Bangku Taman
Kita tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi, bahkan jika itu satu detik kedepan. Maka jangan pernah siakan, meskipun sesaat, dari setiap detik yang terlewati.
*****
Satu kebiasaan barumu, satu bulan ini. Di setiap menjelang sore, kau mengajakku melepas penat di bangku taman. Tempat yang tak jauh dari rumah kita, hanya 10 menit, beroda dua dengan santai.
"Ayolah Cupik ... keburu lewat deh siomay bang Karyo ...." rajukmu manja.
Kedua tanganku masuk ke kantong jaket, sementara kedua tanganmu menggelayut di lengan kiriku. Syal ungu yang melilit leher jenjangmu berkibar terseret angin.
"Brrrr ...."
"Dingin?" Dagu runcingmu berayun. Tangan kirimu sibuk membetulkan kerudung, memasukkan helai rambut yang hampir menyembul.
Kupencet hidung mungilmu, menaikkan kerah jaket yang kaupakai kemudian membetulkan lilitan syal ungu. Lalu kurengkuh pundakmu dengan satu lenganku.
"Eh emang ndak apa apa begini Cupik?"
"Begini apanya, Cipuk?" sahutku dengan panggilan sayang.
"Yah ... beginilah ..." pipimu memerah, bibirmu sedikit membiru karena hawa benar benar dingin sore ini.
"Sttt ... Setahuku negara kita tak melarang memperlihatkan kemesraan, seperti di negeri Lady Di,"
Pelan, kubisikkan lekat di telinganya. Tanganmu sigap mencubit.
"Hihihi ... Tapi memang baiknya jangan, takutnya banyak yang nyiyir Cupik, "
"Mengapa, bukankah kau istriku?"
"Hehehe ... Cipukk emang mereka tahu?"
"Apa perlu aku teriak nih... "
Kembali, kau mencubit pinggangku dan berseru manja.
"Ngak ada yang peduli kaliii ..."
Sahutmu dengan tertawa renyah, melepaskan peganganmu dan berlari kecil. Daun-daun kering jatuh diantara jejak kaki panjangmu.
"Wait! Jangan lari sayang, ingat dedek yang di perut!"
Kukejar langkahmu, hembusan angin menerpa pipiku, menusukkan hawa beku. Senyumku tersungging lebar melihatmu telah mencapai bangku taman, tempat biasa kita duduk.
"Yeeeaaaa ayo Cupikkk ... "
Serumu dengan senyum lepas, matamu berbinar karenanya.
Kujatuhkan badanku duduk di sampingmu. Bangku taman dari kayu tua, disusun rapi dengan warna alami berada di bawah pohon flamboyan.
"Bandel! Lihatlah perutmu sudah besar, hati-hatilah!"
Kau terkekeh, mengusap perutnya yang bergerak.
"Lihat Cupikk, indahnya ..." kepalamu tengadah, kedua tanganmu ikut mengansur ke atas, menangkap kelopak kelopak flamboyan merah yang berjatuhan. Tak memperdulikan kekhawatiran di mataku.
Aku tersenyum, kau memang menyukai bunga flamboyan. Sejak aku mengenalmu hingga kini kau sah menjadi pendamping hidupku, kesukaanmu tak berkurang. Memandang dengan ceria setiap buliran yang berjatuhan, apalagi ketika gerimis tiba. Syahdu.
Kutatap wajah polosmu dengan rasa syukur, setelah sekian tahun memendam hati akhirnya kau kumiliki. Tanpa banyak kata dan cara, kau memberikan satu syarat saja. Ketika akhirnya kuberanikan diri mengutarakan isi hati.
Kelibatan masa itu hinggap di benakku.
"Gie! bengong lu!" sentak Ardi mengagetkanku.
Kualihkan tatapanku mengikuti bayangmu, beralih pada sobat baikku. Rambut panjangnya mengombak bagai butiran ombak di samudra.
"Ahh reseh kau!" sungutku. Dan ketika kembali kupalingkan wajah ke arahmu, bayangmu menyelinap di balik gedung perpustakaan.
"Tuh kan! Kehilangan jejak deh, Kamu sih!" sesalku.
"Hahaha, kenapa cuman menguntit? Ayo dekati!" tantang Ardi.
"Jangan dong, kalau dia lari? patah hati dong aku!"
"Cemen!"
"Aku takut kehilangan ... Ar,"
Sanggahku kemudian duduk di bangku di depan jejeran kelas. Kudengar Ardi tertawa terpingkal pingkal kemudian menepuk pundakku sembari duduk menjejeriku.
"Emang sudah jadian?"
"Hussshh! Ya belum lah ..."
"Lalu mengapa takut kehilangan?"
Desak Ardi, memaksa.
"Memangnya takut kehilangan harus memiliki?"
"Halah dasar kamu pintar menghindar!"
Pukk
Kau menepuk pahaku pelan, matamu lekat menatapku hingga kenangan yang sempat melintas hilang.
