Hari Baru

Hari Baru

Menyatukan kaca yang retak itu tak mudah, karena bisa jadi serpihannya telah menyebar kemana -mana.

***

Kuletakkan pigura foto dengan ukuran double postcard di atas meja kerjaku. Disana terdapat 3 perempuan yang amat kucinta. Ibu, Kau dan Ghifa.

Pagi ini aku datang awal, seperti biasa. Toh rumah kita ke kantor tak jauh jaraknya. Kau ingat, Sapto?, pemuda kurus berkulit putih, berwajah oval dengan potongan rambut yang selalu cepak. Rekan kerjaku satu ruang yang selalu datang paling pagi, itupun belum tampak batang hidungnya.

Tak banyak berubah, setelah tiga minggu ijin bersambung diberikan padaku. Meja-meja diatur memutari ruangan. Ada 11 orang yang berada dalam ruangan ini dengan meja masing-masing. Setiap meja terdapat berkas pekerjaan yang harus segera dilakukan. Sementara di mejaku bersih. Pekerjaan terakhir sebelum aku ijin bersambung, sudah masuk almari file.

Meja Pak Reno, berada di tengah. Hingga jija terjadi rapat bagian, semua dapat melihat pak Reno dengan sama. Kau ingat Pak Reno kan, Laras? Benar, beliau adalah kepala bagian, yang secara rutin menjengukku untuk memastikan keadaan spikisku tak memburuk. Kau lihat, semua mengkhawatirkan kita.

Tok

Tok

"Assalamualaikum, Gie? Kau sudah sehat?"

Sapto datang, dengan langkah mantap. Kemudian melambat ketika melihatku duduk di bangku kerjaku.

"Sudah, terima kasih doanya, aku sudah sehat," Jawabku.

sambil tersenyum lebar. Sapto meletakkan tas punggungnya kemudian duduk di sebelah meja kerjaku. Kulihat matanya melirik pada foto di hadapanku. Hembusan nafasnya terdengar berat.

"Bagaimana kabar anakmu, sudah bisa apa?"

"Ghifa? Sudah suka ngajak ngobrol dia... "

Aku tersenyum lebar mengusap foto di hadapanku dengan mata berbinar, ketika kutoleh Sapto, ia memalingkan wajahnya.

"Cantik kan anakku, rambutnya mulai melebat, sehabis digundul ehhh ... malah cepet tumbuhnya," ceritaku.

Sapto menunduk, tak berani menatapku, tak juga menatapmu yang tersenyum memeluk Ghifa.

"Heem ..."

"Ada apa sih kamu, kok jadi pendiam amat, kau ndak mau lihat foto anakku?"

Kudekatkan fotomu ke hadapannya.

"Gie ...heg,"

Kulihat wajahnya tegang. Kuletakkan kembali fotomu dan Ghifa, kemudian kutepuk punggungnya yang bergetar.

"Ada apa, Sap? Kau sakit?"

Sapto menggeleng, diangkatnya kepala dan menatap padaku.

"Kau harus tetap tegar, Gie. Maaf ya, aku masih suka sesek terbawa keadaan,"

"Oohh ... Tak apa, tenang saja. Laras tak begitu saja meninggalkanku, dia masih mendampingi kami, kok!"

"Haaa? Apa, Gie?"

Sapto mengerling dengan heran. Kutepuk lagi pundaknya.

"Dah, jangan dipikir. Sekarang apa yang perlu kukerjakan?"

Sapto tak memaksa, ia membuka laptop di atas mejanya.

"Rekapitulasi data aset sekolah, kau pegang kecamatan kota ya,"

"Okey, kirim datanya,"

Kubuka pula laptopku, dan menunggu Sapto mentransfer beberapa data yang menjadi tanggung jawabku. Sementara itu teman-teman dalam satu ruang ini mulai berdatangan.

"Assalamualaikum, Gie ...?"

"Hah, Gie?"

Bu Retno dan Nania menghampiri mejaku seakan tak percaya.

"Kau sudah sehat, Nak?" tanya Bu Retno yang hampir seusia ibuku.

Aku mengangguk.

"Bener?"

Bu Retno memaksa memeriksa tubuhku, ah semua juga pasti tahu, badanku utuh, sehat dan masih kuat. Semua juga tahu, bahwa hatiku yang retak, rapuh, hancur berkeping.

"Pak Gie, bener sudah sehat?"

Nania, pegawai yang baru saja masuk dalam Tim Aset, menyapaku ragu.

"Iya, Bu Nania,"

Jawabku sembari mengangguk.

Sementara itu, Bu Retno melirik Sapto dengan galak. Ketika melihat gerak gerik Sapto, mengotak atik data.

"Jangan dikasih beban dulu, biar adaptasi lingkungan lagi, ini hari pertamanya masuk kembali!"

"Tapiii ..."

"Tidak ada tapi!"

Pungkas Bu Retno, aku dan Sapto hanya bisa nyengir kuda. Nania sudah meletakkan tas kerjanya.

"Gie, jangan dipaksa dulu, santai ya ...!"

"Siaap Buk!" jawabku bersemangat.

