Di Bangku Taman
Bagaimana kita akan berikan hati yang bukan lagi milik kita? Sesungguhnya ia hanya satu dan akan tetap menjadi satu.
****
Petang itu mendung bergelayut, Ghifa asyekk mencoret-coret kertas di ruang tengah, sehabis mandi sore. Aku baru saja pamit kepada Ibu untuk keluar tanpa Ghifa, ketika Citra datang. Perempuan dengan rambut lurus sebahu itu memarkir mobil metalicnya persis di depan tangga menuju teras.
"Hai, Gie ... Assalamualaikum ..." sapanya ceria, begitu keluar dari mobil.
Kau tahu, Laras, sejak bertemu di pernikahan Ardi dan Lidya, Citra sering menjenguk Ghifa di rumah. Ia selalu menyebut dirinya mama di hadapan Ghifa, Ibu hanya tersenyum mendengar itu. Beliau hanya menganggapnya sebagai cara Citra untuk mengakrabkan diri, tak lebih.
"Eh, Waalaikumsalam, Cit?"
Jawabku. Tepat ketika pintu depan kututup, agar angin yang berhembus kencang tak banyak yang langsung masuk ke dalam.
"Mau keluar?"
Mata Citra menatapku penuh tanya. Sikapnya tetap santai, terlihat nyaman dengan celana bluejeans dan T-shirt warna putih. Langkahnya tertahan di tangga terakhir menuju teras, dari 5 tangga yang ada.
"Iya," jawabku singkat.
Sebuah payung lipat kumasukkan dalam tas dada yang kucangklongkan menyilang.
"Ghifa?"
"Di rumah. Mau hujan, kasihan juga, angin kenceng. Bisa kedinginan kalau kuajak jalan-jalan."
"Oke, Ayok!"
"Maksudmu?"
"Ayok, kita mau jalan-jalan kan?"
Sahut Citra pede, sembari melangkah balik menuju mobilnya.
"Emmm, aku jalan saja Cit, dekat kok,"
Tolakku halus, masih berdiri mematung di tangga kedua dari teras.
"Emang mau kemana sih?"
"Taman ..."
"Oke aku antar ke taman,"
"Tapi, Cit ..."
"Sudah, Ayok!"
Citra kembali menghampiri, kemudian mendorong punggungku menuju jok di samping kemudi. Aku tidak bisa menolak. Kubiarkan ia memutar kemudinya kemudian membawa mobilnya dengan pelan.
"Kulihat kau sering ke taman, Gie!"
"Iya. Eh, darimana kau tahu?"
"Hah? Apa? E ... e ... kebetulan saja kok, Gie ...."
Aku tak mau membuatnya lebih gugup, jadi aku tak perlu memaksanya.
"Maaf Cit, disitu saja aku turun,"
Tunjukku pada sebuah tempat di dekat gazebo.
"Oke!"
Citra membawa mobilnya perlahan berhenti. Aku segera membuka pintu untuk keluar.
"Terima kasih, ya, Cit,"
"Iyaaa, ndak usah terlalu formal, gitu lah ...."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum sedikit, lalu berjalan santai, dengan kedua tangan masuk ke dalam jaket parasutku.
"Tunggu Gie,"
Kuhentikan langkahku, mendung menghitam dan angin membawa hawa beku. Kutunggu sampai Citra mendekat, mungkin ada yang ingin disampaikan.
"Aku temani jalan, ya. Tanggung sudah sampai sini, lagian ...."
Citra menatapku sesaat kemudian mengalihkan pandangan. 'Kirain, mau bicara apa, kenapa sih dia ndak pulang saja? '
"Lagian? Apa Cit?"
"Sudah tak apa ... Eh, apakah setiap hari kau kesini?"
"Ya ..., hampir, meski tidak setiap saat,"
Jawabku, melangkah pelan. Pandanganku meluncur jauh ke depan, berharap melihat siluetmu disana.
"Emmm adakah alasan tertentu?"
Aku tak menjawab, jikalau kujawab, apakah Citra akan percaya? Apakah lebih baik aku katakan, aku kesini untuk menemuimu? Tentu saja mereka tak akan percaya.
"Gie ..."
"Ya?"
"Kau tak mau menjawabnya?"
"Emmh, kau pingin tahu?"
"Iya, aku pingin tahu apapun yang berhubungan denganmu!" jawab Citra cepat.
Kutoleh gadis itu, roman mukanya mendadak tersipu. Kemudian melemparkan pandangan ke arah anak-anak yang tengah bermain bola di lapangan di tengah taman.
"Eh, maksudku ...."
"Mengapa?"
"Emmm ... aku aku ...."
Aku tak lagi menanggapi. Desau angin mengiringi langkah kami dalam diam. Gerimis mulai menitik, Citra masih mengiringi.
"Gerimis, Gie!"
"Iya ndak apa-apa!"
"Lho, semakin menderas ini lho, Gie!"
Citra kebingungan mencari tempat berteduh.
