Kita tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi, bahkan jika itu satu detik kedepan. Maka jangan pernah siakan, meskipun sesaat, dari setiap detik yang terlewati.
*****
Satu kebiasaan barumu, satu bulan ini. Di setiap menjelang sore, kau mengajakku melepas penat di bangku taman. Tempat yang tak jauh dari rumah kita, hanya 10 menit, beroda dua dengan santai.
"Ayolah Cupik ... keburu lewat deh siomay bang Karyo ...." rajukmu manja.
Kedua tanganku masuk ke kantong jaket, sementara kedua tanganmu menggelayut di lengan kiriku. Syal ungu yang melilit leher jenjangmu berkibar terseret angin.
"Brrrr ...."
"Dingin?" Dagu runcingmu berayun. Tangan kirimu sibuk membetulkan kerudung, memasukkan helai rambut yang hampir menyembul.
Kupencet hidung mungilmu, menaikkan kerah jaket yang kaupakai kemudian membetulkan lilitan syal ungu. Lalu kurengkuh pundakmu dengan satu lenganku.
"Eh emang ndak apa apa begini Cupik?"
"Begini apanya, Cipuk?" sahutku dengan panggilan sayang.
"Yah ... beginilah ..." pipimu memerah, bibirmu sedikit membiru karena hawa benar benar dingin sore ini.
"Sttt ... Setahuku negara kita tak melarang memperlihatkan kemesraan, seperti di negeri Lady Di,"
Pelan, kubisikkan lekat di telinganya. Tanganmu sigap mencubit.
"Hihihi ... Tapi memang baiknya jangan, takutnya banyak yang nyiyir Cupik, "
"Mengapa, bukankah kau istriku?"
"Hehehe ... Cipukk emang mereka tahu?"
"Apa perlu aku teriak nih... "
Kembali, kau mencubit pinggangku dan berseru manja.
"Ngak ada yang peduli kaliii ..."
Sahutmu dengan tertawa renyah, melepaskan peganganmu dan berlari kecil. Daun-daun kering jatuh diantara jejak kaki panjangmu.
"Wait! Jangan lari sayang, ingat dedek yang di perut!"
Kukejar langkahmu, hembusan angin menerpa pipiku, menusukkan hawa beku. Senyumku tersungging lebar melihatmu telah mencapai bangku taman, tempat biasa kita duduk.
"Yeeeaaaa ayo Cupikkk ... "
Serumu dengan senyum lepas, matamu berbinar karenanya.
Kujatuhkan badanku duduk di sampingmu. Bangku taman dari kayu tua, disusun rapi dengan warna alami berada di bawah pohon flamboyan.
"Bandel! Lihatlah perutmu sudah besar, hati-hatilah!"
Kau terkekeh, mengusap perutnya yang bergerak.
"Lihat Cupikk, indahnya ..." kepalamu tengadah, kedua tanganmu ikut mengansur ke atas, menangkap kelopak kelopak flamboyan merah yang berjatuhan. Tak memperdulikan kekhawatiran di mataku.
Aku tersenyum, kau memang menyukai bunga flamboyan. Sejak aku mengenalmu hingga kini kau sah menjadi pendamping hidupku, kesukaanmu tak berkurang. Memandang dengan ceria setiap buliran yang berjatuhan, apalagi ketika gerimis tiba. Syahdu.
Kutatap wajah polosmu dengan rasa syukur, setelah sekian tahun memendam hati akhirnya kau kumiliki. Tanpa banyak kata dan cara, kau memberikan satu syarat saja. Ketika akhirnya kuberanikan diri mengutarakan isi hati.
Kelibatan masa itu hinggap di benakku.
"Gie! bengong lu!" sentak Ardi mengagetkanku.
Kualihkan tatapanku mengikuti bayangmu, beralih pada sobat baikku. Rambut panjangnya mengombak bagai butiran ombak di samudra.
"Ahh reseh kau!" sungutku. Dan ketika kembali kupalingkan wajah ke arahmu, bayangmu menyelinap di balik gedung perpustakaan.
"Tuh kan! Kehilangan jejak deh, Kamu sih!" sesalku.
"Hahaha, kenapa cuman menguntit? Ayo dekati!" tantang Ardi.
"Jangan dong, kalau dia lari? patah hati dong aku!"
"Cemen!"
