Gertakan Anton

Gertakan Anton

Apakah hati bisa digertak? Jangankan digertak, didorong, dipaksa, ditekan dengan segala ancamanpun ia tetap bertahan pada akarnya.

Pukul 15.05, jam di tanganku menunjuk. Beberapa bagian sudah sepi, sementara aku sedikit larut dengan pekerjaan, hingga kuputuskan untuk sekalian sholat ashar di Mushola kantor.

Kuambil gawaiku, beberapa hari yang lalu pesan Citra menumpuk, belum juga Kubalas hingga sekarang. Apa yang harus kubalas, Laras? Orang tua Citra mengharap kedatanganku, meski tidak memaksa beliau berdua memintaku untuk meluangkan waktu.

Adakah persoalan serius? Aku merabanya begitu, Laras. Jika yang ditanyakan adalah masalah hubunganku dengan Citra, toh Citra bisa menjelaskannya sendiri. Aku tak pernah memberi harapan lebih untuk Citra, meski ia sering bertandan ke rumah untuk menemani Ghifa bermain.

Lalu?

Aku tak tahu. Tapi kemudian kutulis sebuah pesan balasan untuk Citra.

/InshaAllah kuusahakan dalam minggu ini/

Citra langsung membalas pesanku, kelihatannya ia sedang on line sehingga pesanku cepat terbaca.

/Terima kasih, Gie. Aku akan sampaikan pada Bapak Ibu, beliau berdua sudah menunggu nunggu kedatanganmu, Jangan lupa Ghifa diajak ya/

/InshaAllah/

/Alhamdulillah, kutunggu Gie/

Kuhela nafasku, apapun yang akan disampaikan oleh kedua orang tua Citra harus kuhadapi dengan jujur. Semoga nanti yang kulakukan tidak menyakiti hati Citra.

Bergegas kupakai kembali sepatuku kemudian menuju tempat parkir, dimana matic hitamku berada. Tinggal beberapa kendaraan yang berada disana. Dengan kecepatan sedang kulajukan maticku keluar dari halaman kantor. Berjalan lurus melewati perempatan yang berlampu hijau, sesaat dari tempat itu suara klakson berbunyi.

Teeettt

Aku tetap melaju lebih ketepi.

Teeettt Teettt

Mobil itu melewati ku dan sedikit menyerongkan arahnya, seperti memintaku untuk berhenti.

Mobil dengan warna merah, sepertinya aku pernah melihatnya. Kuhentikan laju maticku. Seseorang berkulit kuning langsat dengan mata sedikit sipit keluar dari mobil setelah berhenti menghalangi jalanku.

"Bisa kita bicara?"

Tusuk pemuda itu langsung tanpa basa basi.

"Anda?"

Tatatpku lurus mencoba mengingat.

"Anton, kita pernah bertemu di rumah Citra."

Dahiku mengeryit kemudian kuulurkan tanganku sambil tersenyum lebar.

"Oh ya, Anton aku ingat, waktu itu aku ke rumah Citra untuk menjemput Ghifa, oh ya kita cari tempat untuk bicara ya," tawarku.

Anton menyambut tanganku dan mengangguk kikuk.

"Di depan saja yok, ada kedai minuman, tempatnya lumayanlah sekedar untuk ngobrol,"

Anton menoleh ke tempat yang kutunjuk.

"Emmm Baiklah ...anda di depan."

"Oke."

Kumendahului melaju pelan, mobil Anton mengikuti. Tak jauh hanya sekitar 200 meter dari situ.

Sebuah kedai minuman yang menyediakan berbagai campuran untuk menu utamanya susu. Disana juga tersedia makanan kecil serba kue yang manis. Tempat yang kausuka Laras.

Aku menuju tempat duduk di sudut, dekat dengan air mancur yang ada disana, setelah memarkir maticku. Kedai itu cukup nyaman untuk bersantai ada beberapa bangku yang disediakan diantara pot-pot bunga yang ditata di tepian.

Anton mengikuti langkahku, dan duduk di hadapanku.

"Mau minum apa Ton?" tanyaku santai.

Anton masih menunjukkan muka tegangnya.

"Emm, terserah deh ..."

"Oke bagaimana kalau coklat hangat?"

"Boleh ..."

Aku kemudian beranjak memesan minuman dan segera kembali menemui Anton.

"OK, apa yang ingin kaubicarakan?"

Tanyaku begitu duduk di hadapan Anton.

"Ini tentang Citra."

Anton menatapku serius. Baru kusadar bahwa iris matanya berwarna coklat, cerah. Dan kurasakan kegusaran disana ketika kami bersitatap.

"Oooh, ada apa dengan Citra?"

"Apakah kau pacaran dengannya?"

"Haaa?"

