Bunga Mawar Kesukaanmu

Bunga Mawar Kesukaanmu

Waktu tak akan mau menunggu keraguan. Ia akan tetap berjalan meski kita belum siap mengambil sikap.

****

"Yakin kau akan mulai masuk besok pagi?"

Ardi menyandarkan punggungnya di pohon mangga. Di bawah pohon itu terdapat kursi dari beton cetakan berbentuk bulat. Disanalah Ardi duduk menungguku.

Saat itu aku sedang memangkas setangkai mawar merah dan setangkai mawar putih yang tengah mekar. Kuletakkan hati-hati di sebuah keranjang bunga yang biasa kau gunakan. Setelah, sebelumnya kubersihkan daun daun kering yang ada di sekitarnya. Meski tak sesehat ketika kau ada, setidaknya, kuingin bunga bunga ini tetap mekar sampai nanti.

"Menurutmu aku masih sakit?"

Ardi menatap ragu, kemudian dengan mencondongkan sedikit badannya, ia kembali berkata.

"Bagaimana kalau kita konsultasi dulu dengan dokter Ferdhi?"

Aku terdiam, kubawa keranjang bunga itu, dan kuletakkan di atas meja dihadapan Ardi. Kemudian aku duduk di kursi satunya.

Kebun mawar ini terletak di samping rumah, ada semacam penutup atap dari jenis kanopi. Sebagian bunga mawar jenis mawar rambat, merambat di tembok pagar samping yang setinggi satu setengah meter, berhadapan dengan teras samping. Sementara yang lain ditanam dalam pot pot. Kemudian diatur berjajar pada tempat pot bertingkat yang terbuat dari besi. Berada dalam ruangan semacam greenhouse kecil sebagai taman bunga di samping rumah.

"Aku sudah sehat, Ar ..., aku sudah bisa menerima semua yang terjadi. Aku punya Ghifa yang harus kujaga dan kurawat,"

Ardi menatapku dengan tajam.

"Gie, aku tahu apa yang kau lakukan setiap sore di Taman ..."

Aku tersentak. Tapi kemudian datar menanggapi sorot kekhawatirannya.

"Semua orang yang melihatmu, juga akan berpikiran yang sama, Gie."

"Apa maksudmu?"

Ardi menghela nafas kemudian menepuk pundakku.

"Kau sering bicara sendiri di bangku taman itu, Gie. Bahkan kadang kau tertawa-tawa sendiri, hingga orang yang melihatmu menjauh,"

Kutangkup kedua tangan pada wajahku, kemudian kutoleh Ardi sambil tersenyum.

"Jadi, kau pikir aku gila, Ar?"

"Gie ...,"

"Ada Laras disana! Apakah aku tidak boleh berbicara dan bercanda dengan istriku!"

Suaraku sedikit keras, lalu kuhembuskan nafas membuang amarah yang ingin merasuki.

"Gie ... Kau sadar dan tahu kan, itu bisa saja bentuk halusinasimu. Banyak faktor yang berhubungan dengan itu. Makanya kita perlu berkonsultasi dengan dokter Ferdhi, jangan sampai syarafmu juga kena,"

"Hahaha ...!"

Tawaku keras, Ardi tak bereaksi hingga ketika gelakku melemah dan akhirnya meninggalkan sesak di dada.

"Laras sudah tiada, Gie. Kau tak boleh menutupi kenyataan dengan keinginanmu, sendiri,"

Kutoleh kembali Ardi, kali ini aku menghadapkan tubuhku lurus dengannya. Dengan serius aku berkata.

"Dia masih disana, Ar, dia ingin melihat dan mendampingi Ghifa tumbuh besar, tak bolehkah dia?"

"Tapi... "

"Dia Laras, Ar ..."

"Laras sudah ti .. aa ..."

"Cukup, Kau tak perlu lagi mengingatkan itu,"

Kami terdiam sesaat. Ardi berdehem dua kali.

Hemm! Hemm!

"Gie, kenapa tak kau ajak saja dia pulang, jadi dia akan lebih leluasa kan jika berada di rumah ini.

Ardi nyengir kuda, kujitak keningnya. Lalu kuhapus air yang mengambang di mataku.

"Maksudmu, jikapun aku tertawa dan bicara sendiri, tak ada yang lihat gitu, Hah?"

"Peace, Gie!"

Ardi mengacungkan dua jarinya. Aku mendengkus.

"Tidak bisa, Ar. Aku sudah pernah tanyakan padanya,"

"Apa katanya ..."

Aku melotot. Wajah Ardi menunggu cerita seperti anak kecil yang memohon dibelikan mainan.

"Kepo!!!"

"Hahaha ..."

Aku beranjak, dari dudukku. Kemudian melangkah menuju rumah. Kulihat Ibu tengah memandikan Ghifa yang bertambah endut.