"Aku takut kehilangan ... Ar,"
Sanggahku kemudian duduk di bangku di depan jejeran kelas. Kudengar Ardi tertawa terpingkal pingkal kemudian menepuk pundakku sembari duduk menjejeriku.
"Emang sudah jadian?"
"Hussshh! Ya belum lah ..."
"Lalu mengapa takut kehilangan?"
Desak Ardi, memaksa.
"Memangnya takut kehilangan harus memiliki?"
"Halah dasar kamu pintar menghindar!"
Pukk
Kau menepuk pahaku pelan, matamu lekat menatapku hingga kenangan yang sempat melintas hilang.
"Cupikkk... Kenapa senyam senyum, sih?" rajukmu lagi.
Aku tergelak, menatap wajahnya bulat-bulat.
"Ingat waktu itu ..."
"Waktu apa?" desakmu.
"Menjadi pengagum rahasiamu,"
Kulihat wajahmu memerah kemudian kau tangkupkan kedua tangan menutup mulutmu, hingga tinggal mata indah yang terlihat. Kau tersipu.
Tok
Tok
Tok
Suara siomay Bang Karyo membuatmu terlonjak.
"Cupikk... "
"Sini Bang!" seruku ke arah Bang Karyo sambil mengacungkan dua jariku.
"Siap Bos ...."
Bang Karyo menghentikan gerobak dorongnya di tepi trotoar. Kemudian asyik meramu siomaynya.
Taman ini berada di tengah kota. Persis di depan kantor pemerintahan tingkat II. Bentuknya persegi mengikuti alur jalan lingkar, yang tak begitu padat. Setiap sore taman ini ramai pengunjung. Beberapa spot mainan anak-anak disediakan di pinggiran area. Bangku-bangku taman disebar di sepanjang tepi taman. Sementara di tiap sudut taman terdapat gazebo.
Area taman dilingkari oleh trotoar dengan lebar 2 meteran. Pengunjung, biasa berjalan keliling trotoar sebelum menentukan tempat istirahat, di bangku taman.
"Silahkan ..."
Bang Karyo membawa nampan berisi dua mangkok berisi siomay pesanan. Kau menerimanya dengan ceria.
"Makasih ya, Bang ..." katamu.
Bang Karyo mengangguk, melebarkan senyum sambil mengacungkan jempol.
"Cupikkk ...."
"Ya?"
"Enakkk, kata dedek ..."
Aku tergelak. Kuelus perutmu yang membuncit. Kurasa baby dalam perutmu sangat aktif sore ini.
"Memang adek suka pedes?"
Kulirik mangkok siomaymu yang penuh sambal kacang. Kembali kau tersipu.
"Cupiikkk ..."
Senja bergelayut, taman yang penuh rindang pohon berbunga semakin ramai. Banyak pasangan muda membawa balita mereka. Ada yang tengah berlatih berjalan, ada yang asyik bermain dalam kereta dorongnya. Kulirik wajah lembutmu yang tersenyum, menatap sudut mataku.
"Hehehe, Cupikk mikirin apa?"
"Ndakkk ... Bentar lagi kita seperti mereka." tunjukku pada pasangan muda yang tengah bermain dengan buah hati mereka. Kau terkekeh, kemudian meletakkan mangkok siomaymu yang telah tandas.
"Sehat selalu ya, Dek, bentar lagi..."
Usapmu pada perutmu, terlihat gerakan riang hingga permukaan menonjol ke kiri dan ke kanan.
Aku tertawa, dirimu juga. Hampir satu tahun kita lewati masa bersama. Satu syarat yang kauajukan membuatku menjadi seorang laki-laki. 'Jika kau serius kuminta kau melamarku kepada ayah ibuku,' katamu waktu itu.
Dan aku tidak akan mundur dari apa yang telah aku ucapkan. Kau menerimaku tanpa syarat, kau menghargai keberanian dan tanggung jawab yang kujanjikan. Cinta itu bisa dipupuk, bahkan jika kita berawal dari tidak kenal sekalipun. Karena sejatinya sebuah pernikahan adalah mengikuti fitroh manusia, jika kita berserah diri, maka bersama akan saling menguatkan. Apapun yang akan dilalui. Katamu waktu itu.
Flamboyan kembali berjatuhan, saat kau menyapa seorang anak kecil yang mendekatimu. Ibu anak itu mengikutinya dari belakang.
