VII : Kecurigaan Aira

“Danisha, maaf kalau aku kemarin ketus sama kamu. Aku punya alasannya,” alasan Widi membuat Danisha kebingungan.

 

“Aku sengaja tidak membela kamu. Itu karena kita di tempat Abah Arif. Kalau aku membela kamu, Abah Arif bisa semakin menjadi marahnya. Dia akan mengerahkan anak buahnya yang tidak bisa kita lihat, untuk mengerjai kita,”

 

Danisha berusaha mencerna perkataan Widi. Dalam hatinya, dia tidak percaya dengan alasan tidak masuk akal kekasihnya. Belum sempat Danisha membalas dengan cacian, Widi kembali berbicara.

 

“Aku baru diberitahu sama anak buah Abah Arif. Katanya kamu tidak mengikuti perintah Abah Arif ya. Sampai sampai kamu teriak saat Abah Arif sedang fokus melakukan ritual mandi kembang itu,”

 

Danisha hanya terdiam. Apa yang diucapkan Widi memang benar adanya. Namun lagi-lagi, Danisha masih tidak percaya dengan alasan yang dibuat Widi untuk membela diri.

 

Widi lalu bercerita tentang kemampuan Abah Arif yang tidak masuk akal. Ya, memang benar ilmu-ilmu mistis itu

tidak bisa disinkronkan dengan akal pikiran manusia. Namun begitu mudahnya Widi meyakinkan Danisha.

 

Selama satu jam, Widi terus bercerita tentang ketakutannya terhadap Abah Arif. Namun dia nekat berguru dengan Abah Arif, karena ada sesuatu yang harus dia pelajari untuk kebaikannya dan Danisha.

 

“Keluargaku semua seperti itu. Namun ada ilmu penangkal, jika suatu saat aku diusik oleh salah satu keluargaku apabila ada keributan. Kenapa aku mengajak kamu juga, agar kamu juga bisa belajar untuk membentengi diri,”

 

“Maaf jika baru kali ini aku sampaikan hal ini. Tapi ini demi kebaikan kita berdua. Aku tidak ingin, karena masalah keluargaku, kamu yang ada di dekatku juga ikut terusik dengan hal-hal tidak masuk akal nantinya,”

 

Dia juga membahas tentang sikap Lula, yang turut tidak berpihak dengan Danisha malam itu. Dari pengakuan Widi, dia memang memerintahkan Lula seperti itu. Agar aktingnya di depan Abah Arif bisa terlihat sempurna.

 

Entah kenapa, hati kecil Danisha menolak segala alasan Widi. Namun dia juga tidak percaya, jika Widi sejahat itu dengannya.

 

“Lain kali kamu harusnya bilang ke aku kalau begitu. Jadi aku tidak merasa terpojokkan seperti kemarin malam,” seloroh Danisha.

 

Widi pun langsung merangkul pundak Danisha. Dia berusaha menenangkan kekasihnya dengan kecupan yang didaratkannya ke kening Danisha.

 

Rencana Danisha untuk memutuskan hubungan asmaranya pun kandas sudah. Dia terlalu menaruh hati dengan kekasihnya ini. Dia merasa, Widi berusaha menyelamatkannya, dengan berpura-pura marah di hadapan Abah Arif.

*****

 

Kriingg... Kriinggg...

 

Bunyi telepon langsung memecahkan konsentrasi keluarga Danisha di ruang tengah, yang asyik menonton film kartun.

 

Mama Ajeng langsung menyuruh Danisha untuk mengangkat telepon. Awalnya Danisha malas untuk beranjak dan menyuruh kakaknya untuk mengangkat telepon. Namun Irsan punya sejuta alasan, agar dia tidak menggantikan tugas Danisha.

 

Wajah Danisha pun mengkerut. Dengan malas-masalan, akhirnya Danisha beranjak dari depan televisi, berjalan ke arah meja telepon di sudut ruang tengah. Jarak antara ruang televisi dan meja telepon terhalang bambu pembatas ruangan.

 

“Halo, Assalamualaikum,” jawab Danisha.

 

“Walaikumsallam. Danisha, ini Aira,”

 

“Ohya Aira, tumben kamu nelepon. Ada apa Aira?,”

 

“Danisha, ada apa kamu sama Widi, kayaknya kalian ada masalah ya?,”

 

“Eh.. enggak ada kok. Kami baik-baik aja. Kenapa Aira,”

 

Aira terdiam sesaat. Namun sepertinya Aira tidak bisa menyampaikan melalui telepon. Dia ingin sekali mengungkapkan tentang apa yang dirasanya.

 

“Aira, ada apa?,” tanya Danisha penasaran.

