Gerimis Beku
Apakah, hanya ketika gerimis atau hujan turun, kita akan rindukan pelangi? Atau justru kita berharap keduanya datang bersamaan.
***
Keluar dari pintu aku berpapasan dengan beberapa ibu yang sudah kembali dari ruang . Bayi-bayi mereka dekap dengan selimut. Udara berhembus dari arah pintu Bangsal yang terbuka lebar searah dari tempatku melangkah. Sejuk, udara subuh merasuk. Ruang tempat memandikan bayi berada di sebelah kiri pintu, sedangkan ruang perawat ada di sebelah kanan pintu. Dan itu hanya berjarak dua kamar dari tempat kita.
Kulangkahkan kaki tanpa ragu. Beberapa ibu terlihat masih di luar ruangan dan aku mengambil posisi menurut jalur antrian.
"Eh, si Emas? Lha ibu bayinya mana?"
Mereka bersahutan menyapa dengan Nada keheranan. Kau pasti akan tertawa melihat wajahku yang pucat masam.
"Masih lemas, Jadi masih harus full istirahat mbak,"
"Ohhh ... anak pertama ya?"
"Iya Bu."
"Kalau ini cucu pertama saya mas,"
Seorang ibu bergamis motif bunga kecil, seusia Ibu mendekatkan cucunya ke arah Ghifa dengan ceria.
"Selamat ya buk, sudah dikaruniai cucu yang gagah," ucapku tulus.
"Aamiin ... , sudah hampir 10 tahun penantian lho, Mas. Alhamdulillah, dikabulkan doa-doa kami."
"Alhamdulillah ...,"
"Inilah bukti kekuasaan Allah, Mas. Padahal kedua anak dan mantuku itu sehat secara medis. Tapi yang namanya rejeki, Hanya Allah yang Maha Tahu,"
Aku mengangguk, kau juga pasti akan mengatakan hal yang sama. Bukankah semua tinggal mengikuti alur yang telah dibuat.
Antrian maju satu-satu. Aku beringsut ke dalam. Kulihat dua orang perawat , dengan trampil membasuh bayi dengan air, mengusap seluruh tubuh tanpa ragu. Sementara Ibu sang bayi asyik memperhatikan.
Ternyata dengan begini secara tidak Langsung kami ikut belajar. Bagaimana seharusnya nanti kami merawat anak kami di rumah.
"Wow, rambutnya ikal tebal lagi, Mas. Cantiknya ..."
Seseembak menyapa Ghifa, melihat rambutnya dengan pandangan takjub.
"Iya ini, mbak. Alhamdulillah ... Doa istri saya terkabul, punya anak berambut ikal seperti eyangnya,"
"Alhamdulillah ..."
Di ruang perinatologi, kini tinggal ada 4 orang yang menunggu giliran. Satu di depannku, eyang dan cucu pertamanya, dua lagi di belakangku. Untung setiap lengan bayi tersemat gelang bertuliskan nama Ibunya, hal yang sempat membuatku was-was. Aku tak bisa bayangkan jika sampai tertukar.
"Ayo, Mas ... duluan ya,"
"Monggo bu,"
Ibu dan cucunya berlalu. Aku memberikan Ghifa ke tangan perawat bertahi lalat di ujung hidungnya. Satu perawat lagi mengganti tempat air. Kemudian mereka membuka baju Ghifa dan memandikannya dengan cekatan. Membalikkan punggungnya mengusapnya dengan cairan sabun yang tak berbusa. Membersihkan sela-sela jemari kaki dan tangannya. Mengusap rambut ikalnya ke belakang.
"Rambutnya bagus sekali, Mas," puji perawat itu. Kembali kusampaikan, tentang doamu yang terkabul.
Mereka tersenyum.
"Alhamdulillah, bahagianya, selamat ya, Mas."
Ghifa kembali diberikan untuk ku gendong.
"Jarang lho, bapaknya mau repot merawat anaknya, Bagus Mas," kudengar suara itu dari perawat. Kuanggukan kepalaku untuk kembali ke kamar.
"Terima kasih, suster,"
Tak lupa kupamit juga pada Seseembak yang masih menunggu giliran. Kudekap Ghifa dengan erat, detak jangtungku terasa berdenyut seirama dengan detak Jantungnya.
"Kamar 03, emergency," seru seorang perawat sambil meletakkan gangang telponnya. Saat itu aku tengah melangkahkan kakiku kembali ke kamar.
"Aku segera kesana, tolong hubungi dokter jaga!"
Dua orang perawat setengah berlari menuju kamar 03. Bukankah itu kamar kita, kau disana bersama ibu. Apa yang terjadi? Aku ikut bergegas, namun seseorang memanggil namaku.
"Gie!"
Aku menoleh ke belakang, Ardi datang bersama Bik Nah, mereka sudah melewati pintu masuk.
