Aira yang sudah berada di kamar Danisha, tiba-tiba langsung memeluk temannya. Danisha pun kaget, tiba-tiba Aira memeluknya dengan erat.
"Ada apa Aira? Kamu ribut lagi di rumah ya?," tanya Danisha di balik punggung Aira.
Aira tak berkata apa-apa. Dia tetap menbisu dan semakin mengeratkan pelukannya, seiring kerasnya Aira berpikir bagaimana cara menyampaikan hal yang ingin diberitahunya ke Danisha.
Danisha yang masih bingung, berusaha menenangkan Aira yang sudah terdengar sesegukan tangisnya.
Tangan Danisha mengelus-elus pundak Aira. Mencoba meredam gejolak perasaan Aira, yang Danisha pun masih belum tahu alasannya.
Akhirnya, Aira melepas pelukannya. Danisha membawa Aira duduk di atas kasur sembari merapikan poni Aira yang acak-acakan.
"Ndoro Airaa.. ono opo toh? Kok tiba-tiba sedih gini?," Danisha memelankan suaranya.
Tangan Aira mengusap air matanya, yang sudah membasahi pipi gempalnya. Namun Aira masih sulit untuk mengungkapkan kepada Danisha.
"Yaudah.. kalau kamu belum mau cerita gakpapa. Nangis lagi juga gakpapa, jika itu membuatmu lega," tangan Danisha masih mengelus-elus punggung Aira.
Aira hanya mengangguk pelan. Menandakan dia belum bisa bicara apapun.
Danisha pun berusaha mengalihkan rasa sedih Aira dengan memulai bercerita. Dia menceritakan momen ketika dia telat ke kantor saat begadang bersama Aira.
Senyum Aira pun tergambar di wajah manisnya. Sedangkan Danisha yang semangat menirukan ulang gerakannya ketika bertemu Ibu Rea, membuat tawa kecil Aira pun memecah kegelisahan Danisha.
"Tuh udah ketawa. Hehehe.. anak cengeng," ejek Danisha sambil mengetok kepala Aira dengan pelan.
Suasana haru berubah jadi tawa. Danisha memang cocok jadi aktris. Gayanya memperagakan detail momen-momen saat dia di depan bosnya, mampu tergambar di pikiran Aira.
"Kamu tahu gak, ketika aku membalikkan badan dan mau menyapa klien bosku. Ternyata perwakilan perusahaan mitra bosku itu adalah Widi," kerut wajah Danisha jelas terbentuk saat mengucapkan itu.
Mimik muka Aira seketika berubah. Dia langsung menatap dalam Danisha. Danisha yang awalnya masih terus memperagakan pertemuan dengan Widi, tidak melihat reaksi Aira.
Ketika dia membalikkan badan ke depan Aira dan mau melanjutkan ceritanya, Danisha langsung terdiam. Dia bingung, kenapa raut wajah Aira kembali berubah.
Bukan sedih atau senang lagi. Tapi raut wajah amarah, yang sangat dikenal Danisha.
Raut wajah itu, hanya ditunjukkan Aira ketika Aira benar-benar marah dan bisa berbuat nekat untuk melampiaskan kemarahannya itu.
"Aira, kamu marah ya sama aku. Kenapa tiba-tiba wajahmu seperti itu," Danisha merasa bersalah, dia merasa Aira marah karena dia telat menceritakan pertemuannya dengan Widi.
"Sebenarnya aku mau cerita sama kamu, Yusha dan Maura. Tapi takut nanti kalian protes kalau aku kerja bareng sama dia,"
"Tapi yakin deh, gak ada lagi CLBK, aku kerjanya professional kok. Satu hari setelah meeting, dia mengirim email kalau perusahaanya setuju kerjasama dengan perusahaan bosku,"
Aira lalu berdiri dan mendekati Danisha. Danisha kaget sekaligus cemas. Dia takut, kejadian saat SMA, ketika raut wajah Aira sama persis seperti sekarang, bisa membuat Aira melempar tubuh lawan bicaranya hingga pingsan.
Kaki Danisha satu per satu mundur ke belakang secara perlahan. Namun Aira kembali mendekati Danisha.
"Jangan dekati Widi," ucap Aira tepat di depan wajah Danisha, dengan mata tajam memerah.
"Iya.. iya.. aku gak deketin dia kok. Kami cuma klien kerja doang," jawab Danisha ketakutan.
Hanya beberapa detik situasi itu menegangkan. Tiba-tiba raut wajah Aira berubah normal.
"Astagfirullah," telapak tangan Aira langsung mengusap wajahnya sendiri.
Dia mundur perlahan dari hadapan Danisha dan duduk di pinggiran kasur.
Danisha yang masih kaku ketakutan di depan Aira, semakin menjadi kebingungannya. Ada apa dengan temannya ini. Itu pertanyaan yang berkecambuk di benak Danisha.
"Sepertinya memang sudah saatnya kamu harus tahu Danisha. Umurmu juga sudah lebih dari 25 tahun,"
Danisha yang masih diam kaku di depan Aira, semakin bingung dengan ucapan temannya itu.