"Dedek ...."
Kau lambaikan tanganmu ceria. Anak itu hanya memamerkan giginya kemudian berjingkrak-jingkrak di trotoar sambil tertawa.
"Hukkk ... Hukk!"
"Kenapa sayang?"
"Hausss ...."
Kupincit hidungmu gemas.
"Mau capucino?"
Kau mengangguk.
"Okey, duduk saja disini ya, jangan kemana-mana!"
"Iyaaa ... Cupikk"
Aku beranjak, coffe shop berada di seberang jalan, tak jauh. Cukup menyeberang jalan. Kumasukkan kedua tanganku di saku jaket. Melihat ke kanan dan ke kiri sebelum melanjutkan langkah.
Sepintas ketika ku berada di seberang jalan, dari pantulan kaca kulihat kau beranjak.
Cittttt
Brukkkk
Capucino Untukmu
By: SBB
Pernahkah mengalami, melangkah dalam gamang, Hingga tak merasa siapa diri sendiri? Yakinlah satu cara mengembalikan semua itu adalah, berdamailah dengan hatimu.
***
"Aaaa!"
"Tolong ... Tolong!"
Teriakan si Ibu dari anak kecil yang tadi kausapa menjadi suara pertama yang menusuk telingaku.
Aku berbalik, mobil berwarna metalic itu masih berada disana. Pintu pintunya terbuka dan pengemudinya keluar dengan langkah cepat.
Refleks aku berlari. Bukankah kau masih duduk di bangku itu, sayangku? Tapi kepanikan disitu membuatku beku. Langkahku cepat menuju kerumunan.
"Ya, Allah... Tolong tolong ... Dia ..." ibu tadi meraung-raung sambil memeluk anaknya yang menangis sambil menunjuk.
"Tante ... Tante ..."
"Laras!"
Kurengkuh dirimu dalam pelukku.
"Laras ... Larasss ..."
Kau terdiam hanya hembusan nafasmu terdengar menderu.
"Maaf, mas ayo segera dibawa ke rumah sakit ..."
"Masukk mobil, Mas... "
"Ma-afkan saya Mas ..."
Serbuan kata masuk dalam gendang telingaku. Aku hanya tertujuu memandangmu, kuangkat tubuhmu memasuki mobil yang pintunya telah dibukakan.
"Maaf ... "
"Jaga motornya, segera lapor polisi!"
"Yah! Ayo ikuti ke rumah sakit!"
Masih kudengar suara -suara itu, tapi kau hanya diam.
"Laras ... Larasss ...!"
Kupeluk tubuhmu erat, kurasakan bagian bawah tubuhmu basah. Kuraba dan tanganku berbalut warna merah. Darah.
"Laras ... Larasss,"
"Tenang, Mas, kita segera sampai... "
"Coba sambil beri minyak gosok ini, Mas!"
Kuraih botol kecil terapi, kugoyangkan kearah bawah hidungmu. Kau tetap terdiam.
"Larass ... Larasss... "
Aku rasa suaraku menjadi serak, mengapa kau diam saja?
"Laras ... Larasss."
Terus kupanggil namamu, kau tak menjawab.
"Mas, kita sudah sampai ..."
Pintu mobil dibuka, Kubawa kau keluar tetap erat dalam dekapku.
Pintu UGD terbuka, beberapa perawat sigap membawa bed emergency, mendorongnya mendekat. Lelaki yang tadi membawa minyak terapi berada di sampingnya.
"Baringkan disini, Mas!"
"Larass ... "
"Iya, Mas. Baringkan dulu, segera kita lakukan observasi!"
Mereka memaksaku melepaskanmu dari pelukanku. Kutahan tubuhmu merapat di dadaku. Dua perawat merengangkan kedua lenganku, kedua telapak tanganku yang berwarna merah. Mereka membaringkanmu perlahan, kemudian mendorongmu dengan cepat ke sebuah ruangan.
"Larass ... Larasss!"
Kukejar tubuhmu, kurasakan lenganku dipegang oleh lelaki yang tadi berada di mobil.
"Sabar Mas, sabar ... "
Aku meronta, kau disana sendirian, dengan orang-orang yang takkukenal hanya dengan anak kita yang masih ada dalam perutmu.
"Larasss ..."
