NovelToon NovelToon
Tergoda Tunangan Sahabat

Tergoda Tunangan Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Selingkuh / Cinta Terlarang / Pelakor / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:9.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nunna Zhy

"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."

Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."

Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."

****

Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.

Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

“Lo laper nggak?” tanya Ares sambil mengangkat satu alis, matanya menatap Hana yang terlihat lelah tapi masih menyimpan semangat.

Hana mengangguk, mengusap peluh di dahinya dengan punggung tangan. “Banget. Tenaga gue udah habis gara-gara lo.”

“Kalau gitu, ikut gue. Gue tahu tempat makan enak di dekat sini.”

“Cih, jangan cuma janji doang. Kalau makanannya nggak enak, gue lempar piringnya ke lo,” balas Hana setengah bercanda, meski perutnya benar-benar sudah berteriak minta diisi.

Keduanya berjalan beriringan menuju kantin kecil di sekitar lapangan tembak. Sepanjang perjalanan, suasana terasa aneh—tidak sepenuhnya canggung, tapi juga tidak sepenuhnya santai. Ares beberapa kali melirik Hana, tapi setiap kali gadis itu menyadarinya, ia langsung berpura-pura melihat ke arah lain.

“Nih tempatnya,” ujar Ares ketika mereka sampai di depan sebuah warung sederhana dengan papan bertuliskan Warung Makan Ibu Tati.

“Serius? Warung kecil gini?” Hana mengernyit, meski aroma masakan dari dalam membuat perutnya semakin keroncongan.

“Jangan remehkan tempat ini, cil. Masakannya juara, dan porsinya gede. Pas buat lo yang suka ngeluh lapar.” Ares mendorong pintu, membiarkan Hana masuk lebih dulu.

Begitu duduk, seorang ibu paruh baya menghampiri mereka dengan senyum ramah. “Ares! Lama nggak mampir. Siapa nih, pacar baru?” tanyanya, membuat Hana langsung tersedak napasnya.

“Bukan, Bu. Teman latihan,” jawab Ares cepat, meski nada suaranya terdengar santai. Ia melirik Hana yang terlihat salah tingkah dan tersenyum kecil.

Hana mendelik. “Teman latihan aja, Bu,” ulangnya, menegaskan.

“Iya, iya, paham.” Ibu Tati terkikik, mencatat pesanan mereka. “Tapi kalian cocok, loh. Aura kalian tuh serasi.”

Hana hanya bisa menghela napas panjang sambil mengalihkan pandangan ke jendela, mencoba mengabaikan rasa panas di pipinya. Ia tak ingin menunjukkan bahwa ucapan Ibu Tati barusan sempat membuat hatinya sedikit berdesir, meski ia tahu betul itu hal yang tak masuk akal.

"Ibu ini jangan godain terus," sela Ares santai, tapi nadanya tegas. "Punya saya seperti biasa ya. Dan nggak pakai lama."

Ibu Tati terkekeh kecil sambil melirik Hana, sebelum akhirnya mengangkat tangan menyerah. "Eh! Kebiasaan ni anak. Nggak bisa diajak becanda." Ia mendengus kecil, lalu bergegas masuk ke dapur untuk menyiapkan pesanan.

Begitu suasana hening, Hana akhirnya berani menatap Ares lagi. “Langganan ya, lo di sini?” tanyanya, mencoba mengalihkan topik.

“Bisa dibilang. Ini tempat favorit gue kalau lagi di lapangan tembak. Makanannya enak, murah, dan porsinya pas buat gue.”

“Pas buat lo doang atau juga buat gue?” Hana menyipitkan mata, berusaha terlihat tajam tapi malah membuat Ares tertawa kecil.

“Tenang aja, cil. Lo bakal kenyang. Gue nggak sejahat itu buat ngajak lo makan tempat yang nggak layak.”

“Bagus,” gumam Hana, meski dalam hati ia mulai merasa nyaman berada di sekitar Ares. Sesuatu yang sulit ia akui.

Beberapa menit kemudian, Ibu Tati kembali dengan dua piring nasi putih dan sop kambing yang aromanya langsung menggugah selera. “Ini, spesial buat kalian. Makan yang banyak, ya.”

“Terima kasih, Bu,” jawab Ares sambil tersenyum, lalu menoleh ke Hana. “Ayo, makan dulu. Gue nggak mau dengar lo ngeluh kelaparan lagi nanti.”

Hana mendengus kecil, tapi tetap mengambil sendok dan mulai menyantap makanannya. Satu suapan saja sudah cukup untuk membuatnya terdiam. “Eh, ini enak banget!” serunya, sedikit tak percaya.