"Maaf Cit, mungkin lebih baik kau pulang saja, aku masih ada urusan disini,"
Ujarku resah, bukan karena Citra yang mulai terlihat panik melihat gerimis semakin rapat. Tapi karena aku belum bertemu dengamu.
"Tapi, Gie!?"
"Maaf Cit, aku tinggal ya,"
Sempat kulihat Citra kembali ke mobilnya. Setengah berlari aku menuju sudut tenggara taman. Nyalang kulemparkan pandangan, mempertahankan mata pada kusam cahaya. Dan di warna petang kau duduk di sana, di Bangku Taman.
"Larasss!"
Bergegas kubuka payung lipat Kemudian mengambil tempat duduk di sampingmu.
"Kau sudah lama menunggu?"
Kulihat senyum pucat di wajahmu. Kuulurkan payung yang kubawa untuk melindungi tubuhmu dari rintik air yang jatuh.
"Cupikk, pakai payungnya untukmu, kau basah,"
Tanganmu terulur mencoba mencondongkan tangkai payung ke arahku.
"Biarlah, yang penting kau tidak,"
"Hehehe ..."
Kau tertawa dan aku tersenyum.
"Cupikk, bagaimana bisa aku basah, jika air pun tak bisa mengenaiku?"
Kau ayunkan tanganmu ke depan lepas dari lindungan payung, dan jelas terlihat gerimis yang datang menembus tanganmu. Aku menghela nafas berat.
"Tak apa, aku akan tetap memayungimu ...."
"Cupikkk ...."
"Laras, musim hujan telah tiba, apakah kau tak kedinginan disini? Ayolah pulang bersamaku ...."
Kau kembali tersenyum, tertunduk sesaat kemudian menatapku.
"Cupikk, jika saja aku bisa ...."
Suaramu sendu terdengar di sela air yang jatuh.
"Pakailah payungnya Cupikk, nanti kau sakit!" sentakmu khawatir.
Tanganku tetap tak goyah.
"Biarlah sayang, aku tak apa kok."
Kau mengalah, kau selalu tak bisa marah dengan kekonyolanku. Sementara, beberapa pengunjung taman yang berteduh di gazebo berseru ke arahku.
"Mas! Berteduh disini!"
"Mas!"
"Kasihan, kadang ngomong sendiri disitu,"
"Iya, ganteng-ganteng tapi agak kurang,"
"Bawa payung, tapi yang dipayungi bangku kosong!"
"Aneh! Itu namanya hujan-hujanan!"
"Depresi?"
"Entahlah ..."
"Gila?"
"Mungkin,"
Kembali celoteh mereka kudengar bertarung dengan deru air. Aku tergelak melihatmu menutup bibirmu menahan tawa mendengar ocehan mereka.
"Cupikk, maafkan aku,"
"Apa salahmu?"
"Mereka menganggap kau terganggu jiwanya karena aku,"
"Ah, biarlah ... Aku tak merasa dirugikan kok, emang salah ngobrol dengan istri sendiri?"
"Hehehe..."
"Tapi... "
"Yang penting kita tak mengganggu mereka,"
"Tapi ... Cupikkk,"
"Ini sudah pernah kita bahas, sayang, aku akan membiarkanmu menemaniku menjaga dan melihat Ghifa tumbuh dewasa,"
Kau kembali tertunduk.
"Maafkan aku Cupikk, seandainya bisa ..., sayang aku hanya bisa berada di sini,"
"Tenanglah, bagiku ini sudah sangat berarti,"
Kurasakan panas di ujung mata, dan kubiarkan hujan membawanya mengalir. Kulihat senyummu mengembang, Sementara kurasakan tubuhku menggigil kedinginan. Air menembus tajam ke kulitku.
"Sudah hampir gelap, pulanglah Cupikk ..., nanti Ghifa mencarimu,"
"Tapi ..."
Aku mencoba menyanggah, ketika suara melengking memanggilku panik. Citra berlari kecil di tengah hujan dengan membawa payung besar yang dibawanya dengan susah payah.
"Gie!"
Citra menemukanku, matanya membulat.
"Gie! Ya Allah, apa yang kamu lakukan? Men ... ga ... pa ...."
Citra terdiam, tiba-tiba tergagap, bibirnya kelu melihat ke arahmu. Kau tersenyum sambil mengangguk ke arahnya.
"Apakah dia bisa melihatmu?"
"Ya."
"Iya!?"
"Sekarang pulanglah Cupikk, bawa Ghifa bermain di sini saat hari cerah,"
"Larass ...."
Kau tersenyum sebelum akhirnya berangsur memudar dari penglihatanku. Saat denting jam menunjuk pukul 17.37. Selalu begitu, setiap saat.
Tepat ketika Citra mulai kembali bisa bicara setelah sesaat bibirnya tak bisa berkata apa-apa, dan menunjuk ke arahmu dengan gusar.
"Dia...., Dia?! "
........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
👑
Laras😢
2020-12-03
1
ARSY ALFAZZA
❤️
2020-11-26
1
Jenong
aku datang MBK yuk.
2020-11-10
1