"Buk, pamit ke makam ya,"

Ibu menoleh dan mengangguk.

"Salam buat Ayah dan Laras, ya ...."

"Hihihi, Ibu. Dadah Ghifa ..."

Kukecup dahi Ghifa yang masih basah, mencium punggung tangan Ibu dan berlalu. Sempat kulihat Bik Nah tengah membawa jemuran dari pintu belakang.

"Bik Nah, titip salam juga?"

"Ya den, Assalamualaikum ..."

Jawab Bik Nah di sela baju. Aku tergelak.

"Assalamualaikum... " seruku, kemudian melangkah keluar rumah. Menuruni tangga teras dan menuju mobil merah maron, dimana Ardi sudah berada di belakang kemudi. Pintu depan terbuka, kulihat keranjang bunga telah ada di kursi depan.

"Trims, sobat. Berbahagialah Lidya besok, jika kau berani melamarnya segera!"

"Ngaco!" jotosnya pada pundakku dengan wajah memerah.

Kau pasti akan tertawa melihatnya kemudian terdiam selama perjalanan.

Hanya 10 menit, dengan jalan lambat, menyusuri jalan beraspal di antara rumah penduduk yang rapat. Menuju pemakaman umum yang berada di pinggiran pemukiman.

Tanah pemakaman yang masih luas, dengan sawah membentang di satu sisinya. Sementara sisi yang lain berdempet pagar dengan gedung sekolah. Ardi menghentikan mobilnya parkir di pelataran di depan pagar makam.

"Kapan kau antar Eyang Sukma untuk melamar Lidya? Aku, Ibu dan Ghifa siap mengantar!"

Godaku, dan Ardi kembali meninjuku.

"Jangan meledekku kau!"

"Hahaha ..."

Kumasuki area makam, sembari membawa keranjang bunga. Ardi menguntit di belakangku.

Dari pintu gerbang belok ke kanan. Disana beberapa pengunjung terlihat. Tampak Mang Kasno membersihkan sebuah makam, yang kelihatannya jarang dikunjungi. Menyudut di bawah pohon kamboja yang lebat bunganya.

"Selamat sore, Mang,"

"Eh, Mas Gie ..."

Tengoknya sambil melemparkan senyum. Kumasukkan lipatan uang kertas ke dalam saku kaos yang dipakainya.

"Mas, Gie ... Yang kemarin saja masih lho ..." elaknya tak enak.

"Udah Mang, terima kasih sudah selalu membersihkan makam Ayah dan Laras," ujarku pelan.

"Itu sudah menjadi tugasku, mas Gie. Terima kasih ini lho, Mas... "

"Sama-sama ..."

Melewati tiga nisan dari tempat Mang Kasno, kuletakkan keranjangku di samping pusara yang masih penuh dengan bunga mawar. Kemudian ku melangkah sedikit ke sebelah kanannya, dimana Ayah disemayamkan. Doa untuk ahli kubur kami panjatkan, berserah pada Allah untuk mengampuni segala dosa. Diiring semilir angin yang membawa semerbak wangi kamboja. Mengapa di makam ini, selalu terasa tenang? Apakah karena aku merasa kau di hadapanku. Kutaruh dua tangkai mawar di dekat papan nisan bertulis namamu.

Ardi tercenung menatapku dengan sendu. Ketika sudut mataku meliriknya, dia tertunduk.

"Laras, kau ingat Lidya, kan? Penulis yang pendiam itu, yang hanya suka tersenyum di keramaian. Yang tidak banyak cakap tapi cekatan, katamu waktu itu?"

Ardi mendelik ke arahku, tanganya pasti gatal untuk meninjuku, tapi tentu saja tak akan nyampai. Kami duduk berseberangan dengan pusaramu berada di tengah.

"Aku akan antar Ardi untuk melamar Lidya, kau pasti setuju kan, Laras,"

Ucapku lagi, wajah Ardi kembali memerah. Tapi tiba-tiba Ardi bertanya tentangmu.

"Apakah Laras ada disini?" bisik Ardi pelan sambil melihat sekeliling.

Aku beranjak dan menjitaknya. Tapi kepalaku menggeleng.

Sesaat Kuelus pusaramu, dengan memanjatkan doa dalam hatiku. Bunga mawar terlihat ceria berada di dekat goresan namamu.

"Laras ..., bukankah kau suka mawar? Aku tak akan pernah bosan membawakanya, untukmu."

...........

Terpopuler

Comments

KIA Qirana

KIA Qirana

⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐

2021-09-04

1

Caramelatte

Caramelatte

mantap jiwaaa

2020-12-07

1

👑

👑

Ardi sangat mencintai Laras...🥺🥺
aku terharu

2020-12-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!