Pagi Terakhir
By: SBB
Jika saja kehilangan itu bisa ditiadakan, pastinya tak akan ada luka selebar samudra.
****
Kukerjapkan mataku, ketika kurasakan kepalaku dibelai lembut. Wajahmu adalah hal pertama yang kutatap ketika mataku terbuka. Senyummu teduh menghias, wajahmu terlihat memucat.
"Maaf, Cupikk jadi terbangun,"
"Ahhh tak apa, ... Aku sudah segar kok, kau tidak tidur?"
"Tidur kok... "
Jawabmu spontan memutus kekhawatiranku. Kulihat box bayi, tak ada si kecil.
Trappp
Hatiku berdesir, seketika mataku liar mencari. Terdengar suara Ibu menimang, dan geliat kaki dan tangan si kecil berambut ikal terlihat dari tempatku duduk. Ibu membersihkan tubuh anak kita dengan tisue basah, kemudian memakaikan popok kembali.
"Adek pup, Cupikkk..."
"Iya ..."
"Cupikk... "
"Ya?"
"Cupikk harus belajar merawat Ghifa, kasihan kalau semua harus Ibu,"
"Tentu saja, sayang. Siappp pokoknya. Kita akan belajar bersama, ya kan?"
Senyumku mengembang, tapi kurasa wajahmu kuyu. Kembali kubergegas beranjak menuju rak di dekat TV layar datar. Membersihkan mug di wastafel, mengeringkannya dengan tisue kering. Lalu menyeduh susu yang baru, hangat-hangat kuku. Susu coklat yang kau suka.
"Ayo diminum, agar perutmu terasa hangat,"
Kau mencoba menyesapnya tak banyak. Tapi kemudian segera kau habiskan ketika, Ibu berkata.
"Kau harus sehat dan kuat, sayang, agar ASInya banyak, jadi si kecil juga jadi kuat."
"Ya, Bu."
Kau ulungkan mug kosong sembari meringis, aku tergelak.
Ibu tersenyum sambil memberikan Ghifa padamu untuk disusui. Matamu berbinar ketika mencoba bercanda dengan Ghifa. Ibu memencet bagian sisi bed agar posisinya naik, hingga kau bisa duduk dengan nyaman.
"Laras, jika ada yang kaurasakan bilang ya..."
Kau mengangguk.
Ibu ke kamar mandi, sambil membawa ganti yang dibawakan Ardi. Bik Nah pasti menyiapkan semuanya, termasuk baju gantiku dan punyamu. Sesaat terdengar cipratan air jatuh dari shower.
Kau dekap Ghifa yang asyek di dadamu, tangan kananmu memegang tangan kecilnya.
"Ghifa ... Ini, Bunda... "
"Ghifa... Ini Ayah,"
"Hahaha..."
Menjelang subuh, saat kita bisa bersendau gurau bersama. Senyum kita mengembang dengan bahagia. Kucari gawai yang sempat tak terpikirkan, dan mengambil gambarmu bersama si kecil, juga gambar kita bertiga. Begitu juga ketika Ibu keluar dari kamar mandi tak luput dari jepretan kameraku.
"Sudah, Ibu sholat dulu. Gie, mandi sana biar segar."
Cara jitu Ibu untuk menghindar. Ibu memang tak begitu suka berfoto. Menjelang masa pensiunnya yang tinggal 5 - 6 tahun lagi, foto beliau bisa dihitung.
"Okey bu!"
Bergegas aku masuk kamar mandi menyiram tubuhku dengan air dingin. Terasa sejuk hingga mendamaikan hati. Teringat detik detik yang telah kulalui, dari kemaren sore hingga saat ini. Sungguh, aku sadar bahwa aku tak akan pernah siap untuk kehilangan dirimu.
Terdengar sayup adzan subuh, tepat ketika aku keluar dari kamar mandi. Ibu masih mengenakan mukenanya, duduk bersipuh dan berdzikir. Kau tak lepas ikut bergumam sembari menepuk-nepuk paha kecil Ghifa.
"Jamaah subuh, Gie"
"Ya bu,"
Kutaruh handuk pada krak stenlis yang disediakan di depan kamar mandi. Kemudian melangkah menuju sajadah hijau yang sudah digelarkan Ibu, di depan sajadah birunya.
Kami melakukan sholat dua rakaat dengan surat pendek. Sesudahnya, setelah kucium punggung tangan Ibu, kupanjatkan doa panjangku. Syukur untuk semua rahmat yang telah dilimpahkan pada keluarga kecil kita. Harapan terbaik untuk Anak dan keluarga, serta kuserahkan permohonan ampunan kepadaNya atas segala khilaf yang kita lakukan. Sesaat Kutangkupkan kedua tanganku ke muka, mencoba memberi sejuk harapan.
