjanji pada mereka, agar kau kembali ke sana" gumam Arie tidak sanggup mengatakannya. Ingatan buruk dan pemandangan kobaran api kembali menghantui benak kecilnya.

Wajah bocah itu berubah murung. "Kakek sudah tua, dan kau sangat sibuk. Nanti siapa yang akan merawat kakek?"

Earnest menatap bocah itu terkejut.

"Sudah, nak. Kembalilah ke ibu kota, aku bisa di sini melakukannya"

"Ayah. Ayah sudah semakin tua, Arie sibuk dengan pekerjaannya. Siapa yang akan merawat ayah selain kami ?"

Earnest memandangi cucunya penuh rasa sedih. Ini adalah janjinya. Sesuatu yang harus diselesaikan oleh Sean sendiri.

"Tenang saja, bocah. Aku bisa menjaga kakek kapanpun. Tugasku kini hanya menjaga pria tua itu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan komandan, dia masih segar sekali" bisik Arie jahil.

Sean kembali tersenyum lebar. "Baiklah kalau begitu, tolong jaga kakek. Saat aku dewasa, aku akan kembali ke sini dan mengunjungi kalian. Kau harus segera menikah dengan Marry"

Earnest yang mendengarnya tertawa. Sean baru saja menyebut nama seorang gadis yang berhasil menaklukkan hati ajudannya.

"Kau benar-benar tambah menyebalkan. Hahaha" gumam Arie mengacak-acak rambut bocah itu.

"Semua penumpang silahkan masuk, kapal akan segera berangkat" perintah seorang awak kapal yang akan ditumpangi Sean.

"Pergilah, kau harus bertemu orang-orang hebat. Terutama dia" perintah Arie seraya tersenyum.

"Dia?" gumam Sean penasaran. "Kau akan tahu sendiri. Ayo segera masuk, mereka bisa saja meninggalkanmu" perintah Arie lagi.

Sean akhirnya memantapkan kakinya melangkah masuk ke dalam kapal.

Ketika Sean sudah berada di lantai teratas kapal itu. Ia kembali mencari keberadaan kakek dan pemuda dari atas kapal.

Orang-orang di sana saling melambaikan tangan pada keluarga mereka yang masih menatap kepergian kapal itu yang mulai berlayar.

"Aku akan kembali lagi kakek, Arie!" ujar Sean ketika melihat Earnest dan Arie yang memperhatikan kepergian kapal itu, sambil melambaikan tangannya.

"Pulanglah dengan sesuatu yang membanggakan, nak" tutur Earnest setengah berteriak. "Pasti! Arie, tolong jaga kakek. Kakek sangat ceroboh dalam menyimpan barang! Aku menyayangimu, Arie!"

Arie tersenyum senang mendengarnya. "Laksanakan tuan muda, aku juga menyayangimu!"

Kapal akhirnya semakin menjauh dari pelabuhan. "Aku seperti ingin menyusulnya" ujar Earnest tersenyum tenang menatap kepergian kapal itu.

"Hahaha, komandan ada-ada saja. Jika saja boleh, aku juga akan melakukannya. Aku tidak tega membiarkan bocah sepertinya bertarung mengarungi laut, menuju negeri kelahirannya"

Arie menatap lurus ke laut. "Namanya, Sean. Dia tidak akan bisa ditaklukan, layaknya laut"

Di sisi lain,

"Huh, sepi sekali. Kakek dan Arie terlalu kejam membiarkanku berlayar sendirian menuju negara yang aku sendiri tidak tahu kapan sampai ke sana"

Sean mulai merasa bosan di dalam kapal itu. "Hey, bocah. Siapa namamu?" sapa seorang pemuda pada Sean. Wajahnya, adalah ciri-ciri orang-orang dari benua kuning.

Namun bedanya, kulit pemuda itu putih bersih. Dan dari perawakannya, dia pasti anggota militer.

"Sean Colbert. Siapa namamu tuan?" tanya Sean dengan sopan. "Namaku Kawatsuichi Daisuke. Panggil saja oniisan" jawab pemuda itu.

"Nama apa itu? Aku tidak pernah mendengarnya. Dari mana asalmu?" tanya Sean terkejut mengetahui nama dan panggilan pemuda yang punya sapaan Daisuke itu.

"Hahaha. Aku sudah menduga tanggapanmu itu. Aku dari benua kuning" jawab Daisuke tertawa kecil mendengarnya.