"Tenang, Mas. Kita tunggu dokter memberikan pertolongan yang terbaik."
"Sabar ... Mas, sabar ..."
Berulang-ulang kalimat itu kudengar. Tapi aku tetap mencoba mendekat tempat dimana kau berada. Beberapa perawat hilir mudik dua orang berjas putih kulihat masuk ke ruangan. Apa yang mereka lakukan padamu?
"Tolong, tahan dulu Masnya, pak,"
Seorang perawat menahanku, aku memaksa. Perawat lain ikut menahan, kemudian kedua orang yang tadi mengantar kita dengan mobilnya kembali memegang lenganku.
Aku mematung.
Seseorang menepuk nepuk punggungku. Kudengar banyak percakapan, tapi aku tak dapat memahaminya. Kau disana, tanpaku.
Seorang perawat laki-laki kembali datang, membawa peralatan.
"Tolong lepaskan jaketnya, Pak."
Dua orang lelaki mencoba melepaskan jaketku yang penuh darah.
"Apakah Masnya juga terluka?"
"Tidak, Mas. Darah yang melekat ini adalah darah istrinya, karena dia yang membopong,"
Aku dipaksa duduk, aku meronta kembali dua orang memegangku cepat. Tanganku diraih, dibersihkan semua darah yang ada. Seorang lelaki berjas putih datang dan mulai memeriksaku, meneliti kedua mataku. Memegang kedua lenganku.
"Tidak ada luka ..."
"Iya, dok. Masnya tidak sedang di lokasi ketika kejadian, kelihatannya sedang membeli sesuatu di seberang jalan,"
Suara perempuan dengan mata sembab yang menjawab.
"Ohh ... Ya. Dia nampaknya sangat shock. Tolong jangan ditinggal sendirian,"
"Baik dok!"
"Mas ..., mas, "
Aku beranjak, mencoba melangkah menuju ke ruang tempat kau berada. Lagi-lagi semua menahanku.
"Laras ... Larasss,"
Hanya itu yang dapat keluar dari mulutku.
"Iya Mas, mbak Laras sedang ditangani dokter, tenang ..."
"Sabar, Mas"
Suara-suara itu lagi, berbisik riuh menerpa daun telingaku. Kau disana tanpaku.Langkah-langkah cepat, seruan istruksi, suara-suara, yang tak dapat kufahami. Karena yang kutahu, kau disana tanpaku.
Sampai sebuah rengkuhan lengan melingkar pada tubuhku.
"Gie ...! Gie! Sadar ini aku Ardi! Sadar sobat!"
Kurasakan wajahku ditekan menghadap wajahnya. Ditepuknya pipiku berulang kali.
"Gie ingat! Kau kuat, harus kuat, demi Laras dan anakmu! Sadarlah sobat ... sadar!"
"Larasss ..."
"Ya! Dokter masih berusaha, kau harus kuat!"
Kutatap wajah di depanku, menatapku dengan pandangan tajam.
"Ardi...?"
"Alhamdulillah ... Kau mulai sadar,"
Kembali direngkuhnya aku dalam pelukannya, kudengar bisikannya tepat di telinga kiriku.
"Kau harus kuat, Gie. Doakan yang terbaik untuk Laras,"
Deg
Kurasakan pipiku membasah. Seorang perempuan paruh baya meraihku dalam pelukannya. Menenangkan dengan suara lembutnya.
"Istigfar anakku, ibu disini, Nak!"
"Astagfirullahaladzim ..., astaghfirulahaladzim..."
Aku menangis terguguk, menata puzlle peristiwa yang baru saja terjadi. Ardi menuntunku duduk, di bangku terdekat. Ibu mengusap-usap punggungku. Kutangkupkan wajahku di pangkuannya, kubasahi gamis warna abunya dengan air mataku.
Orang-orang yang sedari tadi berada di sekitarku, mendekat ke arah kami.
"Maafkan Buk, kenalkan saya Tikno, ini istri saya,"
Seorang perempuan bermata sembab tadi mengacungkan tangannya ke arah Ibu.
"Mbak ..., emm ..."
"Laras ..."
"Beliau menyelamatkan anak saya, buk. Ghilman tengah berlarian di trotoar, tiba-tiba ia turun di jalan. Mbak Laras berlari mengejar ..."