Tok
Tok
Tok
Terdengar pintu kamar diketuk. Ibu beranjak, masih dengan mukenanya. Menarik sedikit bawahan mukena agar dapat berjalan tanpa tersandung. Dan membuka pintu, hingga terbuka selebar satu daunnya.
"Maaf Ibu, saatnya si kecil mandi ya, di ruangan yang berada di depan ruang perawat,"
Seorang perawat berkerudung biru sewarna dengan seragamnya, memberitahu.
"Oh, ya, Suster. Terima kasih. Sudah ada petugasnya, suster?"
"Sudah bu, sejak sehabis adzan subuh tadi. Ini mulai ada yang antri."
"Oh ya, ya, terima kasih, suster."
"Sama-sama buk, saya permisi memberitahu yang lain,"
Perawat itu membungkuk kemudian berlalu, melanjutkan mengetuk kamar sebelah.
Aku sudah melipat kedua sajadah kemudian meletakkan di sofa.
"Jadwal mandi buat bayi, Gie,"
"Sepagi ini, Bu? Apa dedeknya ndak kedinginan?"
"Bagus itu, biar terbiasa bangun dan mandi pagi, Gie."
"Hmm benar juga ya, Bu,"
Ibu segera menyiapkan handuk, dan baju ganti lengkap, dari atasan yang masih berbentuk baju dengan belahan depan yang dikaitkan dengan kancing. Kaos tangan dan kaos kaki tanpa motif, dengan warna senada dengan bajunya, hijau tosca.
"Biar aku saja, Bu, nanti yang antri. mandiin Adek,"
Ibu menoleh kearahku, kudengar suaramu terkekeh.
"Serius? Ketemunya semua ibu, Ibu lhoo ... Gie"
"Lha kan, aku Ayahnya, emang nggak boleh, Bu?"
"Hehehe, bolehhh ..., siapa yang berani nglarang?"
Senyumku melebar mendekatimu yang masih mendekap si cantik berambut ikal. Kau mainkan rambut anak kita sambil mengajaknya bicara. Membelai dahi kemudian turun ke pipinya yang chubby.
"Tunggu Cupikkk, biarkan dia kenyang dulu, ya ...."
Kau menahanku, ketika tanganku teraih ingin menggendongnya. Akhirnya kutepuk tepuk kaki mungilnya.
"Nanti sehabis mandi kan bisa ***** lagi, Cipukk,"
Kau menggeleng, dan tetap mendekap Ghifa dengan erat. Aku mengalah, kemudian duduk menunggu. Ibu telah memasukkan semua peralatan di sebuah tas kecil.
Kemudian menyuruhku minum teh hangat yang sudah diseduh. Aku ambil mug bergambar Pegasus, dan menyesap teh hangat dengan campuran madu. Bik Nah sangat teliti dan detail hingga mug kesukaan kami pun masing-masing dibawakan.
Kau meletakkan kepalamu di atas kepala si kecil. Membisikan sesuatu kepadanya sangat pelan, bahkan aku pun tak mendengar. Yang kutahu mulutmu bergerak serius sambil menatap bayi kita.
"Cipukk sayang ..."
"Bentar lagi, Cupikk ..."
Aku kembali tak memaksa, kutunggu sembari memandangi kau dan Ghifa. Hingga ketika suara suster terdengar sambil melongokkan wajahnya di pintu yang terbuka.
"Assalamualaikum, dedek ... Papung dulu yokkk,"
Kau menoleh.
"Siaap suster! Sebentar lagi,"
Kuayunkan jempolku ke arah pintu, dan suster berkerudung biru berlalu dengan tersenyum.
"Cupikkk... "
"Ya sayang?"
Kaudekap tubuh mungil itu erat Kau kecup dahi dan kedua pipinya. Sesaat kau tatap lekat mengajaknya tersenyum, barulah kauberikan ke dalam timanganku, dengan berat.
"Berjanjilah untuk selalu ada untuknya, Cupikkk ..."
"Tentu saja, kita akan selalu ada untuknya,"
Kau tersenyum sedikit tertawa melihatku mengendong dengan kikuk. Tas kecil berisi peralatan kupegang dengan tangan kiri, di bawah punggung si kecil. Kau kecup kembali dahinya di saat berada dalam gendonganku.
"Bunda, ... Dedek mandi dulu,"
"Ya, cantik, hati-hati ... sayang,"
"Assalamualaikum ... "
Aku melangkah keluar kamar, Kulihat kau melambaikan tanganmu pelan, dengan tatapan yang teramat sayu.
....... next episode
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
KIA Qirana
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
2021-09-04
1
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
kenapa setia kalimat yang diucapkan laras mengarah ke..😭
2020-12-06
1
👑
entah mengapa ku rasa sudah waktunya 🥺
2020-11-30
1