Syal Ungu

Syal Ungu

Mengurai bahagia bersama adalah dambaan keluarga. Lalu bagaimana jika sebuah keluarga tak lagi lengkap? Apakah kebahagian itu bisa utuh?

Tiba di rumah, Ghifa menyambutku dengan tenang. Gadis kecil berambut ikal yang mulai suka berceloteh, tengah duduk di tempat tidur sembari memandang fotomu. Kau tengah tersenyum bersamaku duduk di bangku taman dimana flamboyan sedang berbunga lebat. Kerudung ungu dengan syal berwarna ungu pula berada di lehermu diantara kerah jaket yang kautinggikan. Udara saat itu benar-benar dingin.

"Hai cantik..."

Sapaku sambil mengecup pipinya yang chubby. Sontak tangan mungil Ghifa memencet hidungnya.

"Ayaa mandi!"

Serunya galak. Aku tergelak.

"Oke, boss, siaaap laksanakan!"

Ghifa memamerkan deretan gigi susunya yang mulai tumbuh merata.

Kuletakkan gawaiku di atas nakas. Sesaat tadi sempat kubaca pesan yang masuk dari Citra. Pertanyaan yang sama, belum kubalas kembali. Waktu itu aku menjanjikan di minggu ini untuk datang memenuhi undangan orang tuanya. Tapi permintaan Anton kemarin membuatku berpikir kembali. Aku bergegas menuju kamar mandi, ketika kulihat Ghifa menoleh padaku.

Guyuran air hangat dari shower kubiarkan lama menghujani kepala dan tubuhku. Lelah seharian berangsur terurai dengan nyaman. Keringat yang mengering rontok dengan usapan busa yang mewangi.

Cukup setelah mengeringkan badan dan berganti baju kuhampiri Ghifa yang masih memandangi fotomu.

"Ayaaa!"

"Ya sayang?"

Kulongokkan kepalaku kearah telunjuk Ghifa.

"Ohh itu namanya syal, Ghifa ..."

"Syal bunda?"

Aku mengangguk.

"Sebentar ya, Ayah ambilkan."

Langkahku nenuju Almari, kubuka satu pintu yang paling kiri, dimana terdapat tempat gatungan baju. Dibawahnya terdapat dua buah laci. Kutarik laci atas, dimana syal ungumu tersimpan. Sesak tiba-tiba memenuhi dada.

Sebuah syal ungu yang biasa kaupakai, masih tercium wanginya. Terakhir kaupakai di sore itu, saat kuminta kau untuk tetap duduk di bangku taman, ketika aku menyeberang jalan membeli minuman.

Kutahan airmataku, dengan sedikit mendongak sambil menutup pintu. Kutarik bibirku melebar sebelum berbalik mengejutkan gadis kecil kita.

"Taraaa!"

"Yeee... Hihihi!"

Ghifa meloncat loncat di bed sambil mendekap fotomu. Rambut ikalnya ikut terangkat keatas dan kebawah.

"Syal bunda, syal bunda!"

"Ghifa mau pakai?"

Ghifa menggeleng kuat.

"Buat Bunda, Ayaa ...."

Aku tersenyum merekuh Ghifa dalam pelukan.

"Ghifa pingin ketemu Bunda?"

"Heemmm!"

Gadis kecil kita mengangguk sama kuatnya ketika tadi dia menolak memakai syal ungumu.

"Oke, Ayokkk!"

"Yeee ketemu bunda!"

Aku terkekeh, senyum gadis kecil ini begitu ceria. Kuminta fotomu untuk kembali kuletakkan di atas meja kerjaku, yang berada di dekat jendela.

Lalu Ghifa melompat ke punggungku setelah kupakaikan jaket pinkynya.

"Ayaa ..."

"Ya sayang?"

"Sama mama?"

Deg.

"Mama Citra baru sibuk sayang, mungkin minggu ini tidak main ke rumah Ghifa."

Jawabku sembari melangkah keluar.