Semua terdiam, kudengarkan dengan masih menelungkupkan wajah. Kemudian kutarik badanku dari pangkuan ibu. Ardi mengacungkan tisue dan kugunakan untuk mengusap wajahku.
"Maafkan saya, Mas. Saya sudah mencoba menginjak rem secepat saya bisa... "
Lelaki yang sedari tadi mendampingiku angkat bicara. Kupandang mereka satu satu dengan duduk tegap. Kau tahu, wajah mereka tidak ada yang tersenyum. Mata mereka menyimpan sendu. Apa yang harus kulakukan? Aku ingin segera berada disampingmu. Di samping anak kita yang sedari tadi aktif bergerak di perutmu.
Aku beranjak, Ibu dan Ardipun ikut berdiri. Ardi memegang pundakku, Ibu menahan lenganku. Orang-orang memperhatikanku dengan wajah sendu mereka.
"Gie?"
"Anakkku... "
"Aku ingin bersama Laras, Buk."
Kulangkahkan kakiku.
"Tunggu Gie, ... Tunggu disini!"
Ardi mendahului langkahku menuju ke arah ruangan, dimana terakhir kulihat tubuhmu dibawa masuk. Kakiku menuju kesana, Ibu mengiring, dengan tetap mengandeng tanganku. Kurasakan sendiri tanganku sedingin es.
Kau kehausan tadi, ketika aku meninggalkanmu sendiri di bangku taman. Belum ada hitungan lima menit ketika aku menyeberang jalan dan sampai di depan kedai. Bahkan aku belum sempat memesan capucino untukmu, ketika kulihat bayanganmu beranjak lewat pantulan kaca coffe shop. Dan sekarang kau disana tanpaku, aku belum membawa capucino untukmu. Kau pasti masih merasa kehausan.
"Larass tadi minta capucino buk, dia pasti kehausan sekarang,"
"Nak, ada dokter dan perawat yang sedang membantu, Laras, kau harus kuat!"
Ardi keluar dari ruangan menghadang langkahku.
"Aku boleh masuk kan?"
"Tidak!"
"Mengapa?"
.........
Si Cantik Berambut Ikal
Setiap dari kita akan tiba saatnya, mengalami penantian yang tak berujung waktu. Hanya Rahmat dan kasih sayang serta doa dari keridhoan yang akan selalu menemani.
****
Ardi menatapku lekat di kedua mataku. Kau tahu, rambutnya masih juga bergelombang panjang. Menjadi pekerja seni tak harus membuatnya memangkas rambut dan memotongnya dengan rapi. Kuingat waktu itu, kau sempat mengagumi rambut ikalnya, dan berharap anak kita punya rambut yang sama. Aku cemberut dan kau selalu punya cara untuk membuatku kembali tersenyum. Kau bercerita tentang eyang putrimu yang berambut bergelombang.
"Aku suka memainkan rambut eyang sebelum disanggul," katamu waktu itu.
"Siapa tahu, anak kita menuruni rambut eyang," lanjutmu dan aku tertawa mengiyakan.
Kuhela nafasku, Ardi meminta kesanggupanku, saat ini. Aku merasa tak dapat menguasai hatiku.
"Tidak bisa, jika kaupun butuh bantuan!"
"A aa ku..."
"Kau harus bisa menguasai dirimu sendiri, agar kau bisa mendampingi Laras, sobat!"
Aku tertunduk, badanku bergetar.
"Gie?!"
"Aku baik baik saja, Ar. Aku akan baik baik saja!"
"Gielang Syailendra?"
"Ya, Ardi Prasetyo!"
"Baiklah, ayo masuk."
Perawat menghadang sebelum langkahku menuju ruangan.
"Apakah anda suami Ibu Laras?"
"Ya, saya suaminya. Suster, tolong lakukan yang terbaik untuk istri dan anak kami,"
"Silakan masuk dulu, Mas!"
Aku melangkah mengikuti, ibu berada di sampingku. Ardi berbisik akan menyelesaikan persoalan di luar. Kedua orang lelaki yang mengantar kita masih menunggu, orang tua si anak kecil yang kau selamatkan masih juga menanti. Senja hampir habis berganti gelap.