 

“Oh, gakpapa. Tadi aku lihat raut wajah kamu jutek gitu setelah Widi membisikki kamu,”

 

“Oh tadi pagi. Gak ada apa-apa kok,”

 

“Alhamdulillah kalau tidak ada apa-apa. Yaudah, besok jangan lupa bawa buku pelajaranku ya,”

 

“Siap ndoro Aira, hahahaha,”

 

Danisha pun langsung menutup teleponnya. Dia tidak curiga kenapa tiba-tiba Aira meneleponnya. Sedangkan Aira, merasa kesal tidak bisa mengungkapkan apa yang dia lihat.

 

Aira pun menutup gagang teleponnya dengan lunglai. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan ke Danisha, jika ada sosok menyeramkan di tubuh Widi.

 

Kecurigaan Aira selama ini terbukti. Beberapa waktu lalu, dia sempat melihat ada kain putih di dalam kantong celana sekolah Widi, yang tak sengaja menyembul ketika Widi merogoh kantongnya.

 

Saat Aira melihat kain putih itu, Widi langsung buru-buru memasukkannya ke dalam saku celananya dan berjalan menjauh dari Aira.

 

Aira awalnya tidak mau curiga apapun. Namun, saat tadi pagi Aira melihat Widi. Ada aura berbeda dari kekasih sahabatnya ini. Aira mencium bau kemenyan yang sangat pekat, dari tubuh Widi.

 

Di dalam kamarnya, Aira langsung salat Isya dan memanjatkan kepada Tuhan, agar dia diberi jalan agar bisa membantu Danisha. Aira pun langsung membereskan alat salatnya dan bergegas ke atas kasur.

 

Saat dia akan merebahkan tubuhnya di atas kasur, tiba-tiba kepala Aira terasa berat. Sakit kepala yang tak tertahankan, membuat Aira tak sadarkan diri dan tubuhnya terjatuh tepat di atas kasur.

 

*****

 

Hening. Putih. Itu yang dirasakan Aira.

 

Aira berada di sebuah ruangan yang kosong, putih dan tidak ada satu goresan hitam pun mewarnai ruangan itu. Aira yang memakai pakaian putih hanya diam di sudut ruangan itu. Dalam sekejab mata, tiba-tiba sosok kakeknya berada tepat beberapa inchi dari hadapannya.

 

Kakeknya yang masih terlihat berwibawa, sama ketika dia terakhir kali bermimpi kedatangan kakeknya ketika masih SMP.

 

“Belum saatnya Aira. Hati-hati dengan jimat itu, Jalan kamu masih panjang,” pesan kakek Aira terus terulang-ulang, seperti kaset yang berputar berulang-ulang.

 

Aira pun bingung dengan pesan yang disampaikan kakeknya. Perkataan kakeknya itu bergaung di seluruh sudut ruangan putih itu. Lalu seketika Aira berteriak karena suara kakeknya memekakkan telinganya.

 

“Aarrgghhhhhh.....,”

 

Aira pun langsung terbangun dari tidurnya.

 

Seperti De Javu, tubuh Aira kembali basah bercucuran. Wajah Aira menyiratkan ketakutan yang luar biasa. Beberapa menit kemudian, Aira berusaha menenangkan dirinya sendiri dan mengatur alur nafasnya.

 

Setelah dia merasa tenang. Dia pun teringat pesan kakeknya di dalam mimpinya. Aira sempat bingung, apa maksud perkataan kakeknya itu.

 

Otak Aira terus berputar, memaknai pesan kakeknya. Tiba-tiba dia tersadar dan teringat dengan doanya sebelum dia pingsan.

 

“Danisha, Widi..,” hanya itu yang terlontar di mulut Aira.

 

Nalar Aira baru tersentak. Jimat yang dimaksud kakeknya adalah kain putih yang dilihatnya di kantong celana Widi. Dia sangat yakin, kakeknya itu merupakan petanda dari Tuhan, agar Aira jangan gegabah menceritakan apa yang diketahuinya dari Widi. Agar Danisha tidak dalam marabahaya.

 

Aira akhirnya mengurungkan niatnya untuk menceritakan semuanya ke Danisha. Dia tidak ingin, nyawa Danisha terancam. Terlebih, Genderuwo itu juga bisa semakin kuat ketika Danisha ketakutan.

 

“Ya, mungkin belum saatnya aku bahas ini ke Danisha. Kasihan dia, selalu dikelilingi gangguan gaib yang belum mampu dihadapinya,” ujar Aira dalam hati.

 

Aira pun tertidur pulas, dengan segunung pesan ke Danisha yang mungkin sulit tersampaikan

 

*****.

Terpopuler

Comments

malest

malest

baguss

2023-07-25

1

malest

malest

bagus

2023-07-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!