"Pantas saja. Lalu kenapa kau menumpangi kapal ini? Apa kau akan kembali ke negaramu?" tanya bocah serba ingin tahu itu.

"Tidak tentunya. Aku akan menepi di negara aku tinggal dan bekerja, Panzer" Sean yang mendengarnya terkejut. "Aku juga ke sana. Kakek menyuruhku untuk datang ke sana" ujar Sean bersemangat.

"Kakek? Mengapa ia menyuruhmu ke sana? Siapa yang akan kau jumpai di sana?" tanya Daisuke terheran dan berubah penasaran.

"Kakek bilang aku harus belajar hal baru di sana, dia memintaku menemui seorang gadis. Aduh, aku lupa namanya" gumam Sean berubah panik.

"Hal baru? Tidak ada hal baru di negara itu, bocah" gumam Daisuke tertawa kecil. Baginya, negara itu menyimpan luka membekas di ingatannya kecilnya.

"Ahk, iya. Namanya Marito. Gadis yang harus kutemui itu namanya Marito. Kakek sering menceritakannya. Kata kakek, gadis itu punya kekuatan spesial"

Daisuke menatap Sean tidak percaya. Ia tidak salah dengar? Atau Sean salah menyebutkan nama orang yang akan ia temui? Tapi yang ia tahu, nama itu hanya satu di seluruh penjuru dunia.

"Maksudmu, Leon? Siapa nama kakekmu, bocah?" tanya Daisuke semakin penasaran.

"Ingat, tuan muda. Jangan pernah memperkenalkan komandan sebagai kakekmu, sebut saja Fredrick sebagai kakekmu"

"Kenapa?"

"Karena itu hal terlarang"

Sean teringat dengan pesan Arie. "Nama kakek Fredrick. Dia mengirimku ke sana, untuk belajar banyak hal dengan gadis bernama Marito itu" jawab Sean segera.

Daisuke mengangguk-angguk paham. Sejujurnya nama itu tidak asing. Seseorang bernama belakang 'Fredrick' itu sangat familiar, tapi dia lupa.

Daisuke menatap wajah bocah itu sejenak. "Guru ?!" batin Daisuke terkejut ketika melihat bayangan seseorang yang ia rindukan di dalam raga bocah itu.

"Kenapa oniisan menatapku begitu?" tanya Sean terheran. "Ahk, tidak ada. Kau mirip sekali dengan mendiang guruku. Bentuk mata kalian sama persis" jawab Daisuke tertawa kecil.

"Benarkah? Apakah gurumu itu kuat?" tanya Sean penasaran. "Ya, dia sangat kuat. Dia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanku. Kau tidak akan bisa menandingi kekuatannya" ketus Daisuke tersenyum bangga.

"Kata siapa? Arie bilang aku sangat kuat, bahkan aku bisa mengalahkan Arie saat latihan"

Daisuke lagi-lagi terdiam. Arie?

"Arie? Siapa dia?" tanya Daisuke lagi-lagi merasa tidak asing dengan nama itu. "Dia ajudan kakek. Dia sangat patuh pada kakek" jawab Sean bingung menatap ekspresi aneh pemuda di sampingnya ini.

"Bocah ini, dia pasti orang penting"

Daisuke segera menggeleng pelan. "Kau tahu, bocah. Aku kenal gadis bernama Marito itu. Apa kau mau aku membantumu bertemu dengannya ketika sampai di ibu kota?" tawar Daisuke segera.

Sean menatap Daisuke ragu. Bentuk tubuhnya memang terlihat seperti seorang anggota militer, tapi tidak dengan wajahnya. Daisuke seperti seorang dokter yang sedang berkelana.

"Aku anggota militer. Aku pasti akan langsung dipecat jika melakukan tindak kejahatan" ujar Daisuke tertawa kecil.

"Baiklah, kau sudah menawarkan diri. Jadi kau harus memenuhi tawaranmu untuk membantuku" kata Sean berubah semangat.

"Ya, ya baiklah" gumam Daisuke tertawa kecil. "Tidak! Tolong!" suasana di sana mulai kacau.

"Apa yang terjadi?!" gumam Daisuke menoleh ke sumber suara. "Lari! Lompat ke laut! Pembajak menyerbu kita!"

Sean yang mendengarnya tentu terkejut. "Bagaimana ini?!" gumam Sean panik.