Langkahku diarahkan menuju bed 07 di ruang HCU. Wajahmu terlihat pucat dan sayu, matamu masih terpejam. CPR tak lagi terpasang, hanya selang udara melekat menuju hidung, tabung oksigen tersanding, aliran inpus melewati pergelangan tangan kananmu. Terkadang alismu tertaut, menahan nyeri. Tak terlihat lagi darah yang tadi membasahi jaket dan tanganku.
"Laras, sayang... "
Ibu mengusap kepalamu, mengecup dahimu sepenuh hati. Kugenggam tangan kananmu, dan kuusap punggung tanganmu dengan tangan kiriku menandakan hadirku.
"Sayang, Cupikkk ini,"
Nafasmu berhembus pelan, mengerjap lemah, kelopak matamu membuka, mencari-cari.
"Nduk, ini Ibu ..."
"Ibu... "
Kulihat senyummu, matamu mulai berbinar. Ketika kau menoleh kearahku, kulempar senyum ceriaku. Kau meringis.
"Cupikkk ..."
"Aku disini, maafin Cupikkk ya, sayang ..."
Kau menggeleng tetap dengan tersenyum. Tapi kemudian mengeryit menahan sakit.
"Ada apa sayang ..."
"Pe -rut- La-ras, buk..."
"Kenapa perutnya, sayang ... "
"Nyeri ..., cengkring-cengkring, buk, apa adek mau keluar?"
Suaramu lemah, tak merintih, hanya meringis sambil menarik nafas dari mulutmu. Tanganmu mencengkeram tanganku. Ibu sigap melihat kondisi perutmu. Dan aku tak tahan melihat ekspresi wajahmu yang kesakitan.
"Suster ...!"
Sontak aku berteriak ke arah ruangan suster yang tak jauh dari situ, hanya berjarak satu bed. Bed 06 yang kosong. Ruangan perawat di Ruang HCU adalah sebuah tempat terbuka, hanya dibatasi meja kerja yang tertutup. Berada persis di tengah ruangan. Dari arah ruangan tersebut perawat bisa melihat seluruh ruangan HCU dari ujung kiri hingga ujung kanan.
2 perawat langsung mendekat, memeriksa mu dengan cermat. Wajahmu meringis kesakitan.
Benturan yang membuatmu pingsan sesaat, beberapa saat yang lalu tak menimbulkan luka. Hanya saja kehamilan tuamu membuatmu beresiko.
"Aku segera hubungi dokter Lany,"
Salah seorang perawat segera kembali dan mengangkat telepon, percakapan terdengar samar. Perawat dengan papan nama tertulis Husnul, meraba perutmu.
"Tadi sudah sempat bukaan 2, Buk, Mas ... mungkin babynya ingin segera keluar,"
"Semoga diberi kelancaran, sayang ..."
Ibu kembali mengusap kepalamu. Bibirmu tetap mengembang meski terlihat meringis menahan nyeri. Pendarahan yang terjadi akibat trauma, mengakibatkan kontraksi lebih cepat.
Seorang perawat pria bergegas masuk, di belakangnya seorang perempuan berjas putih dengan kerudung nude Berjalan cepat. Mendekatimu.
"Cuupikkk ...."
"Iya tenang, sayang, kuat, kuat nduk ..."
Ibu menguatkan sambil tetap mengelus panggungnya. Dokter Lany memeriksamu, 3 perawat siaga.
"Kita pindah ke ruang bersalin ya ... "
"Ya, dokter ..., tolong istri saya ..."
"Semoga persalinan lancar, bayinya bergerak aktif,"
"Maju dua minggu dari perkiraan dok,"
Dokter dari raut wajahnya terlihat seusia adik Ibu itu mengangguk.
"Ya, kondisi bayi sehat. Ini sudah bukaan 4. Istri anda sangat kuat, Mas, tak merintih sama sekali ...."
Senyum dokter membuatku tersadar. Kau sedang menahan sakit yang amat sangat. Aku harus kuat agar dapat menguatkanmu, itu kata Ardi.
Salah seorang perawat memutar Inpus dan mengambilnya dari tiang, kemudian meletakkannya di sisi lenganmu. Menaikkan penyangga bed, melepas saluran oksigen kemudian mulai mendorong bed keluar ruangan.
Sebuah mobil pengangkut bed pasien sudah menunggu.
*
Ruang bersalin sepi, hanya ada satu pasien di dekat pintu masuk, yang tengah merintih-rintih. Sesekali dia berteriak teriak. Perawat terlihat menuju ruangannya dan sebentar kemudian kembali ke ruang perawat. Sempat kudengar obrolan dari perawat itu.
