Citra Di Mataku

Citra Di Mataku

Menjadi yang ditinggalkan bukanlah sebuah pilihan. Itu sebabnya aku tak mencoba membangun hubungan baru.

"Kau itu ganteng, Gie, atletis kalau kubilang,"

Kata Ardi, suatu siang di hari minggu, ketika aku bermain ke rumahnya. Lidya dan Eyang Sukma langsung menyandera Ghifa membawanya ke ruang tengah. Apalagi sekarang Lidya tengah hamil anak pertama setelah hampir dua tahun menunggu. Dan sekarang memasuki bulan ke tujuh. Bawaannya selalu pingin menjawil pipi Ghifa yang chubby.

Aku tergelak mendengar kata-kata Ardi. Menghempaskan tubuhku di kursi ruang tamu, dan memainkan bantalan kursi disana. Lidya datang membawa dua cangkir kopi dan mempersilahkan untuk menikmati.

"Orang aku ganteng dari sononya, Ar. lyalu apa hubungannya dengan masalah yang ingin kaubicarakan?" sahutku, menyelidik.

Rasanya ada sesuatu yang serius ingin ia sampaikan, Terlihat dari mukanya.

"Kita masih muda Gie, masih 26 tahun jalan ke 27, belum juga berkepala 3."

Aku kembali tergelak, tak tahu kemana arah pembicaraannya akan menuju.

"Terusss ....?!" sahutku santai sedikit meledek.

Aku masih tak mengerti apa yang ingin disampaikan Ardi. Kuseruput kopi hitam yang dihidangkan Lidya. Di ruang depan, banyak pot bunga tertata dengan rapi bersama hijaunya daun yang bersih.

Jarak rumah Ardi tak jauh dari rumah Ini. Hanya, terpisah dua rumah dan satu jalan masuk kampung. Jalan kakipun paling hanya lima menitan lebihpun sedikit. Tapi kali ini aku bawa maticku dengan tempat duduk dari rotan milik Ghifa kuletakkan di depan.

"Kita masih muda, Gie!" kembali Ardi berseru.

"Iya, tahu! Lalu?"

"Masih muda!"

"Iya, aku dengar, Lalu?"

Kerlingku tak mengerti, gelagat Ardi terlihat sedikit aneh. Pemuda gondrong itu merubah posisi duduknya. Sedikit mencondongkan wajahnya ke arahku, kemudian berbisik.

"Emang kamu ndak pingin nikah lagi?"

Jederrr

"Busyet! Kirain mau ngomong apa!"

"Hahaha ..."

"Serius, aku nunggunya, tahu!"

Kulempar bantalan kursi tepat mengenai punggungnya. Ardi tergelak, kemudian tiba tiba terdiam memasang muka tegang.

"Aku juga serius, Gie. Kau harus segera berpikir mama baru untuk Ghifa!"

"Apa? Enak aja kalau ngomong!" solotku.

"Lho ndak ada salahnya to? Banyak yang antri untuk mendapatkanmu, pemuda gagah dengan tinggi 175cm, eh berapa beratmu?"

Kugaruk rambutku, pemuda gondrong ini, sedang mencoba memancing di air jernih rupanya.

"Hahaha ... 68, kenapa emang? Mau bikin banner lelang duda beranak satu, gitu, He?" sentakku dengan mengeraskan rahangku.

Kembali kulemparkan bantal kursi yang masih ada di sebelah kiriku. Kali ini Ardi menangkapnya dengan tawa terpingkal-pingkal.

"Habis, susah amat sih ngrayu kamu untuk nikah lagi, Apa alasan kamu untuk menolak coba?"

Kejar Ardi ngotot, matanya melotot kocak.

"Ya banyaklah ..., emang harus kulist satu-satu!" tepisku jengkel.

"Boleh, Coba sebut satu saja," tantang pemuda gondrong di hadapanku dengan penuh kemenangan.

"Kamu tuh ya! Satu yang pasti Ar, Laras masih menemaniku ..." jawabku pasti.

Ardi mengusap rambut gondrongnya kebelakang, kemudian meraih cangkir kopi dan menyeruputnya nikmat.

"Aku tak bisa bicara lagi kalau mengenai itu, Gie. Tapi kau tahu Citra ..."

Ardi menghentikan ucapannya, kembali menerkamku dengan tatapan tajamnya. Kubalas dengan sedikit mendelik.

"Apa???"

"Emang kamu ndak punya rasa terhadap Citra?"

Deg

Apa yang harus kujawab? Pertanyaan yang sama, keluar dari mulut ibu hanya kujawab dengan senyum. Tapi kali ini Ardi tak mungkin hanya terima senyum sebagai jawaban.

"Sudah hampir tiga tahun, Gie, mosok kamu tak merasakan apapun?"