"Cupikkk... Kenapa senyam senyum, sih?" rajukmu lagi.
Aku tergelak, menatap wajahnya bulat-bulat.
"Ingat waktu itu ..."
"Waktu apa?" desakmu.
"Menjadi pengagum rahasiamu,"
Kulihat wajahmu memerah kemudian kau tangkupkan kedua tangan menutup mulutmu, hingga tinggal mata indah yang terlihat. Kau tersipu.
Tok
Tok
Tok
Suara siomay Bang Karyo membuatmu terlonjak.
"Cupikk... "
"Sini Bang!" seruku ke arah Bang Karyo sambil mengacungkan dua jariku.
"Siap Bos ...."
Bang Karyo menghentikan gerobak dorongnya di tepi trotoar. Kemudian asyik meramu siomaynya.
Taman ini berada di tengah kota. Persis di depan kantor pemerintahan tingkat II. Bentuknya persegi mengikuti alur jalan lingkar, yang tak begitu padat. Setiap sore taman ini ramai pengunjung. Beberapa spot mainan anak-anak disediakan di pinggiran area. Bangku-bangku taman disebar di sepanjang tepi taman. Sementara di tiap sudut taman terdapat gazebo.
Area taman dilingkari oleh trotoar dengan lebar 2 meteran. Pengunjung, biasa berjalan keliling trotoar sebelum menentukan tempat istirahat, di bangku taman.
"Silahkan ..."
Bang Karyo membawa nampan berisi dua mangkok berisi siomay pesanan. Kau menerimanya dengan ceria.
"Makasih ya, Bang ..." katamu.
Bang Karyo mengangguk, melebarkan senyum sambil mengacungkan jempol.
"Cupikkk ...."
"Ya?"
"Enakkk, kata dedek ..."
Aku tergelak. Kuelus perutmu yang membuncit. Kurasa baby dalam perutmu sangat aktif sore ini.
"Memang adek suka pedes?"
Kulirik mangkok siomaymu yang penuh sambal kacang. Kembali kau tersipu.
"Cupiikkk ..."
Senja bergelayut, taman yang penuh rindang pohon berbunga semakin ramai. Banyak pasangan muda membawa balita mereka. Ada yang tengah berlatih berjalan, ada yang asyik bermain dalam kereta dorongnya. Kulirik wajah lembutmu yang tersenyum, menatap sudut mataku.
"Hehehe, Cupikk mikirin apa?"
"Ndakkk ... Bentar lagi kita seperti mereka." tunjukku pada pasangan muda yang tengah bermain dengan buah hati mereka. Kau terkekeh, kemudian meletakkan mangkok siomaymu yang telah tandas.
"Sehat selalu ya, Dek, bentar lagi..."
Usapmu pada perutmu, terlihat gerakan riang hingga permukaan menonjol ke kiri dan ke kanan.
Aku tertawa, dirimu juga. Hampir satu tahun kita lewati masa bersama. Satu syarat yang kauajukan membuatku menjadi seorang laki-laki. 'Jika kau serius kuminta kau melamarku kepada ayah ibuku,' katamu waktu itu.
Dan aku tidak akan mundur dari apa yang telah aku ucapkan. Kau menerimaku tanpa syarat, kau menghargai keberanian dan tanggung jawab yang kujanjikan. Cinta itu bisa dipupuk, bahkan jika kita berawal dari tidak kenal sekalipun. Karena sejatinya sebuah pernikahan adalah mengikuti fitroh manusia, jika kita berserah diri, maka bersama akan saling menguatkan. Apapun yang akan dilalui. Katamu waktu itu.
Flamboyan kembali berjatuhan, saat kau menyapa seorang anak kecil yang mendekatimu. Ibu anak itu mengikutinya dari belakang.
"Dedek ...."
Kau lambaikan tanganmu ceria. Anak itu hanya memamerkan giginya kemudian berjingkrak-jingkrak di trotoar sambil tertawa.
"Hukkk ... Hukk!"
"Kenapa sayang?"
"Hausss ...."
Kupincit hidungmu gemas.
"Mau capucino?"
Kau mengangguk.
"Okey, duduk saja disini ya, jangan kemana-mana!"
"Iyaaa ... Cupikk"
Aku beranjak, coffe shop berada di seberang jalan, tak jauh. Cukup menyeberang jalan. Kumasukkan kedua tanganku di saku jaket. Melihat ke kanan dan ke kiri sebelum melanjutkan langkah.
Sepintas ketika ku berada di seberang jalan, dari pantulan kaca kulihat kau beranjak.
Cittttt
Brukkkk
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Triceratops
kepenulisannya rapi.. teratur.. keren.. tidak berlebihan tapi bisa tersampaikan rasa dan ceritanya
2022-09-19
1
KIA Qirana
👌👌👌👌👌👌👌
2021-09-04
0
Dhina ♑
⭐⭐⭐⭐⭐
2021-08-29
0