Harapan Ibu
Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tak terkecuali Ibu.
Beberapa waktu, ini Ibu sering ngobrol dengan Ummah melalui telepon. Sejak kau tiada, paling lama sebulan sekali Ummah dan Abah datang untuk menengok Ghifa. Kadang berdua diantar oleh Mang Kusdi sopir Mas Dikto, kadang diantar sendiri oleh Mas Dikto dan Mbak Dewi bersama dua anaknya. Jogya – Purworejo bukanlah jarak yang jauh, tapi juga tak dekat jika dijalani oleh Ummah Abah yang sudah hampir mendekati masa pensiun.
Seperti kali ini, Ummah Abah datang berkunjung saat minggu pagi. Perjalanan sehabis subuh dari Bantul, hanya butuh waktu dua jam perjalanan dalam keadaan jalan lenggang. Ghifa tengah bermain dengan sepeda roda tiganya bersama Bik Nah, sembari menemaniku merawat kebun mawarmu, ketika Ummah-Abah datang diantar Mang Kusdi.
“Assalamualaikum….” Ucap Ummah dan Abah begitu keluar dari mobil.
“Waalaikumsalam ….” Ibu yang sedari tadi sering melongokkan kepalanya kearah jalan masuk menjadi begitu ceria ketika Ummah Abah tiba.
Akupun bergegas menghentikan kesibukannku memotong tangkai mawar yang mengering. Kuletakkan gunting bunga dan kulepas kaos tangan wolku yang tebal. Mencuci tangan, kemudian meraih Ghifa dan berlari menyambut. Di belakangku Bik Nah mengikuti, bergegas meraih barang bawaan yang dikeluarkan Mang Kusdi dari bagasi.
“Ummah …Abah,” sambutku takzim mencium kedua punggung tangan kedua mertuaku.
“Anakku, ngger … sehat to?” Abah menepuk-nepuk pundakku, kemudian menggoda Ghifa.
“Alhamdulillah, sehat, Abah. Bagaimana keluarga di Jogya, sehat?”
“Alhamdulillah, Masmu masih ada tugas di proyek, jadi tidak bisa nemenin Abah sama Ummah,”
“Wah, Alhamdulillah proyeknya Mas Dikto lancar,”
“Aaamiin …”
Abah menggoda Ghifa, dijawilnya pipi Ghifa yang tembem sambil terkekeh.
“Cucu eyang …”
“Hemmm, tembemnya…”
“Hehehe …”
“E –yang, siapa Ghifa, E –yang …” Kataku pada Ghifa sambil mengelus rambut ikalnya.
“E – ya…”
“Pinter!”
“Monggo … monggo masuk, lho, Jeng,”
Tergopoh Ibu meraih tangan Ummah yang tak lepas dari senyum cerianya. Sementara Abah mencoba mengajak Ghifa, namum gadis kecilku justru melingkarkan tangan mungilnya di leherku erat. Matanya membulat waspada. Abah tertawa.
Kami memasuki rumah, langsung menuju ruang tengah. Sebagai keluarga ruang tengah merupakan tempat favorit untuk bercengkerama. Ruangan yang luas, tergelar karpet bulu di depan TV yang biasa digunakan Ghifa bermain, selain itu terdapat sofa dengan posisi letter U untuk duduk bersantai.
Kuturunkan Ghifa di karpet, tapi tangan mungilnya masih memeluk erat kakiku sambil mendongak menatap ke arahku. Aku tertawa, kemudian mengalah, lalu duduk bersila di atas karpet dan membawa Ghifa dalam pangkuanku.
Anak kecil berambut ikal ini kemudian duduk tenang memperhatikan Ibu, Abah dan Ummah yang duduk di sofa sedang berbincang melepas rindu. Bik Inah menyajikan minuman jahe hangat kesukaan abah. Sepiring serabi solo, dan sepiring pisang kapok rebus kesukaan Abah pula.
Pembicaraan orang tua tak lepas dari obrolan tentang anak cucu.
“Iya budhe, Rinto dan Rani sekarang sudah kelas satu dan kelas tiga SD, belum juga punya adik. Kalau semua berangkat sekolah, rumah jadinya sepiiii …” Umah mengeluh, Ibu tersenyum.
Umah memandang Ghifa dengan pandangan yang sulit diartikan, aku menjadi merasa takut. Kudekap gadis kecilku erat.
“Tenang Gie, Ummahmu hanya menggoda, Ghifa tidak akan kami ambil, tapi boleh dong sekali-kali menginap di tempat eyangnya di jogya, ya Ghifa …” lerai Abah sambil menepuk paha Umah. Umah terkekeh.
Aku menghela nafas lega, tak bias kubayangkan rasanya jauh dari Ghifa, sementara kau sudah taka da di sisiku. Kukecup kening kanan Ghifa, gadis kecilku sepertinya tahu apa yang tengah kurasa. Dia memegang erat dekapanku.