Ares menyeringai. “Tuh kan, gue bilang apa. Nih tambah sambal dan juga jeruk nipis, biar makin mantap."

Mereka makan dalam diam sesaat, menikmati hidangan yang tersaji di depan mereka. Namun, diam-diam, pikiran Hana terusik oleh kenyataan bahwa di balik sikap menyebalkan Ares, ada sisi lain darinya yang begitu… hangat.

***

Beberapa minggu terakhir, rutinitas Hana diwarnai oleh latihan tanpa henti. Gadis itu kini lebih sering terlihat lesu, lingkar hitam di bawah matanya semakin jelas, dan energinya seolah terkuras habis.

Pagi itu di kampus, saat ia terduduk di pojok kelas sambil menopang kepala dengan tangan, Dafa mendekatinya dengan tatapan jahil. "Lo kayak zombie, tahu nggak, Han," katanya sambil menyentil pelan dahinya.

Hana hanya melirik malas. "Gue ngantuk, Fa. Bisa nggak sih, jangan ganggu dulu?" gumamnya dengan nada setengah mengeluh.

Tak lama, Yuna bergabung dan langsung duduk di hadapan Hana. "Lo terlalu ambisius, Han," ujarnya dengan nada serius. "Apa sih yang lo cari? Skill lo udah jauh di atas gue sekarang, tapi masih aja lo latihan kayak kuda."

Hana mendesah panjang, tapi tak memberikan jawaban. Mata lelahnya hanya menatap kosong ke meja, seolah tak peduli dengan komentar sahabat-sahabatnya.

"Han, kita tuh peduli sama lo," lanjut Zahra, "Lo kudu perhatiin badan lo juga, percuma terus latihan kalau ujung-ujungnya tumbang duluan."

Namun, bukannya membalas, Hana malah merosot lebih dalam ke kursinya. "Gue tidur aja, ya. Jangan ganggu," katanya lirih, sebelum akhirnya menutup mata.

Zahra, Dafa dan Yuna saling berpandangan, raut wajah mereka penuh kekhawatiran.

"Dia nggak kayak gini biasanya," bisik Zahra khawatir.

***

Hana berdiri di tengah dojo, mencoba mengatur napas yang terengah-engah. Tubuhnya terasa berat, pandangannya mulai kabur, tapi tekadnya tak tergoyahkan. Meski sudah merasa tidak enak badan sejak pagi, ia tetap memaksakan diri untuk berlatih.

“Lo nggak apa-apa?” tanya Ares, memperhatikan wajah pucatnya yang basah oleh keringat.

“Gue baik-baik aja,” jawab Hana cepat, meski suaranya terdengar lemah.

Namun, saat ia mencoba melangkah maju, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dunia di sekitarnya berputar, dan dalam sekejap, kegelapan menyelimuti.

“Hana!” seru Ares panik saat gadis itu jatuh tak sadarkan diri di lantai. Tanpa berpikir panjang, ia berlari mendekat, memeriksa denyut nadinya.

Wajahnya tegang. "Sial, lo panas banget!" gumamnya, lalu mengangkat tubuh Hana dalam gendongannya. "Tahan, gue akan bawa lo ke rumah sakit."

Dengan langkah cepat, Ares membawa Hana ke mobilnya. Ia tak peduli pada tatapan orang-orang di sekitarnya, fokusnya hanya satu—membawa Hana ke rumah sakit secepat mungkin.

***

Di rumah sakit, Ares mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Tangannya terkepal erat, menahan rasa cemas yang terus menghantui.

“Kenapa lo nggak tahu batas?” gumamnya pelan. Ia mengingat wajah lelah Hana yang memaksa diri untuk terus bertahan.

Seorang dokter akhirnya keluar dari ruangan, membawa kabar yang ditunggu-tunggu. "Dia hanya kelelahan parah, ditambah dehidrasi. Butuh istirahat total untuk beberapa hari ke depan," kata dokter itu sambil tersenyum menenangkan.

Ares mengangguk, merasa sedikit lega. "Bisa saya lihat dia sekarang?"

“Tentu, tapi pastikan dia nggak terganggu. Dia butuh ketenangan."

Ares masuk ke ruangan, melihat Hana terbaring di ranjang dengan wajah pucatnya yang tertidur lelap. Ia menarik kursi dan duduk di sampingnya, memperhatikan gadis itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Lo keras kepala banget, sih. Ambisi lo terlalu kuat dan itu malah akan jadi boomerang buat lo sendiri."