"Tunggu di sini, bocah. Aku akan segera kembali" perintah Daisuke menghampiri sumber masalah. Ia mengeluarkan sebuah senjata tajam khas negaranya. Ia menyebutnya, Katana.

Pemuda itu dengan berani bertarung seorang diri melawan 10 pembajak.

"Berani sekali kau menantangku, apa kau tidak tahu siapa kau?" tanya pemimpin pembajak itu. "Kenapa? Ayah dan ibumu tidak memberitahu namamu?" tantang Daisuke tersenyum sinis.

Itu adalah kepribadian menyebalkan Daisuke, yang akan memenuhi alur cerita ini.

"Sialan!" pemimpin itu kembali mencoba membunuh Daisuke. Salah satu perhatian anak buah pembajak itu justru teralih pada Sean.

"Kalung yang unik, tapi akan lebih baik jika aku yang memilikinya, nak" ujar bawahan itu tersenyum sinis mendekati Sean.

"Menjauh, kakek bilang aku harus menjaganya!" ketus Sean waspada. "Kakekmu? Apakah dia di sini? Apa kakekmu membuangmu?" tanya bawahan itu meledek.

"Tutup mulutmu!" ketus bocah itu dengan berani. Bawahan itu menarik kerah baju Sean. "Bocah!" gumam Daisuke masih harus menahan serangan pemimpin pembajak itu.

"Kau menyebalkan sekali" gumam bawahan itu mencabut paksa kalung itu. Ajaibnya, kalung itu tidak bisa putus.

"Apa-apaan ini?!" gumam bawahan itu terkejut. "Lepaskan aku!" Sean memberontak sambil memukuli tangan bawahan itu, yang tentunya tidak memberikan efek apapun.

"Cih, percuma. Lebih baik aku memberi makan para hiu di bawah sana" gumam bawahan itu dengan enteng melempar Sean ke bawah.

"Tidak!"

"Bocah!"

Bawahan itu kembali berlagak sombong. Namun, "Apa yang terjadi?" gumam pria tua di sana terkejut ketika sebuah gelombang air laut mulai tampak meninggi.

Perlahan gelombang itu mengangkat seorang bocah naik kembali ke atas kapal.

Sean. Daisuke menatap bocah itu terkejut. Mata biru Sean tampak menyala, dan sepertinya dia tidak berada dalam keadaan sadar.

"Mengelak!" partner bawahan yang lain segera mendorong temannya itu untuk mengelak gelombang laut yang datang menerjang.

"Ini aneh" gumam Daisuke menyadari sesuatu yang salah dengan kekuatan tidak biasa itu.

Ia menyimpan kembali senjatanya. "Awas!" untungnya Daisuke berhasil menghempas gelombang itu dengan kekuatan angin miliknya.

Akibatnya, Sean terhempas dan akan terjun bebas memasuki laut. Daisuke meraih tali, dan segera menggunakan tali itu sebagai tumpuan untuk menarik Sean.

Lalu, "Berhasil," gumam Daisuke berhasil menarik kera baju bocah itu yang kini tidak sadarkan diri.

Kekacauan di sana berakhir. Para pembajak berhasil ditahan dan disekap sementara di ruang khusus.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Daisuke pada seseorang yang dikenalinya di kapal itu. "Dia hanya tidak sadarkan diri. Mungkin dia tidak bisa berenang, karena itulah ia sempat panik dan kehilangan ruang untuk bernafas. Tenang saja" jawab pemuda seusia Daisuke.

Daisuke mengenali pemuda itu. Dan mereka bertugas di negara yang sama, namun secara keahlian dan jurusan, mereka jauh berbeda.

Namanya James William. Jika Daisuke bekerja di instansi militer, James bekerja di instansi kesehatan dan bekerja di negara yang sama dengan Daisuke.

"Kau baru mengenalnya hari ini, kenapa kau begitu mengkhawatirkannya?" tanya James terheran.

"Aku merasa, ada sesuatu yang kukenali dari bocah ini. Dia, dia bukan bocah biasa"

James menatap Sean yang tertidur. "Matanya seindah lautan biru" gumam James yang sudah melihat warna bola mata bocah itu.

"Lebih baik biarkan dia beristirahat sampai ia siuman kembali" saran James meninggalkan Daisuke di sana yang masih duduk diam.