Aira menepuk kasur di sampingnya. Dia ingin Danisha duduk di sampingnya. Danisha yang melihat gerak-gerik Aira itu, langsung menenggak air ludahnya.
Danisha merasa takut. Takut berada di samping Aira. Namun Aira meyakinkan Danisha, dengan anggukan pelan dan senyuman khasnya.
Ketakutan Danisha langsung mencair. Dia lalu melangkahkan kaki ke arah kasur dan duduk di samping Aira.
"Kamu ingat ketika kamu pingsan, seusai kamu dan Widi ikut karate malam-malam itu?," tanya Aira.
Danisha hanya mengangguk pelan. Tentu dia ingat momen itu. Apalagi baru kemarin dia kembali flashback ke masa itu.
Aira lalu bercerita tentang apa yang dia lihat, dia rasakan dan dia alami. Aira bercerita tentang kain putih di saku celana Widi, yang ternyata itu adalah jimat pemikat untuk menggaet Danisha.
Itu bukan jimat sembarangan. Karena kain putih itu adalah kain kafan yang diambil dari mayat perempuan yang masih perawan.
Lalu, aura magis terasa ketika Widi mendekati Danisha, di pagi hari saat Danisha masuk sekolah usai insiden pingsan.
Aira juga mencium aroma bau kemenyan yang pekat, yang membuat Aira pusing.
"Aku juga mimpi kakekku. Dia berpesan kalau saat itu aku tidak boleh menceritakan sama kamu. Awalnya aku bingung kenapa. Tapi baru satu tahun terakhir aku tahu,"
Ternyata, semasa SMA, Danisha sangat mudah terpengaruh ajaran-ajaran sesat, yang bisa menjerumuskan Danisha.
Danisha hanya terdiam. Dia ingat ketika dia ikut kajian Abah Arif, namun dia tidak pernah cerita dengan Aira.
"Widi membawa pengaruh buruk untuk kamu. Sampai akhirnya, dia mengajak kamu untuk ikut ritual aneh itu,"
Danisha tiba-tiba kaget. Kenapa bisa Aira tahu. Padahal dia sudah semaksimal mungkin menyembunyikan aktifitasnya itu.
"Kamu kaget aku tahu? Aku sudah lama tahu. Aku minta bantuan sepupuku di Jawa sana, untuk melindungimu dari jauh,"
"Saat Abah Arif terpental saat akan menampar kamu. Itu kerjaan sepupuku. Dia mengirim jinnya ke kamu,"
Danisha semakin terdiam. Selama ini yang pintar menyembunyikan rahasia bukan dirinya. Tapi Aira.
Aira juga tidak bisa melarang Danisha untuk kembali dekat dengan Widi. Karena Aira tidak mau terlalu ikut campur soal kisah asmara temannya.
"Kalau kamu ingat, Widi selalu menolak ketika kamu mengajaknya ke rumahku. Atau ketika kita rencana double date. Karena Widi tahu, aku akan menghancurkan rencananya,"
"Rencana apa Aira," antara takut dan penasaran, Danisha sangat ingin tahu jawaban dari Aira.
"Aku juga tidak tahu. Sepupuku hanya bilang seperti itu. Aku harus ketemu sepupuku dulu. Baru dia bisa memberitahuku,"
"Kenapa kamu tidak ketemu sama sepupumu saat itu,"
"Tidak bisa. Ada masanya dia bisa ditemui. Dari kita sekolah sampai sekarang pun, sepupuku belum mau ketemu denganku,"
"Tapi dia meyakinkanku, jika kamu jauh dari Widi, kamu akan lebih aman, meskipun aku tidak menjamin 100 persen,"
Danisha pun mengingat-ingat kembali momen ketika Widi terus-terusan menolak jika dia mengajak jalan bareng bersama Aira dan pacarnya.
Mata Danisha lalu terbelalak. Dia mengingat sesuatu yang hampir saja terlupakan.
"Aira, aku pernah diberi sesuatu oleh Widi. Seperti batu cincin. Aku kira itu hanya bantu cincin biasa, tapi aku lupa diletakkan dimana,"
Aira langsung cemas. Dia kaget, kenapa bisa dia kebobolan akan hal itu.
"Mana, mana batunya?," Aira mendesak Danisha untuk segera memberikan batu itu ke dirinya.
"Nah.. aku baru ingat. Setelah putus, aku berikan baru itu ke tetanggaku. Tapi sekarang dia sudah meninggal dunia,"
"Innalilahi wainnailaihi rojiun. Fatal itu Danisha,"
"Kenapa emangnya Aira???," Danisha ketakutan mendengar ucapan Aira. Apa karena batu itu, tetangganya meninggal dunia.
Memang, tak lama setelah batu itu diberikan, tetangganya meninggal dunia.
"Kamu tahu gak, batu itu adalah mustika gaib,"
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
malest
baguss
2023-07-25
1
malest
bagus
2023-07-25
1
Aqila Salsabila
oh ...ada apa dgn widi
2022-01-31
2