IV : Reuni Mantan

“Danisha, Danisha.. Bangun.. Bangun.. Udah jam 12 siang ini,” tangan Aira langsung menggerakkan tubuh Danisha agar bisa bangun. Namun emang dasar si Danisha ini tidurnya kayak mayat, jadi mau gimana juga tetap susah bangun.

 

Aira pun tak patah arang untuk membangunkan sahabatnya ini. Dia pun langsung mengambil botol minum di meja di sudut kamar. Dengan terpaksa, Aira menyiramkan ke wajah Danisha, agar sahabatnya ini terbangun.

 

Cara Aira pun berhasil. Danisha langsung terbangun dengan wajah yang kaget. Beberapa detik kemudian, dia baru tersadar kalau rasa basah di tubuhnya itu, karena ulah Aira.

 

“Airaaa.....,” teriak Danisha kesal. Aira pun langsung berlari menjauh dari Danisha dengan gelak tawa puas.

 

“’Kamu gak lihat jam, ini waktunya kamu kerja loh. Come on, hutangmu menanti dibayar, hahahaha..,” gelak tawa Aira semakin membuat Danisha semaput.

 

Danisha lalu melirik jam dinding di atas kepalanya. Tampak wajah kesal, karena dia sudah melewatkan 4 jam terbuang percuma karena rasa kantuknya yang tak terkalahkan.

 

Aira dan Danisha akhirnya berlari sekencang-kencangnya ke kamar mandi. Mereka berebutan untuk duluan masuk ke kamar mandi. Sialnya, Aira harus terpeleset karena menginjak sendal kamar mandi yang basah.

 

Kali ini, Danisha lega bisa membalas tawa satire ke hadapan Aira. Dia pun langsung menutup pintu kamar mandi sekencang-kencangnya.

 

Byurr.. Byuurrr.. suara air tumpah ke lantai pun jelas terdengar dari balik pintu kamar mandi. Aira hanya terduduk lemas di depan kamar mandi. Tangannya terus memijat-mijat kakinya yang keseleo.

 

Hanya butuh 10 menit saja bagi Danisha untuk membersihkan tubuhnya. Belumlah puas Aira meregangkan otot kakinya, Danisha sudah keluar dari kamar mandi.

 

“Kamu mandi kebo ya. Gila kilat banget. Sikat gigi gak tuh,? “ tanya Aira terheran.

 

“Mandilah, yang penting basah dan kena sabun. Sikat gigi dong  tapi gerakan cepat. Ahahah,” balas Danisha.

 

 

******

 

Danisha dan Aira akhirnya melajukan kendaraannya masing-masing ke arah tujuan berbeda. Sesampai di kantornya, Danisha langsung berlari masuk ke dalam ruangannya. Beruntungnya, ibu Rea, bos di kantornya juga tidak ada di ruangannya.

 

“Eh, si bos belum datang ya?,” tanya Danisha ke Meli, teman sekantornya.

 

“Udah kalii, tapi si bos udah pergi dari jam 10 tadi. Dia juga sempat cari kamu di ruangan tapi gak ada. Padahal dia ingin ngajak kamu meeting dengan kliennya,” jawab Meli sambil menguyah permen karetnya.

 

Danisha langsung menepuk jidatnya. Dia baru ingat, jika tulisan risetnya harus dibaca dulu pagi hari, untuk dipresentasikan siang ini. Danisha langsung merogoh ponsel di saku celananya dan menelepon bosnya.

 

“Halo Bu Rea, ini saya Danisha. Bu maaf saya telat. Ini sekarang saya mau susul ibu kemana. Laporannya udah saya bawa,” ucap Danisha dengan nada terbata-bata.

 

“Hemm.. kamu ini tumben telat masuk kantor. Yaudah, kamu langsung susul saya di Hotel Mozem ya. Mumpung klien kita belum sampai,” sahut Bu Rea.

 

“Siap bu, saya langsung meluncur,” jawab Danisha mengakhiri komunikasinya.

 

Danisha dengan sekilat mungkin mengendarai sepeda motornya ke Hotel Mozem. Sepanjang perjalanan, dia mengingat-ingat, apa yang terlupa dibawanya. Namun Danisha cukup beruntung. Sebelum tidur, dia sudah memasukkan semua keperluan pekerjaannya.

 

Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya sepeda motor Danisha sudah sampai di parkiran hotel. Dia langsung berlari ke dalam hotel dan menaiki lift menuju ke lantai 3.

 

Dengan rambut yang acak-acakan, Danisha langsung menghadap ke Ibu Rea, yang sedari tadi sudah menanti kehadirannya. Dari kejauhan Ibu Rea sudah menatapnya panjang. Danisha pun hanya tertunduk sambil melangkahkan kakinya dengan cepat.

 

Danisha lalu membuka resleting tas ranselnya, mengeluarkan map berisi tulisan risetnya dan langsung menyerahkan ke tangan Ibu Rea.

 

Ibu Rea lalu membuka satu persatu lembaran tulisan Danisha dengan raut wajah datar. Tanpa ekspresi sedikit pun inilah, yang membuat Danisha semakin cemas.

 

“Duh, kalau ada yang salah, bisa gagal dapat fee proyek ini,” ucap Danisha dalam hati.

 

Ternyata Ibu Rea tidak benar-benar membaca seluruh tulisan Danisha. Karena dia sudah percaya, hasil riset Danisha paling bisa dipertanggungjawabkan dibandingkan anak buahnya yang lain.