Daisuke menatap Sean yang tampaknya seperti sedang tertidur pulas.

Hari semakin larut, dan perlahan Daisuke mulai merasa lelah. Hingga akhirnya, ia terlelap.

......................

"Dai !"

"Kawa !"

"Dai !"

"Daisuke!"

Mata pemuda itu terbuka sepenuhnya ketika seseorang memanggilnya. Daisuke terkejut ketika sekelilingnya bersuasana putih.

"Di mana aku? Apa yang terjadi?!" gumam Daisuke berubah panik.

"Tenanglah, nak" pesan seseorang berhasil membungkam Daisuke. Suara yang dikenalinya. Sangat amat ia kenali.

Ia menoleh pada sumber suara. "Guru.." gumam Daisuke terkejut ketika ia mendapati seorang pria duduk bersilang di hadapannya.

"Duduklah" perintah pria itu dengan santai. Pemuda itu terdiam kaku, namun kakinya seakan menuruti perintah itu. Ia turut duduk bersilang.

"Lama tidak berjumpa, Daisuke" sapa pria itu seraya tersenyum tenang. Daisuke menatap pria itu dengan ekspresi tidak percaya.

"Apa ini sungguh kau, guru?" tanya Daisuke berusaha menahan air matanya.

"Lalu menurutmu aku siapa? Apa kau sudah melupakanku?" tanya pria itu tersenyum mendengarnya.

Air mata Daisuke tidak tertahan. Ia segera menghapusnya.

"Tidak, guru sudah lama gugur. Kau siapa? Apa maksud tujuanmu menyerupai guru?!"

Daisuke memilih untuk waspada.

Pria itu menggeleng-geleng pelan seraya tertawa kecil mendengar pertanyaan konyol itu.

"Ini hanya jiwaku saja, nak yang menghampirimu. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan"

Daisuke kembali terdiam.

"Tolong jaga putraku untuk kedepannya. Dan peringatkan dia, untuk mengurangi kebiasaan merokok, nak"

Daisuke tidak bisa menjawab. Putra? Dia? Apa maksud semua ini? Kenapa begitu tiba-tiba?

Perlahan, asap mengepul keluar dari tubuh pria itu. "Guru!" gumam Daisuke terkejut.

"Aku harus segera kembali, seseorang sedang menungguku" kata pria itu tersenyum simpul.

"Ingat pesanku, nak. Dan satu hal lagi, jangan terlalu keras pada dirimu"

Daisuke terbangun. "Kau baik-baik saja, oniisan?" tanya Sean yang ternyata sedari tadi sudah bangun dan menepuk pelan punggung pemuda itu.

"A-Ahk, iya. Apa yang terjadi?" tanya Daisuke masih kebingungan. "Aku mendengar oniisan menangis. Untungnya ini sudah pagi. Maaf sudah membuatmu khawatir" jawab Sean ada rasa bersalah yang menyelimuti dirinya.

"Tidak masalah. Berkatmu, semua penumpang di kapal ini selamat. Kau luar biasa" puji Daisuke tersenyum menyembunyikan sesuatu.

"Aku... menyelamatkan... orang-orang, di kapal?" tanya Sean antusias. "Ya, kau melakukannya!" jawab Daisuke seraya mengangguk pelan.

"Kita.. sudah sampai di mana oniisan? Apakah perjalanan kita masih jauh?" tanya Sean penasaran seraya memperhatikan lautan dari jendela di sampingnya.

"Mungkin besok kita sudah sampai. Ada apa? Kau tidak sabar untuk bertemu dengan Leon?" tanya Daisuke tertawa kecil.

"Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Dia itu orang yang seperti apa?" tanya Sean balik. Daisuke tentu terheran.

Mengapa seorang pria tua menyuruh Sean menjumpai sahabatnya itu?

"Leon Marito, biasa aku memanggilnya Leon. Dia orang yang tergolong, keras mungkin. Tapi aku jamin dia tidak akan membiarkan kau bekerja sendiri" tutur Daisuke sambil tersenyum.

"Kakek bilang, dia suka merokok. Bukankah rokok tidak baik untuk kesehatan perempuan?" tanya Sean lagi. Daisuke tambah heran.

"Bahkan kebiasaan merokok gadis itu yang jarang diperlihatkan ke muka publik, bisa diketahui kakeknya. Sebenarnya dia ini, cucu siapa ?"

