Lelaki - lelaki
Orang hanya bisa memandang kita dari luarnya saja. Sedikit sekali yang bisa menyelami sampai ke hati. Jadi tak perlu memaksa semua orang harus mengerti, ada kala memahami orang lain justru langkah yang terbaik.
Kupencet nomor di gawai, resah melanda hatiku. Rumah kosong ketika aku sampai di rumah, Tidak ada Ibu, Ghifa dan Bik Nah pun tak terlihat.
Dua kali nada dering, baru panggilan diangkat DKI seberang.
"Assalamualaikum, Gie. Ada apa?"
"Waalaikumsalam ... Ibu dimana?"
"Ooh, maaf ibu lupa memberi tahu. Hari ini sekolah Ibu ada kegiatan akreditasi, jadi Ibu pulang agak sorean ya... "
"Oh ya Bu, Ibu jaga kondisi ya, jangan capek-capek."
"Iya... Iyaaa... "
"Tapi lalu dimana Ghifa? Ini rumah kosong, Bu."
Kutelusuri kembali halaman samping, siapa tahu Bik Nah membawa Ghifa jalan-jalan. Tapi tetap saja rumah besar itu senyap.
"Oohh tadi Citra ijin Ibu, mau mengajak Ghifa dan Bik Nah ke rumahnya...."
Aku tersentak.
"Apa Bu? Ke rumah Citra?"
"Iya, sekitar jam satu lebih tadi, dia telepon,"
"Yaudah kalau begitu, aku susul saja ya Bi...."
Jawabku ragu.
"Ya disusul saja, Gie. Sekalian kau bersilahturahmi dengan keluarga Citra."
Deg
"Sudah ya, Ibu lanjutkan dulu pekerjaan di sekolah ini, ya, kau segera susulah Ghifa ke rumah Citra, Gie ... Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam... "
Telepon putus, hatiku gundah tak menentu, Ke rumah Citra?
Waduh, gimana ini. Aku belum pernah ke rumah Citra kembali sejak lulus SMA. Seingatku sekali dua kali, kesana dulu sewaktu SMA bersama teman sekelas. Oh ya terakhir ketika reuni, pada saat masih kuliah dulu.
Aku ragu-ragu, kumasuki rumah yang sepi tanpa celoteh Ghifa. Kuletakkan tas punggungku di meja kerja, kemudian bersiap mandi dan berganti baju.
Tak ada kabar dari Citra, 'Apakah aku perlu bertanya padanya dulu?'. Tapi aku tak pernah memulai chat dengannya. Aku hanya akan mengirim pesan balasan menjawab pertanyaan yang ia kirimkan terlebih dahulu.
Tak bisa pula aku bertanya pada Bik Nah, karena orang tua itu tidak memegang HP. 'Apa aku minta tolong Ardi untuk menanyakan kapan Ghifa pulang?', Ahhh ... aku hanya akan diperolok pemuda gondrong itu.
Kulirik lagi gawaiku tidak ada notifikasi dari Citra. Tapi hampir setengah jam berlalu, tak ada juga deru lembut si metalic memasuki halaman rumah.
Benar juga, menunggu itu membuat gundah di dada. Apakah ini yang juga dirasakan oleh gadis-gadis ketika menunggu kepastian dari pujaan hati? Entahlah. Tapi langkahku bergegas menuju si hitam beroda empat. Kukeluarkan dia dari garasi, meninggalkan halaman rumah menuju suatu tempat yang masih kuingat-ingat jalannya.
***
Rumah Citra bersebelahan dengan Toko bangunan besar, dimana keluarganya membuka usaha. Terletak di jalan utama dekat dengan kantor kecamatan. Di depan bangunan rumah terdapat pendopo tempat menerima tamu. Dari pendopo menuju rumah induk dihubungkan dengan semacam koridor yang dikiri kanannnya ditumbuhi bunga-bunga perdu. Itu sekitar 6 tahun yang lalu.
Saat itu diadakan reuni kelas, ketika aku masih semester 6. Dan aku sudah mengenalmu saat itu, Laras. Karena kuingat aku tak begitu memikmatinya, jika tidak karena Agung menghampiriku di rumah, aku pasti tidak akan berangkat.
Menuju rumah Citra hanya berkisar 20 menit dari rumah. Perjalanan lurus, jalan beraspal menyeberangi jalan propinsi yang menghubungkan jalur selatan, menuju jalan kabupaten. Kuarahkan kemudi ke arah kiri dari perempatan, dimana dua toko swalayan terletak berseberangan. Jarak 50 meter dari situ, rumah Citra berada.
Kuarahkan si hitam menepi, tepat di belakang mobil berwarna merah yang terpakir di sisi luar pagar.
Kuhela nafasku berat, mengapa juga hatiku menjadi kikuk? Kulangkahkan kakiku ragu memasuki halaman. Di pendopo kulihat dua orang lelaki sedang berbincang.
"Assalamualaikum..." sapaku ragu menaiki tangga pendopo.
"Waalaikumsalam..." jawab kedua orang itu sambil menoleh ke arahku pandangannya menyelidik.
Kuulurkan tangan menyalami keduanya sambil mengumbar senyum, meski mata keduanya menatapku penuh tanda tanya.
"Emmm ...
maaf ..."