"Ar ..., Bik Nah!"
"Ada apa? Kok kamu kelihatan bingung?"
"Ada panggilan emergency dari kamar Laras, aku tidak tahu apa yang terjadi," jawabku serak.
"Sini, den Bik Nah yang gendong,"
Sigap Bik Nah meraih Ghifa dari tanganku, kemudian aku berlari menuju kamar. Ardi mengekor dari belakang.
Di kamar kudapati Ibu kebingungan, matanya berkaca-kaca, tak pernah kutemui Ibu sepanik ini. Sementara di Bed, kulihat kau terkulai lemah, dua perawat tengah menanganimu.
Terlihat darah merembes membasahi sprei dan selimutmu. Aku terpaku.
"Tensinya sangat rendah!"
Salah seorang perawat memencet bel kembali.
"Suster, apa yang terjadi dengan istri saya?"
Tanyaku panik.
"Perdarahan postpartum, Mas. Kita harus segera membawanya ke ruang operasi!"
Perawat sigap mengatur bed, Infus tetap dibiarkan menetes, kemudian mendorong bed keluar kamar.
Aku tergugu berada di samping bed yang didorong cepat.
"Gie?!"
Suara Ibu tersengal. Bik Nah memeluk Ghifa dengan wajah tegang, menatapmu dengan tatapan haru.
"Ibu disini saja, jaga Ghifa, Bik Nah tolong temani Ibu!"
"Iya Bu, nanti kalau ada apa-apa, saya hubungi." sahut Ardi.
Pukul 6 tepat, jarum yang ditunjukkan jam dinding yang tertempel pada dinding di atas pintu bangsal Ibu dan anak, ketika kami melewatinya. Mobil yang digunakan untuk transfer pasien sudah ada di depan.
"Laras ... Larass,"
Kupegang tanganmu erat, wajahmu nampak sangat pucat. Darah terlihat kembali merembes membasahi alas tempatmu berbaring. Sementara alas itu baru saja diganti, sesaat sebelum memindahkanmu.
"Suster, ... Tolong!"
"Ya, Mas. Sabar, kita segera ke ruang operasi untuk segera ditangani."
Pagi ini gerimis turun. Suasana menjadi bertambah dingin. Mendung menutup langit pekat, hingga mentari tak terlihat menyapa bumi. Bunga-bunga di taman sepanjang koridor lenggang, nampak beku.
Ardi berlari kecil, mengikuti laju mobil. Satu bangunan terlewati sebelum mobil itu berhenti, perawat sudah menungu dengan bed emergency.
"Tunggu disini, Mas!"
"Tapi ...,"
"Nanti kami segera kami hubungi,"
"Tapi ...,"
Ardi menahan langkahku, menghalangiku untuk mengejarmu. Ditahannya tubuhku dengan tubuhnya yang kekar.
"Laras butuh aku, Ar!"
Seruku mengamuk, mencoba mendorongnya dengan luapan lara yang membuncah.
"Tenang, Gie! Tahan dirimu!"
"Bagaimana bisa? Laras, dia ..."
"Beri waktu, untuk dokter memberikan penanganan terbaik, kita akan segera diberitahu, jika ada yang diperlukan."
Pintu tertutup rapat, Aku mendengkus keras. Kutangkupkan kedua telapak tanganku dan kujatuhkan tubuhku di kursi tunggu. Ardi menepuk pundakku pelan. Kemudian, sahabat yang juga tetangga dekat kita itu duduk di sampingku.
"Sabar, Gie!"
"Sejak semalam Laras sangat pucat dan lemas, Ar. Tapi dia bilang baik-baik saja."
Kulihat Ardi mengangguk, tak menyanggah.
"Jangan berhenti berharap Gie, tenanglah dia akan baik-baik saja,"
Kuhela nafasku kembali, teringat ketika kupegang dahimu semalam. Kau jelas demam, nafasmu memburu cepat. Keringat dingin keluar, terasa ketika kupegang tanganmu. Kau tampak sangat capek, tapi kau lawan kantukmu dengan mengobrol denganku, bicara tentang Ghifa. Apakah itu semua menjadi tanda bahaya dalam perdarahan yang kaualami saat ini?
Pintu terbuka, seorang perawat datang sambil membawa tabung berisi sample darah. Aku sontak menyosong dengan cemas.
"Mas, mbaknya butuh transfusi darah segera!"
........next episode
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
KIA Qirana
👍👍👍👍👍👍👍👍
2021-09-04
1
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
ya ampun, begini amat😭
yang sabar masnya.
🍀🍀🍀
cinta pak bos hadir menyapa lagi kak😉
mampir lagi yuk..
sehat dan semangat ya💪
2020-12-21
0
👑
nyesek Thor 😢
2020-11-30
1