Anton bertanya dengan muka serius, sedari tadi memang belum kulihat wajahnya tersenyum.

"Aku serius, apakah kau pacaran dengan Citra?"

Ulang Anton dengan tekanan. Kutunda jawabanku ketika pesanan kami datang. Dua mug coklat hangat dan satu piring puff pastry menemani.

"Terima kasih, Mbak."

Ucapku pada Pramusaji, yang dibalas dengan senyum dan anggukan.

"Sama-sama, Mas."

Kuhirup asap yang masih mengepul dari Mug di depanku, aroma coklat kental sedikit menenangkan.

"Ton, kami dulu teman satu kelas waktu SMA. Nah aku dan Citra bertemu kembali sejak tiga tahun yang lalu, dan sejak itu Citra selalu menyempatkan diri bertemu dengan Ghifa, anakku. Maka kami dekat, apakah itu namanya pacaran?"

Jawabanku panjang, entahlah aku merasa ini ada hubungannya dengan permintaan orang tua Citra, untuk bertemu denganku.

"Tidak! Anda belum mengutarakan isi hati anda pada Citra kan? Artinya anda bukan pacar Citra! Dengar, saya sudah menyampaikan keinginan saya untuk menyunting Citra sebagai istri saya!"

Deg

Aku tersenyum, menyeruput coklat dari mugku yang berangsur menghangat. Kuraih pastry dan kucelupkan kedalam coklatku sebelum masuk tergerus gigi gerahamku. Aku masih diam, tak menanggapi, hanya gerakan tanganku mempersilahkan Anton untuk meminum coklatnya. Satu tegukan, dua tegukan, dan tegukan ketiga wajah tegangnya berangsur melembut.

"Selamat ya Ton, kapan kalian akan meresmikan hubungan kalian?"

Tanyaku santai, tentu saja setelah kuseruput kembali coklatku ketika kurasa debaran di dada yang tiba-tiba datang. Bagaimana Ghifa nanti memanggil jika Citra menikah dengan Anton, apakah masih Mama?

Glek

Anton kembali menyeruput coklatnya, terlihat dari gestur tubuhnya ada resah yang disembunyikan.

"Kami teman kuliah, e boleh aku panggil namamu saja?"

"Aku Gielang Syailendra, panggil saja aku Gie,"

Sahutku cepat.

"Aku Anton Saputra, baiklah aku panggil kau Gie bukan lagi Anda,"

Aku mengangguk dan tersenyum, sikap formal Anton mulai berubah menjadi bersahabat.

"Sebenarnya Gie, Citra belum memberikan jawaban apapun,"

Aku terdiam, menunggu.

"Aku sudah mengulanginya untuk yang kedua kali, dan Citra tetap tak memberi jawaban."

Aku masih menunggu.

"Aku mencintainya sejak di bangku kuliah. Kami dekat, aku rasa dia hanya menganggapku sebagai sahabat."

Keluh Anton.

"Aku pikir usia kami sudah matang untuk menikah, jadi kulamar dia. Bukankah kau juga sudah menikah Gie?"

Aku mengangguk.

"Aku menikah muda Ton, Laras tak mau pacaran, aku menikahinya sebelum kami wisuda."

Anton menatapku, aku menunduk, senyummu kembali terbayang. Kulirik jam yang melingkar di tangan, pukul 16.15. Apakah kau sudah menungguku di bangku taman, Laras?

"Maaf, Citra sudah bercerita tentangmu."

Lirih suara Anton tanpa emosi seperti di awal tadi. Mungkin, coklat hangat yang hampir tandas di mugnya membuatnya jauh lebih tenang.

"Apakah kau tidak berkeinginan untuk menikah lagi?"

Aku menggeleng.

"Aku belum berpikir ke arah sana, Ton."

"Kalau begitu, tolong, biarkan Citra untukku!"

Aku tercekat. Pernyataan lugas yang terasa menohok jantungku. Tapi bukankah Citra bukan barang, dia punya hati yang tidak bisa dipaksa.

"Maksudmu?"

"Aku rasa Citra mencintaimu, Gie."

Deg.

Aku terdiam. Anton kembali menatapku dengan serius, mata sipitnya lurus mengarah padaku. Hanya wajahnya terlihat sayu. Apalagi ketika angin memainkan aroma melati yang berada di pinggiran air mancur. Semerbak sendu.

"Aku laki-laki. Kita laki-laki dewasa, Gie. Aku merasa kau adalah alasan Citra untuk tidak memberikan jawaban untukku. Jadi, tolong lepaskan Citra!"

...........

Terpopuler

Comments

R.F

R.F

like

2020-12-11

1

👑

👑

cemungut

2020-11-27

1

👑卂尺丂ㄚ

👑卂尺丂ㄚ

❤️❤️

2020-11-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!