Laras Dewanti

LARAS DEWANTI

Ketika tiba saatnya, tak akan ada yang mampu mengelak. Sama halnya ketika daun mengering dan gugur menyapa bumi.

*****

Pintu terbuka, seorang perawat datang sambil membawa tabung berisi sample darah.

"Mas, mbaknya butuh transfusi darah segera!"

"Apa?"

"Baik, suster berapa yang dibutuhkan?"

Ardi menatap suster dengan badan tegapnya. Terlihat wajah suster ragu. Ia bergegas masuk dan kembali dengan selembar kertas.

"Usahakan cepat, Mas. Persediaan Bank Darah di rumah sakit sedang kosong untuk golongan tersebut,"

"Ya, Suster!"

Ardi berlalu cepat melewati koridor lenggang menuju pintu keluar. Kutatap punggung nya sekilas, PMI yang dituju, hanya berkisar satu kilometer dari Rumah Sakit.

"Suster, tolong ... Boleh saya masuk ya..."

Rengekku mengiba, wajah suster itu terlihat kikuk. Kau pasti akan beranggapan hal yang sama.

"Anda yakin?"

Aku mengangguk. Suster itu berpikir sebentar, kemudian masuk kembali ke dalam ruangan untuk beberapa menit. Sebelum akhirnya kembali keluar.

"Tapi Mas tidak boleh panik, jika panik terpaksa kami tidak bisa mengijinkan Mas untuk masuk."

Suster itu menatap tajam padaku. Tak perlu berpikir panjang untuk mengangguk, untuk bertemu dengamu.

Deg

Pyarrr

Hatiku pecah saat itu juga, ketika melihat kondisimu. Ventilator terpasang, perekam detak jantung menyala memberi tanda.

Segala macam alat yang tak kuketahui satu satu namanya melekat pada tubuhmu. Aku mendekat, bukankah aku berjanji untuk tidak panik?

"Laras ..."

Tentu saja kau terdiam. Kuraih tanganmu, sambil duduk bersimpuh. Ketika tiba tiba suara itu membuat detak jangtungku seakan ikut berhenti.

*

Bersipuh di sini memandang Namamu tertulis disana. LARAS DEWANTI binti Harjo Sukendro. Bunga mawar penuh menutup gundukan tanah merah.

Untaian peristiwa beberapa jam yang lalu tak lagi kuingat penuh. Yang kutahu, hanya kau tak lagi di sisiku.

Suara-suara berseliweran sedari tadi, memenuhi gendang telinga.

"Ya Allah, ... Kasihan sekali,"

"Kenapa to Bu,"

"Perdarahan katanya ..."

Isak tangis kudengar memenuhi ruangan.

"Gie, sabar ya ..."

"Kau pasti kuat,"

"Ikut berduka, Gie, semoga Allah menerima segala amal ibadah Laras,"

"Gie ..."

"Ya Allah, cantiknya dedeknya,"

"Gie ..."

"Gie ..."

"Gie!"

Kurasakan badanku digoncang-goncang. Kurasakan pula, pipiku ditepuk, tepuk.

"Ayo pulang, Gie."

Seraut wajah berambut ikal yang dikucir, menatapku dengan mata penuh.

"Gie..."

"Larass ..."

"Larass, sudah tiada, Gie ..."

"Siapa yang bilang?"

Orang berambut ikal itu memelukku.

"Gie, ini aku, Ardi. Pulanglah bersamaku, sobat."

Kuhembuskan nafasku, kau disini, Mengapa aku harus pergi?

"Mengapa?"

"Gie, ingat, kau punya Ghifa, anakmu membutuhkanmu,"

"Ghifa?"

Senja bertandan. Horizon memerah, tanah pemakaman, senyap. Angin menyapa pucuk pucuk kamboja, menjatuhkan bunganya diatas pusara-pusara. Aku tetap bergeming, hawa dingin menelusup menusuk tulang. Aku merasa tak kenal siapa-siapa, Juga tak ingat apapun. Kecuali bahwa kau terbaring disini.

"Gie, Ayo pulang,"

Aku menatap pemuda gondrong dengan hidung bangir itu. Siapa namanya tadi? Ingatkah kau?

"Gie dengar, besok kita kesini lagi ya, sekarang kita pulang, yokk,"

Kutatap sekeliling, banyak nisan diam terpaku. Kau tahu ini akan terjadikah? Lalu apa yang harus kulakukan tanpamu?

"Gielang ...."

Suara perempuan terdengar menyusup. Aku menoleh ke arah datangnya suara. Seorang perempuan separuh baya bergamis coklat tua dengan kerudung coklat muda mendekatiku.

"Pulang yo, Le, ... ditunggu Ghifa di rumah, pulanglah ..."

Kutatap Ibu itu, wajah yang sangat kukenal, matanya terlihat sayu menatapku. Mengelus dengan lembut kepalaku, yang tengah merajuk bagai seorang anak kecil yang kehilangan mainan.