Belum selesai aku bertanya, kulihat gadis kecilku berlarian melewati koridor penghubung pendopo dan rumah induk. Di belakangnya Bik Nah mengikuti, sementara di belakangnya lagi. Terlihat Citra membawa napan berisi minuman dan camilan.
Ghifa terlihat asyiikk bermain sembunyi-sembunyi di balik daun gelombang cinta yang tinggi menjulang. Tawanya menggema ceria,
Yesss
Hatiku terasa damai. Segera kuberlari menyosongnya.
Sesaat kubersitatap dengan Citra, wajah cantiknya terlihat kaget. Kedua alisnya yang hitam menjadi benar-benar bertaut. Tapi kemudian senyumnya melebar, membuat pipinya merona.
"Gie ..."
"Citra... "
Kualihkan pandanganku menuju arah Ghifa yang sembunyi. Kusebut namanya dengan alunan yang panjang.
"Ghiiifaaa ...!"
Gadis kecilku melonjak kaget, kemudian melompat lompat memamerkan giginya yang putih. Kedua tangannya diangkat keatas, hingga rambut ikalnya yang lebat dan mulai panjang bergoyang-goyang.
"Aya ... Aya ..." kurengkuh dia dalam pelukku.
"Halllo, cantik ... Kenapa main ndak bilang-bilang..."
Jawilku pada pipi tembem Ghifa. Dari balik daun gelombang cinta, Bik Nah menyembul kemudian mendekat.
"Maaf ya, Den. Bik Nah tidak pamit, tapi kata neng Citra, sudah pamit Ibu,"
Bik Nah menjelaskan dengan intonasi pelan. Kuanggukan kepalaku.
"Ndak apa-apa, Bik ..."
Sementara itu sempat kudengar salah satu lelaki yang duduk di kursi tamu dari bongkahan kayu besar yang panjang itu bertanya.
"Siapa dia, Cit?"
Nadanya terdengar menusuk, mencoba mengorek dengan curiga.
"Ohh dia Gielang, Ayah Ghifa ..." jawab Citra santai.
"Oh Dia yang namanya Gielang, duda itu kan Cit?"
"Iya, emang kenapa, Ton? Ada yang salah?" terdengar lagi suara Citra datar.
Kumengeryit, ada nada tak suka keluar dari mulut lelaki yang dipanggil Ton oleh Citra. Tapi kucoba untuk bersikap santai.
"Hmmm ..."
"Ayo, diminum dulu Vid, Ton ..." Citra mempersilahkan, memecah kekakuan. Kemudian terdengar gadis berkerudung peach itu memanggil.
"Gie! Sini, ada yang mau kenalan nih ..."
Aku menoleh, Ghifa diraih Bik Nah untuk turun dari gendonganku, kembali berlarian di sekitar pendopo.
"Ya, saya Gielang, teman Citra!" kembali kuayunkan tanganku bersalaman untuk kedua kalinya.
"Anton,"
"David,"
"Senang berkenalan dengan anda," anggukku.
"Emm, maaf Cit, Aku dan Ghifa pulang dulu ya, bisa bertemu dengan ayah ibumu?"
Citra menatapku dengan pandangan memohon.
"Duduklah disini, Gie temani Anton dan David ngobrol dulu," pinta Citra.
Aku melihat pada jam tanganku. Jam Empat kurang tujuh menit sore hari.
"Mungkin lain waktu, Cit. Emm ..." kutoleh rumah induk. Sepi.
"Bapak baru saja keluar, aku panggil ibu dulu ... ,"
Citra lalu bergegas kedalam, aku menghampiri Bik Nah untuk berkemas. Dua menit kemudian Ibu Citra datang bersama.
"Maaf buk, saya mohon pamit, maaf Ghifa sudah merepotkan," pamitku takzim sambil meraih tangan Ibu Citra.
"Aduh, Nak Gie, kenapa buru-buru? Bapaknya Citra mau ngobrol sama Nak Gie lho ..." nada kecewa terdengar.
Deg
"Maaf, mungkin lain waktu Bu, kami berkunjung lagi," jawabku gamang.
"Ya sudah, hati hati ya, Nak. Kami tunggu lho ..." pesan Ibu Citra lembut namun penuh tekanan.
Dadaku berdesir, apalagi ketika Citra tak lepas menatapku dari samping Ibunya berdiri.
Aku segera mohon pamit, kubopong Ghifa yang asyik melambaikan tangan, sambil berseru ceria. Citra dan Ibunya bergantian menciumi gadis kecilku. Bahkan wajah kami sempat begitu dekat, karena ketika Citra mendorong wajahnya ke pipi Ghifa, satu tangan gadis kecilku itu melingkar di leherku.
Glekk
Semerbak wangi, saat tak sengaja hidungku menyentuh kerudung Citra. Kutepiskan desir yang sempat datang, dengan melangkah mundur dan bergegas menuruni tangga pendopo. Tak lupa mengangguk pada kedua lelaki yang masih duduk di kursi tamu, alis mereka berkerut ketika mendengar Ghifa berseru.
"Da... da ... Ma ... ma ...,"
........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
👑
like like
2020-11-27
1
ARSY ALFAZZA
👌❤️
2020-11-26
1
Little Peony
Like like
2020-11-01
1