"Besok main ke rumah mama ya, Ayaa."

"Bolehhh."

"Yeee main ke rumah mama ... yeee."

Aku terkekeh, namun hatiku berdesir mungkin mendung menelusup ke dalam hingga gerimis setiap saat akan menitik.

"Buk, jalan-jalan dulu ya."

Pamitku ketika melongok ke dapur, Ibu sedang sibuk berbenah. Sementara Bik Nah asyik melipat pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran.

"Ya, bawa bekal ya Ghifa,"

"Heeemmm!"

Ghifa mengangguk kuat. Kebiasaan, setuju atau tidak di tunjukkan melalui gelengan atau anggukan dengan kuat. Ibu tersenyum, kemudian membuatkan susu rasa coklat kesukaan Ghifa di botol jumbonya. Ibu juga menata kue-kue pada tempat makan berbentuk stwaberry lalu memasukkan tempat makan dan susu itu pada Tas punggung kecil Ghifa.

"Hati-hati ya, jangan terlalu petang pulangnya." pesan Ibu sambil mengecup dahi Ghifa.

"Iya Eyang ..."

"Da ... da ..."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Seperti biasa Ghifa duduk manis di kursi rotannya yang berada diantara jok dan stang matic hitamku. Helm kecil warna pink bertengger di kepalanya, menyisakan rambut ikalnya menyembul bergelombang dibagian bawah helm.

Tiiitt

Tiiit

Ghifa memainkan bel sambil terkekeh.

"Bunda, Ayaaa."

"Iya, sayang,"

Kami lewati kompleks yang tak seberapa jauh dari taman yang dituju. Beberapa gedung perkantoran terlewati, hingga sampai ke taman di tengah pusat pemerintahan yang sedikit lenggang.

Aku hentikan matic hitamku di tempat yang tersedia sebagai tempat parkir di pinggir trotoar yang menjorok dari jalan. Beberapa motor terdapat disana, Beberapa pasangan muda juga telah menyebar di seputar taman. Masih seperti ketika kita asyik memandangi mereka, saat Ghifa masih berada dalam perutmu.

"Ayaaa!"

Seru Ghifa sambil menarik-narik helmnya. Matanya sudah memutari taman dengan tak sabar.

"Iya, sebentar. Ayah bantu sini."

Kuangkat gadis kecil kita dari duduknya. Lalu kulepaskan pengait pengaman kemudian meletakkan helm itu diatas singgasana rotan Ghifa.

"Yeee!"

Seru Ghifa kegirangan, sesaat ia terdiam. Tinggi trotoar hampir sedadanya. Ia menoleh, meminta persetujuanku untuk memanjat. Aku mengangguk, Ghifa menapakkan kedua tangannya di trotoar, kemudian menggunakan satu lututnya untuk mengangkat tubuhnya ke trotoar.

Berhasil.

Ghifa bertepuk tangan dengan gembira.

"Yeee ... yeee!"

"Bagus Ghifa!"

Kubersihkan telapak tanganya dengan tisue basah, kemudian kuminta Ghifa untuk membuangnya di tempat sampah yang tersedia.

"Good job!"

Ghifa mengandeng tanganku.

"Bunda, Ayaa."

"Iya cantik,"

Ghifa melompat-lompat dengan tangan masih mengenggam erat. Tak ingin terlepas, tak ingin pula berpindah jalur, langkahnya mantap menuju bangku taman, tempatmu berada.

"Ayoo Ayaaa..."

"Iya sayang."

Aku berlari kecil mengimbagi langkah kecilnya yang lebar.

"Hihihi ... Hihihi ..."

Goyangan flamboyan merah menyambut kedatangan kami dengan warna cerianya.

"Bunda ... bunda ...bunda"

Hatiku berdesir, nyeri, suara Ghifa terdengar ceria penuh rindu.

"BAA! Hihihi..."

Ghifa mencoba mengagetkanmu, Laras, dengan menepukkan kedua tangannya di bangku di sebelahmu duduk. Kau tersenyum lebar, memainkan matamu dan membuat Ghifa kembali terkekeh.