‘Aduh, maaf ya, Nok. Eyang bikin kamu takut ya?”
Ghifa memanjangkan bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca, tak berapa lama tangisnya mulai terdengar pelan. Gadis kecilku yang berambut ikal itu kemudian berbalik dan merangkul leherku erat. Isaknya masih kudengar.
“Cup … cups … cups …” elusku pada punggungnya. Kubelai rambut ikalnya sambil beranjak berdiri.
“Tuh kan, Ummah …” Ummah merasa tak enak, mencoba berdiri, tapi melihat itu Ghifa semakin kencang memeluk leher.
“Ndak apa-apa, kok Ummah, Abah, Ghifa masih belum terbiasa saja,”
“Cup, cup, cup maafin Eyang yo nduk,” abah ikut berdiri menghampri. Ghifa membenamkan kepalanya di pundakku.
“Maaf, permisi dulu Abah, Umah, mungkin Ghifa mau bobok ini,”
“Ya, ya sana … dibobokan dulu,”
Aku segera melenggang kea rah dapur, meminta tolong membuatkan susu hangat untuk Ghifa di botol 280mlnya. Kemudian masih membopong Ghifa, kulangkahkan kakiku menuju kamar. Kututup pelan, agar tak mengganggu Ibu, Abah dan Ummah yang tengah mengobrol.
“Ayo, Ghifa bobok dulu ya …”
“Mik ...mik ….”
Kuberikan botol susu hangat pada Ghifa yang langsung meraih dan menyesapnya. Sementara kuatur bantal dan guling untuk tidur Ghifa. Gadis itu meletakkan kepalanya di bantal sambil tetap menyesap susunya.
Kutepuk-tepuk pahanya pelan, hingga mata lentik itu terpejam sempurna. Jam tidur yang pertama buat Ghifa, biasanya antara jam Sembilan sampai jam sepuluh tiga puluh. Setelah lelah bermain dari subuh. Jam tidur kedua adalah sekitar jam dua siang hingga jam tiga siang, biasanya setelah bangun Ghifa akan mandi sore kemudian jalan-jalan ke taman bertemu denganmu, di bangku taman itu.
***
“Le, ibu mau ngomong sebentar,”
Ibu menepuk pundakku, setelah mengantar mobil yang dikendarai Mang Kusdi hilang dari pandangan mata. Ghifa mulai mengantuk digendongan Bik Nah, setelah sebelumnya merajuk tak mau lepas dari gendongan Abah dan Ummah.
Begitulah anak kecil. Awalnya takut, begitu bangun tidur melihat Ummah di sampingnya sambil mengelus rambutnya langsung mengajak bermain. Hingga lengket dan tidak mau berhenti, samapi Abah dan Ummah kewalahan mengikuti Ghifa yang berlari ke sana kemari sangking asyiknya sudah bisa berlari.
‘Iya, bu, ada apa?”
Ibu menuntunku untuk duduk di bangku teras, wajah ayunya menatapku lembut.
“Le, apa kamu ndak pingin menikah lagi?”’
“Ibu?”
Aku tersentak, tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut ibu. Sontak kurasa wajahku menegang, bagaimana bisa Ibu tega bertanya seperti itu, sementara kau masih berada di sisiku? Kutangkupkan kedua tanganku, oh, aku tak bisa menyalahkan Ibu, bukankah beliau tidak tahu jika kau masih selalu menungguku di bangku taman itu?
“Ummah tadi merasa kasihan melihatmu, Gie, jadi dia minta tolong untuk membicarakan masalah ini padamu.”
Aku masih tertunduk, kuhirup udara siang itu, semerbak mawar merasuk kedalam dua lubang hidungku, seakan kau berada di sampingku.
“Gie mengerti, Buk. Tapi Gie belum memikirkan itu,”
“Anakku, Gie …jika kau sudah punya calon, bilang saja ke Ibu. Emm … seperti Citra misalnya, dia gadis yang baik, Ibu rasa hubungan kalian juga dekat?”
Aku mencoba tersenyum, kupegang tangan kanan ibu mencoba menyakinkannya.
“Gie dan Citra hanya berteman kok Buk, Gie tidak pernah memberi harapan apapun padanya,”
“Tapi, Gie. Apakah kau yalkin kalau Citra hanya menganggapmu sebagai seorang teman?”
Aku terkesiap, tersadar akan sesuatu yang mungkin kulewatkan.
“Maksud Ibu?”
……..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
👑
Citra punya perasaan padamu Gie
2020-12-08
1
ARSY ALFAZZA
❤️👌👌
2020-11-26
1
Dezna Yanti Tanjung
Senang deh Purworejo masuk dalam novel. Apakah author orang Purworejo ya? semangat terus dalam berkarya ya thor?
2020-11-20
1