Alam mulai gelap, entah berapa jam sudah aku disini. Sejak matahari melangkah dari titik di atas kepala, hingga sekarang tak lagi nampak.

"Yook, besok kita bisa kesini lagi, sesering yang kausuka,"

Kali ini si gondrong yang berkata sambil, mengajakku berdiri. Lututku bergetar.

"Kita temui Laras di rumah ya, Gie..."

"Laras?"

Kutoleh gundukan penuh mawar dalam remang. Tapi Ibu di hadapanku mengusap kepalaku untuk mengalihkan pandangan.

"Aku Ibu, Le ..., mosok sama ibu lupa?"

Suaranya bergetar, dielus elusnya punggungku, dengan lembut. Kepalaku terasa pening, jalanku terhuyung, badanku terasa lemas. Si gondrong menompang tubuhku, dengan merangkulkan tanganku ke lehernya.

"Kita pulang sekarang."

Kakiku sedikit terseret, rasanya berat melangkah berjalan diantara batu-batu nisan.

Remang menghadang, kutak kuasa hingga membiarkan diriku dipapah menjauh. Sayup terdengar suara adzan magrib, ketika kaki-kaki kami melangkah meninggalkan tapak terakhir pintu makam.

**

18.07

Mobil memasuki halaman sebuah rumah dengan tenda melebar, terpasang. Area pemakaman, yang kami tinggalkan hanya perjalanan 5 menit. Rumah model bangunan belanda itu terlihat ramai. Ibu-ibu nampak masih terlihat duduk-duduk di gelaran karpet teras dan ruang tengah. Dibawah tenda, kursi-kursi diatur rapi menghadap meja.

Beberapa orang tampak beranjak menyosong kedatangan kami. Sebagianya berdiri menanti. Sempat kulihat diantaranya memalingkan wajah dan mengusap kelopak mata mereka.

"Den Gielang ..."

Seorang Ibu separuh baya mendekat. Kemudian Ibu membisikan sesuatu padanya, hingga ia bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Sementara si gondrong dan Ibu masih mengiringi langkahku yang lambat.

Aku berhenti. Kulepaskan rangkulanku dari pundak si Gondrong yang memapahku.

"Ayo, Le. Istirahat di dalam ya..."

Aku menghela nafas panjang, menghirup harum mawar segar yang bermekaran di halaman samping. Di remang Kj lampu warna warninya bergoyang di tangkai yang tertiup angin.

"Laras ..."

"Iya ... Le, ayo masuk, bersihkan dirimu dulu ya... "

Ajak Ibu, mengandeng langkahku yang ragu.

"Ayo, Gie! Kembalilah bersama kami."

Tepuk si gondrong. Aku melangkah gontai, menampaki tangga menuju teras.

"Mas Gie ..."

"Ya Allah, Mas Gie ..."

Kudengar isak mereka, saat Ibu membawaku memasuki ruang tengah. Mereka yang berada disana hanya terpaku tak berani mendekat. Bergerombol di sudut-sudut ruang, memberi jalan pada kami. Diantaranya memalingkan wajah dan dan menahan isak.

"Mandi dulu ya, Le ..."

Perintah Ibu sambil membuka kamar. Kukenal ini kamar kita, sebuah kamar dengan bed di tengah ruangan, dengan nakas di samping kiri-kananya. Almari putih gading tiga pintu berada di satu sisi. Terlihat baju ganti telah disiapkan oleh seorang yang dipanggil Bik Nah oleh Ibu.

Ibu mengantarku sampai pintu kamar mandi, di samping almari. Menyerahkan handuk berwarna ungu padaku. Kulihat bayangan Ibu berdiri menungguku sampai aku selesai membasuh semua tubuhku hingga mengganti baju.

Keluar kamar mandi, kutemui Ibu menyiapkan makan dan segelas Susu di nakas.

"Gie ..."

"Minum dulu ..."

Masih tetap tak bersuara, kududuk di tepi ranjang dan kuteguk sedikit. Lalu segera kuletakkan ketika suara anak kecil terdengar.

Si gondrong mengendong seorang bayi sambil tersenyum, kemudian menidurkannya di bed.

Aku terpana memandangnya, sontak semua kilatan peristiwa kembali datang.

"Ghifa ..."

"Alhamdulillah ... kau mengenalnya, Gie ..."

Aku tergugu, kubiarkan tangisku di bawah kaki si mungil. Kubenamkan wajahku melepaskan sesak yang sedari tadi membatu.

"Laras ..."

......

Terpopuler

Comments

KIA Qirana

KIA Qirana

👌👌👌👌👌👌👌

2021-09-04

1

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

wahh kak..

ku menangis 😭😭😭

keren kak, bisa buat kami pembaca ikut merasakan😭😭😭

2020-12-21

1

Caramelatte

Caramelatte

semangat! semangat!

2020-12-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!