***

Setelah tiga jam berlalu, Hana perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, dan ia membutuhkan beberapa detik untuk menyadari di mana dirinya. Bau antiseptik menyengat hidungnya, membuatnya sadar bahwa ia berada di rumah sakit.

“Lo udah bangun?” suara berat yang sangat familiar terdengar dari sampingnya.

Hana menoleh perlahan, matanya menyipit untuk fokus pada sosok yang duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Ares sedang memandanginya, dengan wajah yang sedikit lelah namun penuh perhatian.

“Ngapain lo di sini?” tanya Hana, dengan suara serak.

Ares mendengus pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Pertanyaan aneh. Kalau bukan gue, siapa lagi yang bakal bawa lo ke sini?”

Hana mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi kepalanya terasa berat. “Gue... pingsan ya?”

“Lo nggak cuma pingsan, Han. Lo jatuh kayak boneka rusak. Lo tahu nggak lo bikin panik?”

Hana mencoba duduk, tapi tubuhnya terlalu lemah. Ares segera bergerak mendekat, menahannya dengan lembut. “Jangan maksa. Lo masih lemah.”

“Gue bisa sendiri,” gumam Hana, merasa sedikit malu dengan perhatian Ares yang tak biasa.

“Karena gue sensei lo, inget? Kalau murid gue kenapa-kenapa, itu tanggung jawab gue,” jawabnya cepat.

Hana terdiam, menatap Ares dengan mata yang mulai kembali fokus. “Makasih,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Ares tersenyum tipis, lalu meraih gelas air di meja samping dan menyodorkannya ke Hana. “Minum dulu, rumah lo kosong. Ortu lo pada kemana?"

"Lagi di Samarinda, ada urusan pekerjaan." Hana mengambil gelas itu dengan tangan gemetar.

"Oh pantes."

"Malam ini lo tidur disini ya, nggak mungkin lo tidur di rumah sendirian."

Hana meneguk air dalam gelas perlahan, tubuhnya masih terasa lemas. Ia memandang Ares dengan alis terangkat. "Lo serius? Gue kan udah gede. Tidur sendiri di rumah nggak masalah. Lagian gue juga udah enakan."

"Lo mungkin ngerasa nggak masalah, tapi gue nggak bakal tenang kalau ninggalin lo dalam keadaan kayak gini. Lagian, dokter bilang lo perlu istirahat total. Jadi malam ini lo tidur di sini atau mau di apartemen gue?"

Hana ingin membantah, tapi suara tegas Ares membuatnya bungkam. Ia hanya bisa mendesah pasrah. "Iya-iya, gue tidur disini."

"Bagus. Gue udah bilang sama perawat buat jaga lo kalau ada apa-apa. Dan jangan harap lo kabur dari sini sebelum sembuh bener."

Hana melirik pria itu dengan pandangan sebal, meskipun di dalam hatinya ia merasa sedikit tersentuh. "Sok ngatur banget lo."

Ares menyeringai, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Biasa. Jadi sensei lo kan harus gitu. Tanggung jawab gue bukan cuma ngajarin lo karate, tapi juga bikin lo tetep hidup."

"Lo nggak pulang?" tanya Hana pelan setelah beberapa saat.

"Gue udah bilang, gue bakal jagain lo malam ini. Jadi, tenang aja."

Kata-kata itu sederhana, tapi cara Ares mengatakannya membuat dada Hana terasa hangat. Entah sejak kapan, tapi pria ini mulai menunjukkan sisi lain yang membuatnya sulit untuk tidak memperhatikan.

Bersambung...

1
Chalimah Kuchiki
semangat hana.. jangan jatuh cinta ke siapa2 dulu, fokus cari tau penyebab meninggalnya pacar kamu siapa
Mas Sigit
di tunggu up nya thor, klu bisa yg bnyk🤭💪💪💪
Chalimah Kuchiki
hana ingat jangan kegabah baper ke tunangan temen atau ke arion. kenali mereka baik2 dulu
Chalimah Kuchiki
sukaaaaa
Mas Sigit
wah ceritany bikin jantung jedag jedug serasa adrenalin
Chalimah Kuchiki
ah lanjutttt... jadi aku team pak intel atau bad boy nih 🤗
Mas Sigit
wkwkwkkkkk
Mas Sigit
ceritany sungguh bikin jantung q dug"ser krn penasaran sekaligus tegang krn takut hana kenapa"
November
lanjutewe
Devi Nur Fitri
Q mampir kak ....suka banget sama yg badhusband
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!