"Itu foto anakmu, Gie?"

Bu Retno melayangkan pandangan ke mejaku, sembari berjalan ke mejanya.

"Bagaimana, eee ... siapa nama anakmu Gie, Ibu lupa ..."

"Aleema Ghafara, buk, panggilannya Ghifa,"

"Oohh ya, Ghifa, sehat kan?"

"Alhamdulillah, buk, sehat ..."

"Alhamdulillah ..."

Pak Reno ada tugas 3 hari ke luar kota, sehingga tak datang ke kantor. Bu Retno memberitahunya tentang keberangkatanku, hingga beliau meneleponku untuk memastikan.

"Jangan diforsir ya, ingat kau masih dalam pengawasan dokter. Masih suka pusing, tidak?"

Suara di seberang sedikit bernada perintah, setelah bertanya tentang kedatanganku.

"Ya, pak. Alhamdulillah sudah tidak pusing pusing lagi, kok Pak."

"Okey, selamat kembali bertugas, Gie. Semangat ya!"

"Baik, Pak. Terima kasih."

Kuturunkan gawaiku setelah sambungan telepon diputus. Beruntungnya punya keluarga dan teman yang selalu mendukung. Mereka tak pernah melepaskan diriku sendiri. Bahkan ketika sebuah ucapan yang sempat kudengar saat itu dari dokter Ferdhi.

"Shock hebat akan membuat seseorang jatuh depresi, hingga ada kemungkinan timbul halusinasi yang berkepanjangan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah, selalu bersamanya. Menemani dan memberi semangat,"

Dan kita mempunyai itu. Laras, kita tidak sendiri melewati ini, teman dan keluarga selalu disampingku, tak pernah meninggalkan. Kutatap fotomu yang yang tengah mendekap Ghifa, Kau pasti setuju, ya kan Laras?

****

"Gie! Gie!"

Ardi tergopoh memasuki rumah, tanpa salam, langsung nyelonong masuk ke ruang tengah.

"Apaan sih, salam jugat belum, main selonong saja kau!" bentakku.

Saat itu aku tengah menyuapi Ghifa. Pipi gadis kecil kita sudah bertambah gembil, gerakan tubuhnya pun semakin aktif, merangkak kesana kemari. Kau tersenyum bahagia ketika kuajak dia bertemu dengamu petang itu. Tampaknya Ghifa kecil kita pun begitu. Ia tak berhenti bertepuk sambil terkekeh ketika kau menggodanya.

"Maaf, Assalamualaikum ..."

"Waalaikumsalam ... Nah gitu dong, ada apa, hemm?" lirikku.

Wajah Ardi terlihat tegang, dijatuhkan badannya di atas sofa. Sementara itu Bik Nah, meminta mangkuk sereal dariku.

"Sini den, Bik Nah yang terusin. Lihat tuh wajah Den Ardi kayak benang kusut!"

"Hahaha...!"

"Bik Nahhhhh, ngeledek ya,"

"Ndak ... kok, den. Ndak salah!"

Sahut Bik Nah santai sambil mendorong kursi Ghifa ke teras samping.

"Hahaha, kena kau!"

"Kau juga, ikutan ngeledek!" sungut Ardi.

"Lagian kenapa sih, kusut banget?"

Ardi mengacak-acak rambut gondrongnya, terdiam sebentar. Kemudian berbisik padaku.

"Apa? Serius?!"

Ardi mengangguk kemudian menunduk memainkan jarinya.

"Yesss!!! Tunggu apa lagi, Ayokk,"

Sentakku bahagia, kugoncang-goncang tubuh Ardi dengan girang. Betapa tidak, akhirnya sahabatku sejak kecil itu akan meminang pujaan hatinya.

"Temani aku, ya. Cari sesuatu yang akan dibawa besok,"

"Siaaap, Ayo dong tersenyum ... jangan dibikin kusut wajahnya!"

"Hehehe, grogi aku Gie ..."

"Tenang, nanti kuajak kau konsultasi, biar hatimu tenang,"

Aku segera beranjak, bersiap untuk mengantar Ardi. Kemudian pamit pada Bik Nah, dan menyampaikan pesanku pada Ibu. Sementara itu Ibu masih menghadiri undangan di tempat pakdhe Nomo.

"Konsultasi? Sama siapa?"

Ardi ikut beranjak dari sofa, menututiku yang mendahului keluar dan membiarkan wajah Ardi yang melongo.

"Larass lah, siapa lagi? Ayo kita berangkat!"

........

Terpopuler

Comments

KIA Qirana

KIA Qirana

🤗🤗🤗🤗🤗🤗🤗

2021-09-04

1

Caramelatte

Caramelatte

eyo kakak author! Ku balik nih!🤭 Semangat yaa upnya! 🤗

2021-01-11

1

Diana (ig Diana_didi1324)

Diana (ig Diana_didi1324)

ceritanya bikin terharu
aku bom like sampai sini dulu kak, n rate serta vote untukmu❤❤

semangatt yaa, sukses selalu💪😊
salam kenal dari
senjakala di kota paris

2020-12-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!