Daisuke kembali berbatin. "Oniisan, kenapa oniisan kembali melamun? Jawab pertanyaanku!" ketus Sean sedikit tidak sabar.

"Astaga, maaf. Soal pertanyaanmu tadi, memang benar. Tapi jika kebiasaan itu dilakukan sejak muda, orang sepertimu juga tidak akan bisa merubah kebiasaannya"

Sean memiringkan kepalanya terheran. "Tapi tetap saja, kakek bilang perempuan itu tidak boleh merokok. Mereka tidak akan bisa memiliki anak"

Daisuke tertawa kecil mendengarnya. "Aku bahkan sudah berapa kali memukuli kepalanya agar ia sadar, tapi ia tetap melakukannya" gumam Daisuke dengan nada pelan.

"Apa? Oniisan memukuli perempuan? Kejam sekali!" ketus Sean terkejut mendengarnya.

"Astaga, aku tidak sungguh-sungguh memukulinya" Daisuke segera membela diri.

"Tetap saja. Laki-laki yang memukuli perempuan itu baru saja menjatuhkan harga diri"

Daisuke terdiam mendengarnya. Ia mengerutkan kening mengenali ucapan itu.

"Hey, bocah-"

"Panggil aku, Sean. Aku punya nama"

Daisuke tertawa kecil mendengarnya. "Sean, kenapa kau tidak meminta kakekmu membiarkanmu tinggal di negaramu saja?" tanya Daisuke penasaran.

"Kakek bilang, ada akademi militer di Panzer. Kakek bilang akademi itu satu-satunya di dunia. Aku ingin belajar militer di sana"

Daisuke mengangguk-angguk paham. "Kau ingin jadi apa? Akademi itu menyediakan 3 jurusan, kesehatan, militer, dan.. sihir"

Sean tampak terkejut. "Sihir?" tanya Sean tidak percaya. "Ya, aku adalah lulusan jurusan sihir. Tapi aku ditempatkan di pasukan khusus karena sesuatu yang kumiliki tapi orang lain tidak memilikinya" kata Daisuke menjelaskan.

"Memangnya oniisan punya apa?" tanya Sean penasaran. "Aku? Lihat ini" perintah Daisuke tampak bersiap melakukan sesuatu.

Sebuah angin merebak masuk memenuhi ruangan itu. "Angin dari mana ini?" gumam Sean terkejut sambil menahan diri. Angin ini terlalu kuat, dan bisa saja menghempas dirinya.

Beberapa detik kemudian angin itu reda. "Anginnya.. menghilang" gumam Sean menyadari sesuatu. "Itu milikku, aku punya elemen angin" ujar Daisuke segera.

"Oniisan yang mengendalikannya? Hebat sekali! Kalau begitu, aku juga ingin belajar mengendalikan angin agar aku bisa mengalahkan lawan bertarungku" Sean tampak antusias.

"Hahaha. Kau tidak bisa sembarangan membuat rencana. Aku bisa mengendalikan angin, karena memang elemen itu yang kumiliki. Tiap orang punya kekuatan yang berbeda-beda"

Sean mengangguk-angguk kecil. "Menurut oniisan, aku punya elemen apa?" tanya Sean meminta pendapat. Daisuke diam beberapa saat memperhatikan bocah itu.

"Mungkin.. air" jawab Daisuke menebak. Walau sebenarnya ia sudah tahu, tapi ia mencoba menyembunyikan apa yang ia ketahui.

"Oniisan pasti menebak elemenku air, hanya karena mataku yang sebiru lautan bukan?" tanya Sean berubah masam.

"Hahaha, orang lain juga pasti akan berpikiran yang sama sepertiku. Memangnya elemen apa yang begitu kau inginkan jika kau bisa memilih?" tanya Daisuke balik.

Sean berpikir sejenak. "Ahk iya, aku ingin memiliki elemen petir jika aku bisa memilih"

Daisuke terdiam mendengarnya. Namun setelahnya ia tersenyum simpul mengisyaratkan sesuatu.

"Kita lihat saja dulu, apakah benar kau memiliki elemen alam? Barulah kau bisa mencoba belajar mengendalikannya dan menggunakannya untuk hal-hal yang baik"

Sean tersenyum penuh semangat.

"Lihat saja, aku pasti akan melakukannya"

"Hahaha. Buktikan ucapanmu, bocah!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!