 

Ibu Rea hanya ingin memberi shock therapy saja ke Danisha, karena Danisha sudah membuang waktunya cukup lama untuk melihat proposal itu.

 

“Oke, aku percaya hasil tulisanmu ini. Tapi ingat, kejadian seperti ini jangan terulang lagi. Karena kamu gak akan mampu mengganti dana proyek yang akan kita dapatkan, jika kinerja kamu ini membatalkan semuanya,” ketus Ibu Rea.

 

Danisha hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya, dia merasa lega karena hasil kerjanya tidak mengecewakan.

 

Sembari menunggu kliennya datang, mereka, Ibu Rea dan Danisha duduk berhadapan membahas proyek selanjutnya yang akan mereka kerjakan.

 

Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Tanda-tanda kehadiran kliennya pun belum ada. Ibu Rea sudah berulang kali menelepon kliennya, namun belum ada jawaban satu pun.

 

Sampai akhirnya, suara pintu ruangan hotel pun berbunyi. Beberapa orang pria masuk dengan setelan kemeja dan jas yang sangat rapi.

 

Danisha yang saat itu sedang duduk membelakangi para kliennya, akhirnya membalikkan tubuhnya. Saat menatap ke arah kliennya, dia pun terkaget.

 

“Widi,” celetuk Danisha di depan para kliennya dan Ibu Rea.

 

Ibu Rea langsung melihat Danisha dan bingung. Sedangkan Widi, yang disapa Danisha pun tak kalah kagetnya.

 

“Kamu kenal dengan Pak Widi, Danisha?,” tanya Ibu Rea penasaran.

 

Danisha hanya mengangguk pelan. Sedangkan Widi melempar senyumannya ke arah Danisha.

 

“Iya bu, Widi, eh.. Pak Widi ini kakak ini adalah kakak kelas saya semasa SMA dulu bu,” jawab Danisha singkat.

 

“Wah.. reuni sekolah yang gak disangka-sangka nih. Bagus deh kalau kalian sudah kenal, jadi kalian tidak canggung lagi kalau bekerja bareng,” ucap Ibu Rea.

 

Danisha terus tertunduk. Dia seakan enggan kembali menatap Widi, kakak kelasnya yang memberikan goresan luka cukup dalam semasa SMA.

 

Mereka lalu menggelar rapat bersama. Danisha cukup profesional dalam menghadapi masa lalunya, dengan pekerjaan yang harus dia kerjakan. Saat mempresentasikan hasil risetnya, Danisha tak tampak canggung.

 

Dia sukses mengumpulkan seluruh keberanian dan kemampuannya, untuk tampil di hadapan Widi. Menjabarkan seluruh hasil risetnya, dengan harapan proposalnya ini bisa disetujui para kliennya.

 

Widi sendiri saat ini menjabat sebagai Wakil Direktur perusahaan pengembangan di bidang kelola Sumber Daya Alam (SDA).

 

Jabatannya juga cukup vital di kerjasama ini, karena hanya Widi lah yang memutuskan lanjut atau tidaknya kolaborasi dengan perusahaan tempat Danisha bekerja.

 

Dua jam berlalu. Rapat akhirnya selesai. Dan Danisha pun merasa lega sudah menyelesaikan tugasnya dengan maksimal.

 

Widi juga berdiskusi dengan rekan sekantornya, membahas materi yang disampaikan Danisha. Dari gestur tubuh mereka, proposal yang dipaparkan Danisha cukup mendapat respon positif.

 

“Ibu Rea, kita sudah berdiskusi tentang proposal ini. Hasilnya nanti saya kirim via email kantor Ibu Rea ya. Besok paling lambat kami kirimkan,” ucap Widi sembari menyalami Ibu Rea.

 

“Terima kasih pak. Saya yakin dengan kemampuan Danisha memaparkan materi ini, kerjasama kita akan berjalan lancar. Saya tak sabar menanti hasil rapat dari perusahaan bapak,” jawab Ibu Rea dengan tersenyum penuh optimis.

 

Sedangkan Widi, sehabis paparan, dia memilih keluar ruangan dan menenggak air minum di depan pintu ruangan hotel. Dia tak ingin rasa gugupnya terlihat klien kerjanya, terutama Widi.

 

Saat dia kembali meneguk air dingin di tangannya, Widi tiba-tiba berada di sampingnya. Tak ayal, Danisha terkaget dan air minum yang hampir diteguknya langsung keluar dari mulutnya.

 

“Ups.. kagetan lagi kamu Danisha,” ucap Widi sembari membersihkan muncratan air minum dari mulut Danisha.

 

“Aduh, maaf Widi, anu.. Pak Widi, saya tidak sengaja,” tangan Danisha pun reflek membersihkan kemeja Widi yang basah.

 

“Gakpapa, udah gak usah dibersihkan. Ini gak ada nodanya juga,” jawab Widi sembari memindahkan tangan Danisha dari tubuhnya. Danisha pun terdiam kaku. Rasa malunya berada di ujung ubun-ubun, membuatnya mematung.

 

“Eh, Danisha. Kok bengong. Udah gakpapa, kamu gak perlu malu atau bersalah gitu. Wajahmu itu. Masih sama seperti dulu,”

 

“Well.. saya ada schedulle lain. Nomor kamu sudah saya simpan, nanti saya kontak kamu ya,” ucap Widi sembari berjalan meninggalkan Danisha yang masih kaku membatu.

*****

 

 

Terpopuler

Comments

malest

malest

baguss

2023-07-25

1

malest

malest

bagus

2023-07-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!