Dengan mudah, anak kita naik ke bangku taman, duduk di sampingmu dengan tetap memandangmu.

"Bunda ..."

"Ghifa cantik ..."

Balasmu sambil mengusap rambut Ghifa dan mengecup pipinya.

"Hihihi, Hihihi dingin ..." seru Ghifa sambil mengelus pipi dimana kau mencium.

"Lagi-lagi Bunda!"

Kau kembali mengecup kedua pipi kemudian kening, dan Ghifa bersorak-sorak kegirangan.

"Dingin ... dingin!"

Gigi gadis kecil kita terlihat rapi berjajar, tawanya lepas.

"Cupiiikk,"

Kutatap kedua bola matamu, bahagia terpancar disana.

"Ya Cipukkk ..."

"Cupikk? Cipukk?"

Tiba-tiba tawa Ghifa berhenti, menoleh ke arahku kemudian menoleh memandang wajahmu. Lalu mukanya cemberut, bibirnya mencucu.

"Bunda?"

"Cipukkk" jawabku.

"Ayaaa?"

"Cupikkk," Jawabmu.

"Ghifa?"

"Cipikkk!"

Jawabmu dan aku bersamaan.

"Hihihi ... Hihihihi, Cipikkk!" Ghifa bertepuk tangan gembira.

Kulihat kau pun tertawa. Aku menatapmu penuh rindu.

"Ayaa, eh Cupikk syal Bunda," pinta Ghifa.

"Ups, siap Bos!"

Kukeluarkan syal ungu dari tas kecil Ghifa dan kuberikan padanya. Gadis itu berdiri diatas bangku, agar bisa mengalungkan syal ungu itu di lehermu

"Bunda pakai, dingin," pinta Ghifa sembari mengalungkan syal ungu itu di lehermu.

Tapi syal itu terkulai jatuh, Ghifa terdiam sesaat. Kemudian diambilnya lagi, dan dikalungkannya lagi di lehermu. Syal itu tetap terkulai.

"Bun-da, pa-kai. Bun-da din-gin," kata Ghifa terbata.

Diambilnya lagi syal yang terkulai untuk dilingkarkan lagi.

"Ghifa sayang," bisikmu.

"Bunda pakai," pinta Ghifa.

Aku mendongak, mencoba menahan untuk tidak berkaca. Langit cerah semburat jingga, tahan hatiku untuk tidak hujan deras.

"Cipikkk sayang, duduklah,"

Ghifa menurut, masih menatap Bundanya dengan sedih.

"Cupikkk"

"Ya, ya sayang," jawabku tergagap, wajahmu tetap tersenyum.

"Tolong pakaikan syal ungunya untuk Cipikkk," pintamu.

Kemudian kau kecup kedua mata Ghifa yang berkaca-kaca.

"Hihihi ... dingin Bunda!" serunya kegelian.

Kuambil syal ungu itu, kemudian kulilitkan pada leher Ghifa dan kumasukkan kedua ujungnya ke dalam jaket.

Ghifa memandangi syal itu berulang kali.

"Syalnya untuk Ghifa, mau kan?"

Ghifa mengangguk, mencoba memelukmu, kurengkuh kau dan Ghifa dalam dekapku.

"Hihihi .... dingin, Bunda,"

Kau tersenyum, Ghifa tertawa bahagia, senyumku melebar. Tapi hatiku remuk redam.

Senja akan segera berlalu.

.....

Terpopuler

Comments

Diana (ig Diana_didi1324)

Diana (ig Diana_didi1324)

mantapp Thor ceritanya
aku mampir lg nih bawa bom like
smngt ya💪

salam dari
senjakala di kota paris

2020-12-11

1

👑

👑

mantep Thor

2020-11-27

1

👑卂尺丂ㄚ

👑卂尺丂ㄚ

jejak tamsi sampe disni thor..

2020-11-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!