Aku masih terdiam. Jika kujawab, aku khawatir Ardi punya celah untuk memburuku dengan pertanyaan baru.

"Gie?"

Ardi menatapku tanpa berkedip.

"Jangan tatap aku seperti itu, Ar. Menakutkan tahu!"

Protesku merasa jengah. Tapi Ardi terlihat benar-benar serius.

"Jujurlah, Gie. Menurutmu bagaimana dengan Citra?"

"Bagaimana apanya?" aku masih mencoba menghindar.

Kualihkan pandangan lepas keluar halaman. Pohon jambu air merah dan kelenkeng berderet disana, rimbun, sejuk. Pelataran dengan tatanan batu kali, klasik.

"Gie. Kita pria dewasa, apakah kau tidak merasakan sesuatu sama sekali terhadap Citra? Ayolah Bro, kau pasti tahu kan jika Citra ada rasa denganmu?"

Aku menghela nafas, dadaku terasa nyeri. Entahlah, kau pasti akan rasakan kegalauan ini, Laras.

"Ar, aku merasa tak pantas untuk Citra. Dia pribadi yang baik menurutku, apa yang dilakukan juga tulus, tidak mengharap balasan apapun dariku, termasuk ..."

Ardi menunggu. Kembali Kuseruput kopiku yang mulai dingin.

"Termasuk apa, Gie?"

Kuletakkan cangkir kopiku yang telah tandas di atas napannya. Kurasakan mata Ardi masih menatap gerak gerikku.

"Termasuk rasa yang sama untuk Laras, aku tak bisa berikan untuk Citra, Ar."

Pelan suaraku, tapi kuyakin Ardi mendengarnya dengan jelas.

Hening.

Terdengar ocehan ceria Ghifa yang menginjak usia menuju 3 tahun. Gadis kecilku itu telah menjadi bagian dari keluarga ini.

"Gie, Citra sudah menungumu hampir 3 tahun. Aku ingat betul dia datang dan bertemu dengamu di hari pernikahanku,"

Aku menunduk, mempermainkan juntaian sulaman penutup meja tamu yang cerah.

"Dia mungkin masih mampu bertahan untuk menunggumu, tapi apa kau tak kasihan? Dia perempuan Gie, waktu tetap akan membuat kita menua."

Kuhela nafasku berat.

"Atau kau punya gebetan lain?" serang Ardi tiba-tiba.

"Ngaco! Kau faham sendiri lah, siapa aku. Enak aja gebetan!"

"Hahaha kata Sapto, ada juga teman kerjamu yang ada rasa, ah kau terlalu cuek, Gie!"

"Ah, Sapto saja yang suka jodoh-jodohin!"

"Gie, sikap dinginmu itu bakalan bikin banyak cewek patah hati, tau nggak kau?!!"

"Hahaha ... Ar, kau terlalu melebih-lebihkan!"

"Sudahlah apa sih kurangnya Citra?"

Aku mendongak menatap Ardi sekilas lalu kurebahkan punggungku ke sandaran kursi.

"Tidak ada yang kurang dari Citra, Ar. Dia baik, cantik, Ghifa pun telah memanggilnya mama...."

"Nah! Apa yang kautunggu? Dah resmiin saja, lanjutin hidupmu, Gie! Aku yakin, Laras juga menginginkan ini!"

"Ah kau! Aku tidak pantas untuk Citra, dia bisa dapat yang lebih baik dariku!"

"Citra maunya sama kamu, Gie!"

"Ardi, kau tahu aku tidak bisa memberikan rasaku penuh padanya! Itu sudah milik Laras, apa kamu ndak berpikir, itu akan membuatnya merana sepanjang hidupnya?"

"Apakah kau sudah sampaikan ini pada Citra?"

Ardi melemparkan bantal kursi yang beberapa saat lalu kulemparkan padanya. Kutangkap, Kemudian kupeluk bantal itu erat.

"Aku tidak ingin memberikan harapan untuknya, aku tahu rasanya kehilangan, Ar. Aku tak ingin Citra merasakan hal yang sama,"

Suaraku bergetar, kutekan semua kenangan pilu yang ingin melesat. Ardi beranjak, lalu duduk di sampingku. Mengusap pundakku dengan tenang.

"Sudahlah Gie,"

Tepat saat itu, sebuah mobil metalic memasuki halaman rumah Ardi. Citra keluar dari mobil, kerudung ungunya melambai tertiup angin yang tiba-tiba berhembus.

"Citra?"

.........

Terpopuler

Comments

👑

👑

belum bisa move on karna rasa cinta yang sangat mendalam

semangat terus thor 💪
udah q vote juga biar tambah semangat up ny

2020-12-08

1

👑

👑

like lagi

2020-11-27

1

👑卂尺丂ㄚ

👑卂尺丂ㄚ

lanjut..

2020-11-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!