"Belum ada bukaan, sudah panik ibu itu,"
"Anak ke berapa?"
Srtt
Terdengar suara kertas dibuka, mungkin melihat data.
"Anak ketiga,"
"Padahal anak ketiga, ya ..."
"Aduhh ... aduhh ..., suster tolong,"
Pasien itu kembali merintih, suara-suara menghibur terdengar menetramkan. Tapi rintihannya tak juga berkurang. Kulihat dirimu, mengapa kau hanya meringis? Mengapa kau tahan nyerimu hanya untukmu?
Suster Husnul mengantar kami sampai di bed paling ujung.
"Ibu, Cupikkk... "
Kugenggam tanganmu.
"Ya Nduk?"
"Rasanya mau mengejan ..."
"Ya, sayang tunggu perawat dulu ya ... "
Suster Husnul menghampiri, di sampingnya seorang perawat dengan papan nama tertulis Raisa. Perawat itu segera melakukan pengecekan standar. Mengaitkan kembali inpus di tiang penyangganya memutarnya dan mengatur waktu tetesannya. Menyiapkan tabung oksigen kemudian mengatur selangnya.
"Maaf Mbak Laras, nanti bersama suster Rasia ya, saya kembali ke ruang HCU,"
"Terima kasih, suster,"
Suster Husnul mengangguk kemudian berlalu. Ibu duduk sembari melatunkan dzikir, mengelus-elus kepalamu. Kau iringkan tubuhmu, sambil menutup mata, kurasa wajahmu kembali memucat dan aku merasa gundah. Hampir 20 menit berlalu, aku hanya dapat memandang wajahmu tanpa bisa berbuat apapun, kecuali melantunkan doa.
"Ehhhkkk..."
"Sayang... "
"Cupikkk... "
"Bagaimana nduk?"
"Rasanya, pingin ngejan, bu ..."
Aku melangkah, menyibak korden penutup, kemudian memanggil perawat disana.
"Suster, tolong istri saya pingin ngejan ..."
Bergegas dua perawat yang terlihat senior merasuk ke ruangan.
"Ambil posisi yang paling nyaman, ya Mbak."
Kau meringis mencoba setengah duduk, kuminta satu bantal lagi untuk menopang punggungmu. Kakimu menekuk dan terbuka, suster menutup bagian bawah tubuhmu. Perawat yang lain menyiapkan peralatan untuk membersihkan bayi. Tepat saat itu dokter Lany datang, dengan memakai baju pelindung dan berkaos tangan.
"Ehkkkk ..."
Kuusap peluhmu, Ibu tak henti mengucap dzikir dan takbir di dekat telingamu.
"Bagus mbak Laras, pinter ... Ayokk ..."
Kau berhenti mengejan, hidungnya mengembang menghirup oksigen dari saluran selang yang dimasukkan kedalam lubang hidungmu. Kau geleng gelengkan kepalamu dengan mengatupkan kedua kelopak matamu.
"Atur nafas, Mbak Laras. Miring dulu ke kiri,"
Dokter Lany memberi instruksi, kau kembali memiringkan tubuhmu menghadap ke kiri. Tangan kananku tetap menggenggam tangan kananmu, tak melepaskannya.
Tikkkk!!!
Terdengar suara seperti balon yang terlubang, bukan meletus tapi mendesis mengeluarkan gas.
"Ehkkkk ..."
"Nah itu yang ditunggu tunggu, terus, bagus Mbak Laras, rambut dedek sudah mulai terlihat.
"Subhanalah ... Subhanalah ..."
"Allah Akbar ... Allah Akbar,"
Kau kembali mengejan kuat, sekali, dua kali. Dan untuk ketiga kalinya, dokter Lany berseru.
"Allhamdulillah ..."
"Ooeeekkk ... Ooeekk ...!!!
Aku tergugu, sesaat setelah tali pusar diputus, dibalut, seorang bayi mungil dibaringkan di dadamu yang telah dilapisi handuk.
"Allhamdulillah ..."
Kau raih jemari mungilnya, sambil tak berhenti mengucap syukur. Aku tersenyum menatapmu haru, menatap bayi mungil kita.
Seorang gadis kecil cantik yang berambut ikal.
........
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!